-->

Karhutla Membara, Bukti Buruknya Pengelolahan Di Sistem Kapitalis

Oleh: Halida almafaza (Aktifis Dakwah Muslimah Deli Serdang)

Masalah kabut asap dan pencemaran udara di Jabodetabek masih belum tertangani dengan baik. Pakar kebijakan publik Bambang Haryo Soekartono (BHS) menganggap, sejumlah pernyataan pejabat terkait kebijakan penanganan kabut asap di Jabodetabek masih belum berbuah solusi.

Menurut anggota DPR peridode 2014-2019 ini, seharusnya masyarakat sudah mulai ribut permasalahan pada Juli karena musim kemarau terjadi panjang tanpa adanya hujan pada Juni sampai akhir Agustus 2023. Hal itu mengakibatkan kebakaran begitu hebat di wilayah Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Papua. 

"Misalnya pada 2015, 2019, dan 2023 saat ini, apalagi jelas dengan kita mengamati data BMKG, angin bertiup dari barat ke timur menuju ke selatan dan data hot spot jelas sudah ada di atas 4.000 titik nyala api skala kecil, sedang dan hebat yang ada di wilayah Sumatra bagian selatan, Kalimantan Barat dan Tengah serta Selatan, Jawa Barat, Tengah dan Timur serta wilayah lain di Indonesia," kata BHS di Jakarta, Rabu (23/8/2023).

Alumnus ITS Surabaya tersebut mendorong pemerintah memanfaatkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk mengatasi masalah kabut asap. Termasuk mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangani kebakaran hutan. Termasuk hutan tropis yang terbakar di lahan milik PT Perhutani yang mengalami kekeringan akibat perawatan tidak baik. 

"Tidak seperti hutan hutan yang ada di Malaysia, di mana hutan-hutan tropisnya selalu dirawat saat musim kemarau dengan water bombing serta sprinkler yang menyirami hutan di wilayah Malaysia sehingga hutannya selalu hijau dan terawat, karena hutan yang hijau selalu menyimpan air sebesar 80 persen sehingga hutan tersebut tidak bisa terbakar bahkan dibakar," ujar BHS.

"Saya sudah sampaikan ini berkali kali tetapi tidak ada tanggapan dan reaksi yang cepat. Saya ikut prihatin masyarakat di wilayah Kalimantan Tengah, Selatan, Barat yang saat ini asapnya jauh lebih tebal bahkan mendekati tiga kali lipat dari Jabodetabek," kata BHS.

Dan dia berharap, adanya reaksi cepat KLHK, sehingga dapat melindungi kesehatan, keselamatan dan nyawa publik. "Sambil kita menunggu cuaca hujan kembali dan pasti kita akan melihat wilayah Jabodetabek tidak akan ada asap lagi," ujar BHS.

Di antara 22 perusahaan tersebut, pemerintah melalui KLHK menuntut ganti rugi kepada PT Kumai Santoso sebesar Rp175 miliar atas kebakaran lahan di lokasi kebun sawit seluas 3.000 hektare yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Thomas Nifinluri mengatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan berbagai upaya pemadaman seiring dengan peningkatan hotspot di wilayah Kalimantan Barat.

Hingga Juli 2023, luas karhutla di wilayah Kalimantan Barat adalah seluas 1.962,59 ha. Angka ini masih 13% lebih rendah jika dibandingkan pada 2022 sepanjang periode yang sama. Namun demikian, luasan karhutla 2023 masih sangat mungkin meningkat seiring dengan adanya pengaruh El-Nino sehingga perlu kewaspadaan bersama.

Sebenarnya bukan semata-mata hanya faktor cuaca, karhutla yang berulang-ulang terjadi sejatinya lebih tepatnya disebabkan karena unsur kesengajaan dilakukan oleh perusahaan/korporasi membakar hutan dan lahan. Dari aspek ini saja, kita patut mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk mengatasi karhutla. Dari paradigma kapitalisme inilah, kesalahan dalam pengelolaan hutan terus berlangsung dan sering terjadi. 

Pandangan Islam

Ini sangat jelas berbanding terbalik dengan paradigma kapitalisme.  Nabi saw., bersabda, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni, air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad). 

Hadis ini memang tidak menyebutkan secara khusus tentang hutan, tetapi syariat tidak membatasi pada tiga aspek tersebut. Hutan adalah kepemilikan umum yang berarti tidak boleh dikuasai individu. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya.

Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta, tetapi negara boleh mempekerjakan swasta untuk mengelola hutan, akad kerja. Adapun dalam aspek pengelolaan lahan, kembali pada hukum kepemilikan lahan. Setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikannya kepada siapa saja yang lebih dahulu bisa menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.

Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera. Ini tidak bisa berjalan jika sistem,  hukum  ideologi kapitalisme. Penyelesaian karhutla hanya akan tuntas dengan mengganti seluruh perangkat aturan dan produk hukum yang berasas kapitalisme dengan Islam hukum yang berasal dari sang pencipta Ketaatan dan ketundukan pada hukum Allah Taala akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi negeri ini. 

Wallahu alam bisshawab