-->

Pembakaran Al-Qur’an Kembali Terjadi, Bukti Butuhnya Pembelaan Nyata Bukan Hanya Sekedar Kecaman

Oleh: Normayanti Thamrin Mardhan, S.Pi., M.Pi

Aksi pembakaran Al-Qur’an kembali terjadi di Swedia dan kali ini dilakukan oleh warga Irak bernama Salwan Momika, seorang ateis sekuler. Ia merobek beberapa halaman salinan Al-Qur’an dan membakarnya di depan Masjid Stockholm, pada Rabu (28-6-2023). Dia juga memuji politisi sayap kanan Swedia, Rasmus Paludan, yang sebelumnya juga melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an pada pada Sabtu, 21 Januari lalu. Namun terkait aksi ini, kepolisian Swedia telah memberikan izin kepada Salwan Momika untuk menggelar aksi protes, sesuai dengan Undang-Undang kebebasan berbicara.

Aksi yang dilakukan atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi ini kemudian menuai kecaman di seluruh dunia, termasuk Indonesia Negara dengan populasi Muslim terbesar dunia. Pemerintah Indonesia mengecam keras aksi tersebut dan sejumlah kalangan, termasuk MUI dan warganet, mengutuknya. Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam cuitannya “mengecam keras aksi provokatif” dan menyatakan “tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan.”

Insiden itu juga memicu kemarahan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya termasuk Turki, anggota NATO yang memiliki hak yang menentukan Swedia untuk menjadi anggota NATO. Turki yang juga marah dengan protes pembakaran Al-Qur'an awal tahun ini mengatakan "tidak bisa diterima" untuk membiarkan "tindakan anti Islam" semacam itu terjadi "dengan dalih kebebasan berekspresi". Presiden Recep Tayyib Erdogan berkata: "Kami pada akhirnya akan mengajari orang Barat yang arogan bahwa menghina Muslim bukanlah kebebasan berpikir".

Negara-negara Timur Tengah termasuk Irak, Iran, Arab Saudi, dan Mesir juga mengecam keras pembakaran tersebut. Maroko dan Yordania telah menarik duta besar mereka untuk Stockholm. Irak mengatakan insiden itu adalah "cerminan dari semangat agresif penuh kebencian yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan berekspresi". Iran menyuarakan kritik Irak dan menyebut tindakan membakar Al-Qur'an "provokatif" dan "tidak dapat diterima". Sementara Mesir menggambarkannya sebagai tindakan "memalukan" yang sangat provokatif saat umat Islam memperingati Idul Adha.

Di Arab Saudi Negara tempat sekitar 1,8 juta jemaah berhaji pada pekan ini mengatakan "tindakan kebencian dan berulang ini tidak bisa diterima dengan alasan pembenaran apapun." Adapun Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson mengatakan pembakaran Al-Qur'an itu "legal tapi tidak pantas". Aksi membakar Al-Qur'an telah memicu kerusuhan di Swedia dalam beberapa bulan terakhir. (www.bbc.com, 30/6/2023).

Di tengah kecaman dan peringatan tersebut, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional; Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan kejadian pembakaran Al-Qur’an di Swedia bukanlah kali pertama. Terulangnya kasus tersebut menjadi bukti bahwa Pemerintah Swedia belum bertindak serius menanganinya, meskipun telah mendapat kecaman dan peringatan dari Negara-Negara lain, termasuk Indonesia (www.nasional.tempo.co, 30/6/2023). Hal ini menunjukkan bahwa pembelaan terhadap Al-Qur’an tidak bisa hanya sebatas pernyataan lisan seperti mengutuk dan mengecam. Apalagi didukung oleh sistem yang diterapkan saat ini (sekulerisme) yang menjunjung tinggi paham kebebasan. Dengan dalih kebebasan berekspresi dan berbicara tersebut, aksi pembakaran Al-Qur’an pun mendapat izin kepolisian dan Pemerintah setempat.

Sungguh, kita butuh sosok pemimpin Negeri muslim yang bisa mengambil tindakan nyata agar kejadian ini tidak terulang lagi. Penindakan tegas terhadap para penista Islam hanya bisa terwujud dengan pelaksanaan hukum syariat islam. Sebagaimana ketegasan Khalifah Umar bin Khattab Ra. yang menghukum mati penghina Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana pula ancaman Sultan Abul Hamid II kepada Perancis jika pertunjukan teater yang menghina Nabi Muhammad SAW tidak dibatalkan, beliau siap mengerahkan ribuan pasukannya untuk menyerang Perancis saat itu juga.

Sehingga ketika syariat Islam diterapkan secara sempurna, tidak akan ada penistaan berulang karena tegasnya hukuman dan kepemimpinan yang mampu melindungi dengan adil. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab menjaga agama dan Al-Qur’an, dan mengajarkan kepada rakyat untuk menunjukkan pembelaannya. Wallahua’lam bi ash shawab.