Ilusi Memberantas Korupsi dalam Sistem Demokrasi
Khayalan menggenjot budaya antikorupsi di masyarakat dan dalam birokrasi pemerintah terbukti masih perlu upaya ekstra. Sebagaimana yang data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023 mengalami penurunan, dibandingkan dengan IPAK tahun 2022 menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93. (Tirto.id, 08/11/2023)
Banyaknya koruptor yang ditangkap menggambarkan bobroknya tatanan kehidupan dan sistem yang diadopsi negara. Sebab, dalam sistem demokrasi korupsi seolah telah menjadi tradisi yang tak dapat terpisahkan di dalam tubuh pemerintah dan birokrat. Bahkan pembentukan lembaga antikorupsi pun tak mampu mencegah
tindakan keji yakni mencuri uang rakyat ini.
Hal ini karena, korupsi merupakan budaya dalam sistem sekuler kapitalis demokrasi. Apalagi sistem ini berbiaya tinggi dan sarat kepentingan oligarki. Ditambah lagi dengan adanya keserakahan para pejabatnya sehingga ingin menumpuk kekayaan dengan cara instan tanpa peduli itu harta rakyat. Ini semakin menunjukkan rusaknya integritas abdi negara dan penguasa, hasi dari toleransi atas keburukan dan lemahnya iman sehingga mengakibatkan korupsi terus merajalela dikalangan elit politik. Jadi upaya memberantas korupsi di sistem demokrasi hanyalah ilusi. Korupsi akan terus menjadi tradisi selama sistem sekuler demokrasi terus dipertahankan.
Berbeda negara Islam. Islam menjadikan korupsi sebagai tindakan kemaksiatan dan membuat hukuman yang jelas dan menjerakan untuk pelakunya. Kepemimpinan dan kekuasaan yang diberikan oleh umat ialah amanah. Para pejabat wajib baginya menlaksanakan amanah ini dengan sebenar-benarnya dan tanpa menzalimi umat dengan memakan hak-hak rakyat.
Karena itu, Islam mengatur beberapa mekanisme dalam mencegah dan memberantas korupsi. Pertama, penerapan ideologi Islam, mengimplementasikan sistem Islam secara keseluruhan dalam seluruh lini kehidupan, termasuk dalam mengayomi urusan umat. Penguasa dalam sistem Islam diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan hukum syarak.
Kedua, pemilihan pemimpin dan para pejabat wajib yang terbaik dari yang baik, beriman, dan bertakwa. Islam membuat syarat ketakwaan individu sebagai ketentuan. Selain profesionalitas, ketakwaan menjadi syarat awal sebagai filter untuk melakukan aktivitas kemaksiatan. Ketakwaan mengharuskan penguasa menjalankan yang diamanahi, selalu merasa dikawali oleh Allah. Menjadi penguasa adalah sarana untuk mewujudkan “izzul Islam wal muslimin” bukan untuk kemaslahatan individu dan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.
Ketiga, pelaksanaan politik sesuai dengan syariat. Politik adalah ri’ayah dan syariat, yakni upaya mengayomi rakyat dengan penuh rasa keikhlasan hati dan mental sesuai dengan hukum yang berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Keempat, mengadopsi pengaturan terhadap sanksi yang tegas sebagai efek jera bagi pelku kejahatan. Sanksi kuat dan tegas dimaksud yaitu bentuk publikasi, peringatan stigmasasi, pengasingan, penyitaan harta, cambuk dan terakhir hukuman mati.
Inilah tehnik Islam dalam mencegah dan memberantas korupsi di dalam elit politik. Di mana sistem ini hanya bisa kita temukan dalam penguasaan Islam yang berlandaskan hukum syariat yang berasal Al-Qur’anulkarim. Wallahu’alam bishshawab!
Oleh. Eva Ariska Mansur (Anggota Ngaji Diksi Aceh)
Posting Komentar