-->

Menghitung Zakat Perdagangan, dari Harga Belinya atau dari Harga Jualnya?

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya:

Ustad izin bertanya,  untuk zakat perdagangan, yang dihitung dari barang dagangnya apakah nilai modal, atau nilai jual, Ustadz? Misal, ada barang dagangan, nilai modalnya (kulakan / produksi)  = Rp 30 juta. Sedang nilai jualnya = Rp 100 juta. (Aviv, Semarang).

Jawab:

Ada khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mujtahidin dalam masalah ini menjadi dua pendapat sebagai berikut;

Pertama, pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yang menyatakan zakat barang dagangan (‘urūdh al-tijārah) itu dihitung dari harga jualnya (si’ru al-bai’), bukan harga belinya (si’ru asy-syirā`). Perhitungan ini dilakukan pada saat jatuh tempo, yaitu saat akhir haul ketika sudah tiba waktu wajib untuk mengeluarkan zakat. (Lihat Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23/275; Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Az-Zakāt, 1/337; ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Ahkām Az-Zakāt ‘Alā Dhau’ Al-Kitāb wa As-Sunnah, hlm. 15; Syekh Bin Baz, Majmū’ Fatāwā Bin Bāz, 14/251).

Kedua, pendapat sebagian ulama, yang mengatakan bahwa zakat barang dagangan (‘urūdh al-tijārah) itu dihitung dari harga belinya, bukan harga jualnya. (Ibnu Rusyd, Bidāyatul Mujtahid wa Nihāyatul Muqtashid, 1/260).

Dalil pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama, telah disebutkan oleh Imam Abu ‘Ubaid (w. 224 H/838 M) dalam kitabnya Al-Amwāl. Diriwayatkan dari Jabir bin Zaid, yang termasuk generasi tabi’in, mengenai barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan, dia berkata,”Perkirakanlah nilainya sesuai dengan harganya pada saat tiba waktunya berzakat, lalu keluarkanlah zakatnya.” (qawwim-hu bi-naḥwi min tsamanihi yauma ḥallat fīhi az-zakātu, tsumma akhrij zakātahu). (Abu ‘Ubaid, Al-Amwāl, Al-Manshūrah [Mesir] : Darul Hadyi Al-Nabawi, 2007, Cet. I, Juz I, hlm. 81, nomor. 1124).

Adapun dalil pendapat kedua, tidak dapat diketahui sepanjang penelusuran yang kami lakukan. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidāyatul Mujtahid wa Nihāyatul Muqtashid, tapi tidak disebutkan oleh Ibnu Rusyd siapa ulama yang berpendapat demikian dan tidak disebut pula apa yang menjadi dalilnya. (Ibnu Rusyd, Bidāyatul Mujtahid wa Nihāyatul Muqtashid, 1/260).

Dengan demikian, jelaslah yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yaitu bahwa zakat barang dagangan itu dihitung dari harga jualnya, bukan harga belinya. Pendapat ini pula yang telah di-rājih-kan oleh Syekh ‘Atha` Abu Ar-Rasytah dalam Soal Jawab-nya, tertanggal 3April 2016/25 Jumadil Akhir 1437 H, dengan judul Zakāt ‘Urūdh Al-Tijārah (Zakat Barang Dagangan). Syekh ‘Atha` Abu Ar-Rasytah berkata :


تُقَوَّمُ عُرُوْضُ التِّجَارَةِ بِسِعْرِهَا السُّوْقِيِّ أَيْ بِقِيْمَةِ بَيْعِهَا عِنْدَ اسْتِحْقَاقِ الزَّكَاةِ لِأَنَّ هَذِهِ هِيَ الْقِيْمَةُ الْحَقِيْقِيَّةُ لِهَذِهِ الْعُرُوْضِ، وَلاَ تُقَوَّمُ بِسِعْرِ الشِّرَاءِ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُوْنُ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ مِنَ السِّعْرِ السُّوْقِيِّ الْمُعَبِّرِ عَنِ الثَّمَنِ الْحَقِيِقِيِّ لِلسِّلْعَةِ، وَلِذَلِكَ فَالْمُعْتَمَدُ هُوَ السِّعْرُ السُّوْقِيُّ.


“Barang-barang dagangan itu dihitung nilainya berdasarkan harganya di pasar (al-si’ru al-sūqy), yakni berdasarkan nilai jualnya pada saat tiba kewajiban zakat, karena nilai inilah yang merupakan nilai hakiki bagi barang-barang dagangan ini, bukan dihitung nilainya berdasarkan harga belinya (si’ru al-syirā`), karena harga beli ini terkadang lebih rendah dan terkadang lebih tinggi daripada harga pasar yang mengekspresikan harga hakiki bagi barang dagangan. Maka dari itu, yang menjadi pegangan (patokan) adalah harga pasar.”.

Kesimpulannya, pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yaitu zakat barang dagangan itu dihitung dari harga jualnya, bukan harga belinya. Dengan demikian, jawaban untuk kasus yang ditanyakan di atas adalah, zakat itu dihitung dari harga jualnya, yaitu harga pasar pada saat jatuh tempo wajibnya zakat (pada akhir haul), yaitu Rp 100 juta, bukan dihitung dari harga belinya (harga kulakan) yang besarnya Rp 30 juta. Maka zakat yang dikeluarkan besarnya adalah = 2,5% x Rp 100 juta = Rp 2,5 juta (dua setengah juta rupiah). Wallāhu a’lam.

Muhammad Shiddiq Al-Jawi