-->

Bahaya Utang Ribawi Bagi Negara

Oleh: Ilmasusi

Tahun telah berganti namun rakyat Indonesia belum terlepas dari persoalan besar ekonomi, salah satunya utang negara yang makin menjadi-jadi. Hingga akhir November 2023, utang Indonesia  mencapai Rp8.041,01 triliun. "Tahun 2024 proyeksinya bisa tembus 8.600 triliun, menghitung besaran utang jatuh tempo dan beban bunga utang yang sebagian akan dibayar dengan penerbitan utang baru," kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tempo, Rabu, 3 Januari 2024.

Sementara itu total utang pemerintahan Jokowi sejak mengawali jabatan presiden, sudah membengkak sebesar Rp5.431,21 triliun. Anehnya pemerintah menganggap utang ini masih dalam kondisi masih aman dengan alasan rasio utang masih di bawah 60% atas produk domestik bruto.

Di sisi lain, World Bank telah mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga telah menjadikan ancaman terhadap utang di semua negara berkembang. Apalagi menurut perkiraan INDEF, pertumbuhan ekonomi RI hanya berada pada level 4,8%.

Utang Ribawi Haram

Pinjaman yang diambil oleh pemerintah termasuk utang ribawi yang haram. Meski demikian, Menkeu Sri Mulyani pernah berkilah bahwa semua negara di dunia, termasuk Dunia Islam, juga berutang untuk mengelola negaranya. Menurutnya, jika suatu negara tidak berutang, akan ada persoalan infrastruktur hingga masalah pendidikan. Menkeu tidak mau menyamakan riba dengan  utang. Hal itu nampak dalam statemennya, "Dalam Alquran pinjam-meminjam itu boleh, tetapi harus diadministrasi, dicatat dengan baik, digunakan secara hati-hati.” 

Pernyataan Menkeu ini sama sekali tidak berdasar. Administrasi utang dan pemberian kompensasi adalah perkara yang berbeda, hukumnya pun berbeda. Pencataatan utang piutang adalah utama, hukumnya sunah. Sedang  memberikan tambahan bagi pemberi utang adalah riba, hukumnya haram.  Sekecil apa pun manfaat  berupa materi yang dihasilkan dari utang, baik secara paksa ataupun sukarela, termasuk riba. Keharaman riba tanpa melihat sebutan untuk kompensasi itu apakah jasa, untung, bunga atau yang lain, semuanya termasuk riba. Keharaman ini juga tidak memandang apakah ada eksploitasi oleh pihak pemberi utang atau tidak.

Allah Swt. telah melarang keras saat berfirman, “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan karena mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

Sebelum ayat ini diturunka, pada awalnya Allah Swt. hanya melarang riba yang berlipat ganda. Larangan ini ada dalam  QS Ali Imran ayat 130. Kemudian Allah Swt. mengharamkan riba secara total melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kalian adalah kaum mukmin.” (QS Al-Baqarah [2]: 278).

Nash berupa ayat-ayat di batas mengaskan bahwa seluruh praktik utang-piutang yang mengandung riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahulLâh berkata, ”Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 6/436).

Mencekik, Membuat Miskin

Naiknya utang RI saat ini kontradiktif dengan isi kampanye Jokowi pada Pilpres 2014 dengan janji  akan menyetop utang luar negeri. Juga janji bahwa dengan melakukan efisiensi APBN, Indonesia akan mandiri dalam semua pembangunan. Realitasnya sungguh berbeda. Bahkan, rezim hari yang paling banyak berutang, sebagaimana catatan sejarah. 

Rakyat harus menyadari bahwa utang ribawi adalah beban berat untuk negeri ini. Ekonom Awalil Rizky menyebutkan, rasio utang terhadap pendapatan negara diperkirakan sebesar 310,93% pada 2023 dan 317,63% pada 2024. Pada 2023, pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp2.637 triliun dengan utang akhir tahun Rp8.200 triliun. 

Pada 2024, target pendapatan negara sebesar Rp2.802 triliun, dan posisi utang akhir tahun diperkirakan Rp8.900 triliun. Rasio tersebut telah jauh melampaui rekomendasi IMF dan IDR untuk kondisi yang bisa dikatakan aman. IMF merekomendasikan kisaran 90—150%. Adapun rekomendasi IDR adalah kisaran 92—167% (”Utang Pemerintah Tidak Aman pada Tahun 2024”, Barisan[dot]co).

Pinjaman demi pinjaman ini seakan mencekik. Bunga utang yang harus dibayar negeri ini berjumlah Rp437,4 triliun pada 2023 dan Rp497,32 triliun pada 2024. 

Utang dan bunganya yang harus dibayar oleh negara jauh lebih besar dibanding  subsidi untuk rakyat. Subsidi LPG, BBM, BLT, dan yang lain, hanya  Rp146,9 triliun. Bunga utang itu juga lebih besar dibandingkan dengan anggaran kesehatan untuk rakyat yang hanya  Rp187,5 triliun.  Klaim pemerintah bahwa subsidi rakyat menjadi beban APBN sunggah tak berdasar,  justru utang dan bunganyalah yang membebani APBN.

Sayangnya, pembangunan yang dibiayai oleh  utang ribawi ini tidak membawa pengaruh positif yang berarti bagi ekonomi rakyat banyak. Contohnya, pembangunan IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara dan ruas tol. Selain pembebasan tanah untuk infrastruktur ini menimbulkan konflik agraria. Bahkan  beberapa di antaranya  terancam mangkrak dengan nilai mencapai Rp420 triliun!

Utang luar negeri  terbukti banyak menimbulkan masalah kedaulatan suatu negara. Negara-negara seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistan adalah sejumlah negara yang kolaps akibat perangkap utang luar negeri. Beberapa negara tersebut harus menyerahkan pelabuhan dan bandara strategis mereka pada negara pemberi utang, yakni Tiongkok, yang juga menjadi salah satu pemberi utang pada Indonesia.

Terbebas dari Jerat Utang Ribawi, Mungkinkah?

Dengan alasan apa pun, pinjaman ribawi adalah haram. Pelakunya dikenai dosa besar. Apalagi bila utang tersebut menghadirkan bahaya  terhadap kaum muslim. Penguasaan wilayah dan pengambilan kekayaan alam oleh pihak negara pemberi utang merupakan sebuah keniscayaan. 

Utang ini juga bisa berakibat  kaum muslim berada dalam kendali negara pemberi utang. Padahal Allah Swt. telah berfirman, “Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (QS An-Nisa’ [4]: 141).

Utang negara yang mengandung riba hari ini  merupakan praktek batil sekaligus menjerumuskan negeri dalam cengkeraman asing. Realitas ini terjadi karena masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. yang menghalalkan riba serta memĺbuka pintu untuk swasta untuk mengeruk sumber daya alam milik rakyat. Hari ini sekitar 90% pertambangan dan pengolahan nikel dikuasai asing. Sektor batu bara hanya 12% dikelola oleh BUMN. Pada sektor migas, Pertamina hanya mengelola 30% blok migas. Sisanya dikuasai oleh asing.

Sistem ekonomi kapitalisme pula yang membuat riba menyelimuti negeri. Bahkan orang yang tidak bermuamalah ribawi pun terkena dampaknya, sebagaimana peringatan Nabi saw., “Akan datang suatu zaman kepada manusia. Saat itu mereka memakan riba. Kalaupun ada orang tidak memakan riba secara langsung, ia akan terkena debunya.” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

Memperbaiki rusaknya ekonomi negeri ini diperlukan perubahan ke arah penerapan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan. Cengkeraman utang ribawi itu baru bisa terlepas jika umat kembali menerapkan syariat Islam, bukan dalam sistem demokrasi.

Allah telah menyiapkan konsep APBN yang bebas dari utang. APBN ini ada dalam sistem ekonomi islam yang berbasis baitulmal. Sumber pendapatan dan pos pengeluaran baitul yang Allah telah tetapkan. APBN berbasis bautul mal ini akan melepaskan negara dari jerat ribawi. Sebaliknya, siapa pun pemimpinnya, jika tidak menerapkan syariat Islam, akan terjerat dalam utang ribawi yang telah terbukti menyengsarakan.