-->

Ketika Harta Rakyat Diserahkan Pada Swasta

Oleh: Ummu Sovuhi

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan dirjen mineral dan batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin (RJ) sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi terkait tambang nikel ilegal.

Adapun tambang nikel ilegal itu berada di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Selain Ridwan, Kejagung juga menetapkan HJ sebagai Sub Koordinator Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Kementerian ESDM sebagai tersangka.

Dalam kasus ini, Kejagung juga telah menetapkan pengusaha asal Brebes Windu Aji Sutanto (WAS) sebagai tersangka. Selain itu, ada juga pejabat Kementerian ESDM lainnya yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Ia adalah SM selaku Kepala Geologi Kementerian ESDM sekaligus mantan Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.

Sementara itu, beberapa tersangka lainnya merupakan HW selaku General Manager PT Antam UPBN Konawe Utara, GAS selaku pelaksana lapangan PT LAM, AA selaku Direktur PT Kabaena Kromit Pratama, dan OS selaku Direktur PT LAM. (CNN,11/8/2023)

Blok Mandiodo terbentang seluas 16 ribu hektare. Dulunya bukit ini hijau permai, namun dalam empat tahun terakhir, ketika penambangan nikel masif, bukit setinggi 20 meter di atas permukaan laut itu menjadi tandus dan botak. Untuk menambangnya, Antam membentuk kerja sama operasi (KSO) dengan perusahaan lain guna mengeruk 7 juta ton cadangan nikel pada tahun 2021. KSO ini dikoordinasikan oleh PT Lawu Agung Mining (LAM)

Dikutip dari liputan investigasi majalah Tempo berjudul “Pencahar Nikel Ilegal” pada edisi 23 – 29 Januari 2023, mengungkap PT Lawu Agung Mining menambang nikel di wilayah hutan tanpa izin. Mereka menjual nikel tersebut ke smelter dengan menggunakan dokumen yang membuatnya seolah – olah hasil tambang resmi. Para penambang menyebut dokumen asli tapi palsu itu sebagai “dokter”, kependekan dari “dokumen terbang”.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Patris Yusrian Jaya mengatakan PT Lawu Agung melibatkan hampir 39 perusahaan di Blok Mandiodo. Sebagian besar perusahaan itu juga tidak punya izin usaha pertambangan (IUP). Hanya tiga perusahaan yang benar – benar menyetorkan bijih nikelnya kepada PT Antam. Sisanya dijual ke smelter nikel di Morosi di Konawe Utara hingga Morowali di Sulawesi Tengah. Padahal, karena berstatus KSO, PT Lawu Agung tak berhak menjual nikel kepada pihak lain. “Dijual pakai dokumen terbang," ujar Patris.

Patris menyatakan PT Lawu Agung menggunakan dokumen terbang dari beberapa perusahaan. Di antaranya; PT Kabaena Komit Prathama, PT Tristaco, dan PT Cinta Jaya. Dengan dokumen itu, nikel hasil penambangan illegal seolah–olah menjadi resmi saat dijual ke smelter. (Tempo,10/08/2022)

Kisrus pengelolaan sumber daya alam memang sudah terbiasa terjadi di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung pelakunya adalah para pejabat negeri bukan rakyat biasa. Pejabat dan pengusaha berkolaborasi demi meraup keuntungan. Pejabat kementerian yang seharusnya mengelola kekayaan alam nyatanya menyalahgunakan wewenangnya untuk menilap kekayaan alam demi keuntungan pribadi. Lebih tragis lagi ternyata pelakunya tidak hanya satu dua orang. Mereka melakukan perampokan kekayaan alam justru secara berjamaah. Ini semua bisa terjadi disebabkan dua hal. Pertama, pengelolaan kekayaan alam ala kapitalisme yang menyerahkan kekayaan alam kepada swasta. Kedua, Sistem demokrasi yang melahirkan pejabat korup dan tidak amanah.

Tentu ini sebuah ironi. Di tengah kemiskinan rakyat yang memprihatinkan, negara berusaha mendorong rakyat berwirausaha untuk bisa menyambung hidup. Motivasi terhadap pelaku usaha  mikro kecil dan menengah (UMKM) pun turut digencarkan. Tidak sampai disitu, sektor pariwisata juga digemborkan. Ini semua demi rakyat tetap bisa mengais rezki dan demi sesuap nasi. Rakyat harus terbiasa mandiri dan cari makan sendiri.

Akan tetapi disisi lain ternyata kekayaan alam yang notabene milik rakyat justru diberikan kepada swasta. Lebih parah lagi pihak swasta yang telah meraup keuntungan yang banyak itu, ternyata belum puas dengan apa yang sudah dimiliki. Nafsu serakah pun merajai hingga ingin mengeruk lebih banyak dari apa yang legal dan diijinkan. Padahal seandainya kekayaan alam ini dikelola dengan benar tentu rakyat akan mampu menikmati kehidupan yang lebih layak. Rakyat akan mampu merasakan  kesejahteraan sehingga bisa fokus berkarya untuk bangsa. 

Dalam Islam kekayaan alam yang melimpah memang milik rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:  "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadits ini menyatakan bahwa manusia berserikat dalam air, padang rumput, dan api.Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu dan swasta. Negara wajib mengelolanya dengan benar. Hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik, membangun infrastruktur kebutuhan publik dan menggratiskan pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi warga negara.

Dalam Islam lahirnya pejabat yang amanah juga sebuah keniscayaan. Islam akan membangun ketakwaan individu yang kokoh hingga ia mampu menahan diri dari dosa berkat iman di dada. Pembentukan ketakwaan individu ini tentu tidak ada dalam sistem sekuler. Pasalnya sistem ini memang menjauhkan rakyat dari rasa diawasi Allah. Selain itu Islam juga memiliki sistem sanksi yang bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Penyalahgunaan wewenang  bisa dikenaikan ta'zir  oleh Khalifah dengan kadar sanksi sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. 

Sistem sanksi seperti ini yang tidak ada dalam sistem kapitalisme kecuali dengan tebang pilih. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Wajar saja kejahatan terus terjadi dan bervariasi dengan pelaku yang terus berganti. Ini menunjukkan tidak ada efek jera sama sekali. Memang sudah saatnya sistem sekuler ini kita jauhkan dari kehidupan berbangsa. Kita seharusnya kembali pada syariat ilahi karena disanalah ada kebahagiaan yang kita nanti.

Wa ma taufiqi illa billah