-->

Kapitalisme Menyuburkan Praktik Ribawi

Oleh: Fitria Rahmah, S.Pd.

Pendidik Generasi dan Aktivis Muslimah

Maraknya praktik ribawi di tengah masyarakat kita saat ini terlihat dengan beragam jenis praktik yang ada. Tidak hanya bank konvensional yang menyediakan layanan tersebut, tapi juga terdapat pinjaman online (pinjol) dan bank keliling atau yang dikenal dengan Bank Emok. Praktik pinjol dan bank emok sangat mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dimana saja dan kapan saja. Meskipun keberadaannya sering kali menimbulkan masalah, tapi tetap saja peminat dari bank emok dan juga pinjol terus meningkat. 

Melansir dari media online ayobandung.com, Kamis, 22 Februari 2024, Wakapolresta Bandung, Maruli Pardede, mengungkapkan bahwa bank emok dan pinjol sering menjadi sumber keluhan yang diterima kepolisian, terutama di Kabupaten Bandung, seperti yang terungkap saat acara Jumat Curhat.

"Mayoritas keluhan terkait bank emok dan pinjol datang dari kalangan ibu-ibu," ungkap Maruly, pada Minggu, 4 Januari 2024.

Meskipun dianggap mengganggu, jasa bank emok dan pinjol tetap diminati oleh masyarakat. Namun, pihak kepolisian merasa terbatas dalam memberantas layanan tersebut.

Kondisi di atas menjelaskan bahwa keberadaan bank emok dan pinjol disebut menghantui tapi anehnya tetap diminati. Mereka dihantui oleh kasus-kasus yang sering kali terjadi setelahnya. Banyak nasabah pinjol yang terkena gangguan mental ataupun bunuh diri. Bahkan kasus kriminalitas seperti pencurian dan kekerasan pun meningkat. Hingga nasabah pinjol pun tak segan-segan untuk menghilangkan nyawa seseorang karena ditagih utang pinjol.

Beban ekonomi yang makin berat, di mana harga kebutuhan pokok yang makin melambung tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan yang sangat mahal, sulitnya mencari pekerjaan, banyaknya korban PHK, tingginya angka perceraian, membuat rakyat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.

Selain itu, tuntutan gaya hidup yang hedonis hasil dari masifnya konten-konten di media sosial, membuat rakyat melihat bank emok dan pinjol ini sebagai solusi yang mudah dan cepat untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Praktik ribawi tersebut dianggap sebagai malaikat penolong. Meskipun mereka menyadari bahwa, dampak dari praktik ribawi tersebut sangat menyeramkan. Namun, seolah menutup mata, peminatnya terus bertambah dari waktu ke waktu.

Hal ini sebetulnya terjadi bukan tanpa sebab, masifnya iklan pinjol di media sosial secara tidak langsung mengedukasi masyarakat bahwa, pinjol ataupun bank emok adalah solusi untuk masalah keuangan yang sedang dihadapi. Legalisasi penguasa terhadap pinjol dan bank emok membuat praktik ribawi tumbuh subur dalam sistem kapitalisme. Bahkan, penguasa tak segan-segan untuk melegalkan pinjol sebagai salah satu skema pembayaran biaya kuliah untuk mereka yang kesulitan.

Maka sejatinya pinjol dan bank emok mustahil untuk diberantas dalam sistem ini. Itu semua dikarenakan, penguasa dalam sistem ini memang tidak ada niat untuk memberantasnya. Keberadaan pinjol dipandang sebagai solusi terhadap persoalan sulitnya sumber pendanaan rakyat, serta bisa mendukung beberapa program pembangunan. Misalnya terkait pendanaan UMKM. Bagi penguasa yang terpenting adalah terjadi perputaran uang, karena hal tersebut menjadi ukuran pertumbuhan ekonomi nasional.

Penguasa dalam sistem kapitalisme abai dalam menyejahterakan rakyatnya. Alih-alih memberikan solusi untuk masalah ekonomi yang dihadapi oleh rakyat. Namun, sejatinya pemerintah menjerat rakyat dengan bunga yang besar. Pemerintah seolah-olah menggiring rakyat untuk menggunakan pinjol dan bank emok sebagai solusi dalam permasalahan ekonomi saat ini.

Selain abai terhadap kesejahteraan rakyat, penguasa dalam sistem ini pun abai terhadap ketakwaan rakyat. Sebab, rakyat didorong dan difasilitasi untuk melakukan hal yang buruk dan haram. Praktik ribawi ini sudah jelas keharamannya tanpa harus diperdebatkan lagi. Dan tidak akan ada kebaikan dalam suatu keburukan atau keharaman, melainkan datangnya keburukan dan kemudaratan. 

Maka, untuk memberantas praktik ribawi ini tidak bisa dilakukan oleh individu ataupun kelompok masyarakat saja. Namun, kita membutuhkan sistem yang mampu menghapuskan legalisasi praktik ribawi. Jelas bukan sistem demokrasi-kapitalisme, karena sistem ini hanya menyuburkan keberadaannya. Sebab, sistem ini tegak di atas landasan sekulerisme. Di mana negara tidak peduli apabila rakyatnya jatuh dalam maksiat riba yang dosanya sangat besar dan menimbulkan kemudaratan. Terlebih, transaksi riba yang dilegalkan negara nyatanya bukan pinjol saja. Nyaris semua transaksi keuangan yang ada dan berlaku di masyarakat saat ini berbasis pada skema riba.

Hanya sistem yang berlandaskan pada akidah, keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang menggunakan aturan dari Allah Swt. tanpa terkecuali, yang mampu menghapuskan praktik ribawi. Sistem ini adalah sistem Islam, satu-satunya sistem yang mengharamkan praktik ribawi. Sebagaimana firman Allah Swt.:

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS Al-Baqarah: 278—279).

Dan Rasulullah saw. bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani). 

Inilah saatnya kita mencampakkan sistem demokrasi-kapitalisme, sistem yang hanya menyebabkan kerusakan di muka bumi. Dan menggantinya dengan sistem Islam, satu-satunya sistem yang mampu menyejahterakan rakyat, satu-satunya sistem yang menggunakan dana halal dalam penyelenggaraannya, satu-satunya sistem yang akan membawa kemashlahatan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Wallahualam bissawab