-->

Hutanku Tersayang, Hutan yang Malang

Oleh: Shiera Kalisha

    Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Nampaknya kalimat itu tidak berlaku untuk saat ini. Kasus deforestasi atau perubahan lahan hutan menjadi non-hutan secara permanen seperti menjadi perkebunan atau pemukiman yang terjadi di Indonesia sangatlah masif. 

    Dilansir dari databoks.co.id 19 Januari 2024, Indonesia menduduki peringkat ke-2 negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis(humad tropical primary forest) dengan jumlah 10,2 juta hektare setelah Brazil di urutan pertama yang kehilangan 29,5 juta hektare lahan hutan tropisnya selama periode 2020-2022.

    Alih fungsi hutan tentunya mengakibatkan banyak bencana alam juga kesulitan hidup rakyat Indonesia. Seperti bencana hidrometeorologi yang terjadi karena hilangnya fungsi ekologi hutan akibat deforestasi. Mulai dari banjir dan longsor terjadi dimana mana, kehilangan lingkungan yang nyaman juga aman, udara segar pun kian sulit dihirup.

    Permasalahan ini terjadi tiada lain karena ulah manusia, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam quran surat Ar-rum ayat 41 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

    Diterapkannya sistem ekonomi kapitalis saat ini, yaitu sistem yang dibuat oleh akal manusia yang sangat terbatas dan tidak membatasi segala kepemilikan membuat para oligarki rakus mampu berbuat sesuka hati mereka. Praktik sistem yang menghalalkan segala cara tanpa ada aturan yang membatasi. Para pengusaha yang membutuhkan lahan untuk membangun bisnis mereka, berusaha melobi para penguasa untuk mengambil tanah sebanyak banyaknya dengan modal sekecil kecilnya tanpa peduli akibat kedepannya.

    Sistem kapitalisme meniscayakan adanya kesenjangan antara kelestarian lingkungan dan pembangunan, apalagi keuntungan sebagai sesuatu yang sangat dominan akan menjadi tujuan. Bukan untuk menyejahterakan rakyatnya, melainkan untuk kepuasan mereka semata. Yang katanya demokrasi dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat, namun faktanya menjadi democrazy dari oligarki untuk oligarki oleh oligarki.

    Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi dalam islam yang berlandaskan Al-quran dan As-sunnah, aturan yang langsung datang dari snag pemilik semesta alam, Al-khaliq dan Al-Mudabbir.

    Islam membatasi kepemilikan, mulai dari kepemilikan individu, umum, sampai negara. Dalam Islam, hutan adalah milik umum, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW dalam riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.”

    Hal ini berarti negara wajib mengelola agar terjaga kelestraiannya dan membawa manfaat untuk ummat. Penguasa dalam Islam akan mengelola hutan sesuai dengan tuntunan  syara’ dan menyadari akan adanya pertanggung jawaban atas amanah ini kelak di Yaumul hisab nanti. Dan sistem ekonomi seperti ini tidak mungkin bisa diterapkan kecuali oleh sebuah institusi yang menerapkan syariat islam secara kaffah bernama khilafah. Waallahu a’lam bis shawab [].