-->

Karhutla, Mengapa Bisa Terjadi (Kembali)?

Oleh: Annisa Nanda Alifia (Mahasiswi)

Berdasarkan data dari palangkaraya.go.id, kejadian karhutla pada tahun 2023 terus meningkat. Tercatat telah terjadi 210 kejadian Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menghanguskan lebih dari 100 hektar lahan di wilayah Kota Palangkaraya pada bulan Agustus 2023. Di Provinsi Kalimantan Selatan juga terjadi 8 kejadian kebakaran hutan di Kalimantan Selatan dan 180 kebakaran lahan sepanjang tahun 2023 (Kompas.tv). 

Kejadian karhutla juga terjadi di berbagai provinsi lainnya. Dikutip dari bnpb.go.id, Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) telah lebih dulu menentukan enam provinsi prioritas, yang kerap kali ditemukan titik hotspot. Langkah ini merupakan bentuk antisipasi terhadap ancaman El Nino. Adapun keenam provinsi itu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatera Selatan dan Riau. Adapun langkah yang dilakukan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah menggugat 22 korporasi ataupun perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Tuntutan denda administratif menjadi langkah yang ‘unik’, melihat bukan sekali-dua kali karhutla terjadi karena kesengajaan perusahaan. Masih ada banyak perusahaan lain yang beroperasi di ekosistem gambut dan hutan, berpotensi melakukan pembakaran untuk membuka lahan.

Perkembangan ekonomi melalui eksploitasi hutan—SDA milik umum sebagai kepemilikan swasta dan individu, sesungguhnya tidak sebanding dengan nasib hutan Indonesia yang digarong oleh korporasi. Malah menimbulkan karhutla, kerusakan lingkungan, bencana ekologis, serta pencemaran tanah dan udara yang membahayakan penduduk.

Jika melihat perubahan tata kelola kehutanan, hukum perundangan telah bergonta-ganti menuliskan kebijakan untuk mengolah sektor ini. Eksploitasi hutan dimulai sejak terbitnya UU No. 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan, berganti ke UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Lalu sektor kehutanan menjadi salah satu sektor yang diubah dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Penulisan ulang perundang-undangan ini tidaklah mengatasi permasalahan-permasalahan pada pengelolaan hutan. Belum lagi, penegakan hukum yang masih tumpul kepada pengusaha besar, dan tidak membuat jera. Ini menunjukkan ketidakmampuan hukum kapitalisme dalam mengatur sumber daya alam Indonesia.

Pengaturan Islam mengenai hutan, sesungguhnya ada dalam lingkup kepemilikan umum, sebagaimana sabda Nabi saw., yaitu,

“Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni, air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad).

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Amwal (1983), pengelolaan kepemilikan umum tentu tidak dikuasai oleh individu/swasta. Islam mengatur bahwa hanya negaralah yang boleh mengelola, dan hasilnya menjadi hak seluruh rakyat untuk memanfaatkannya.

Adapun dalam aspek pengelolaan lahan, kembali pada hukum kepemilikan lahan. Setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikannya kepada siapa saja yang lebih dahulu bisa menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.

Sebagai komitmen untuk mengoptimalkan pengolahan tersebut dan menyejahterakan seluruh rakyat, negara juga akan mengembangkan iptek yang diperlukan. Sehingga, hasil alam dapat diperolah tanpa merusak lingkungan, tanpa membahayakan penduduk.

Kejadian perusakan lingkungan yang terjadi berulang-ulang seperti karhutla, memerlukan solusi yang tuntas. Pengelolaan hutan, lahan, dan seluruh SDA yang adil dan menyejahterakan, tidak akan mungkin kecuali jika diatur oleh aturan Islam saja. Seluruh penyelesaian tuntas yang berlandaskan Islam, juga tidak akan mungkin dijalankan di sistem manapun, kecuali pada sistem yang menerapkan Islam secara kaaffah.