-->

Jalan Rusak, Rakyat Teriak

Oleh: Hesti Muharani (Praktisi Pendidikan)

Sudah sejak lama warga dan pengguna jalan Sodong-Cilame, Desa Cilame, Kecamatan Kutawaringin mengeluhkan kondisi jalan yang rusak parah. Rusaknya jalan tersebut sudah lama dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Bandung. Padahal jalan Sodong-Cilame merupakan akses penghubung Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Bandung Barat (KBB) sehingga banyak warga yang menggunakan akses jalan tersebut. Karena tidak tahan dengan kondisi rusaknya jalan tersebut, akhirnya warga Cilame berinisiatif untuk memperbaiki jalan dengan sistem swadaya masyarakat. “Dengan terpaksa warga melakukan swadaya dan iuran untuk memperbaiki dan menutup jalan yang berlubang tersebut menggunakan batu beksos’’ ujar Alo Sabirin Kepala Desa Cilame.

Meskipun Alo sendiri menyadari bahwa sebenarnya yang menjadi tanggungjawab memperbaiki jalan tersebut menjadi kewenangan Pemkab Kabupaten Bandung melalui dinas terkait, tapi sudah lama dinas tersebut tidak memperbaiki perhatian untuk memperbaiki jalan dan Alo pun merasa miris melihat kondisi jalan kabupaten bisa seperti itu. Melihat fakta di atas, sebenarnya siapakah yang seharusnya bertanggung jawab dalam memperbaiki fasilitas jalan umum tersebut?

Ketika kita kembalikan semuanya pada konsep kepengurusan umum, penyediaan dan pengelolaan jalan umum merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten, apalagi jalan tersebut menghubungkan jalan antara dua kabupaten. Tentu dengan pengawasan dan campur tangan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

Mirisnya dalam tata kelola pada sistem saat ini. Hal tersebut tidak diprioritaskan. Malah yang terjadi,  alih-alih menyelesaikan masalah jalan yang rusak, pemerintah justru terus memperbanyak jalan tol dan infrastruktur lainnya seperti pembangunan dan pengadaan kereta api cepat yang tidak bisa diakses oleh semua orang, bahkan pengerjaannya pun dikebut. Padahal jelas, jalan umum merupakan hal yang sangat urgent yang harus segera penyelesaiannya untuk memperlancar aktivitas masyarakat.

Jika dilihat dari akar masalahnya, hal ini terletak pada tata kelola pemerintah dan penguasa yang abai terhadap kepentingan masyarakat. Kelalaian negara dalam mengurusi urusan rakyatnya bersumber dari penerapan sistem kapitalisme dalam kehidupan. Kapitalisme yang melahirkan konsep good governance, membuat negara mandul dan beralih fungsi sebagai pelayan korporat tidak lagi melayani rakyat. Pembangunan jalan tol digencarkan bahkan dikebut dengan tujuan melayani korporasi dalam memperoleh cuan.

Sementara itu, nasib rakyat yang sangat membutuhkan infrastruktur jalan, tetap diabaikan pemerintah. Jalan umum di daerah tidak menghasilkan materi bagi korporat, menurut konsep good governance pembangunannya bukanlah menjadi prioritas.

Sistem inilah yang harus kita kritisi bahkan dirubah, dengan menggantinya dengan sistem yang sahih yang bersandar pada aturan Sang Kholiq. Dalam Islam, pembangunan jalan umum merupakan infrastruktur untuk kemaslahatan publik. Kepemimpinan Islam akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang mendesak dibutuhkan oleh publik yang jika ditunda pembangunannya akan menimbulkan bahaya bagi publik. Begitu banyak bahaya yang ditimbulkan akibat rusaknya jalan umum selain terhambatnya aktifitas masyarakat dalam menjalani kehidupan mereka, yang tentu berpengaruh pada terhambatnya laju perekonomian di daerah tersebut. Bahkan sampai terjadi hilang nyawa diperjalanan, seringkali muncul berita kecelakaan lalin yang disebabkan rusaknya jalan umum. Pemerintahan dalam Islam mencegah bahaya tersebut terjadi, sesuai sabda Nabi SAW, “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada memudaratkan, baik diri sendiri maupun orang lain” hadis riwayat Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daruquthni.

Selain itu, kepemimpinan Islam merupakan orang yang bertanggung jawab atas rakyatnya, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus”. Semua kebijakan yang diambil oleh para penguasa dalam sistem Islam akan dipertanggungjawabkan kelak di yaumil akhir.

Perlu digarisbawahi, pembiayaan dalam sistem Islam tidak membebani rakyat, seperti jalan jalan tol saat ini. Bahkan layanan terbaik kepada publik diwujudkan juga dengan membangun infrastruktur jalan dengan standar teknologi paling mutakhir, seperti jalan umum diaspal dengan aspal terbaik yang mampu mencegah terjadinya selip kendaraan yang menjadi penyebab kecelakaan. Pembiayaan fasilitas bagi kemaslahatan umum tersebut dibiayai dari baithul mal,  yang bersumber dari hadil pengeloaan SDA dan harta lainnya seperi ghonimah dan jizyah. Biaya pembangunan infrastruktur yang mendesak tersebut tidak memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau baitulmal, harus tetap dibangun. Jika ada dana APBN atau baitulmal, maka wajib dibiayai dari dana tersebut secara maksimal. Namun, jika tidak mencukupi, maka negara bisa memungut pajak (dharîbah) dari muslim yang aghnia (kaya). Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sedangkan infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain.

Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari publik setelahnya. Namun, terdapat batasan yang sangat jelas bahwa pinjaman ini tidak ada unsur riba atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.

Intinya, dalam kepemimpinan Islam, pembangunan infrastruktur sejatinya adalah untuk kemaslahatan publik, bukan untuk melayani korporasi. Dalil-dalil di atas jelas menunjukkan bahwa kepemimpinan Islam adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan umat termasuk akses jalan yang setiap harinya digunakan oleh masyarakat dan hanya dengan sistem Islam semua permasalahan umat bisa teratasi.