-->

Nikah Beda Agama Disahkan, Negara Abai?

Oleh: Ida Nurchayati (Aktifis Muslimah)

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengesahkan  perkawinan beda agama yang diajukan pemohon JEA, beragama Kristen yang berencana menikah dengan SW seorang Muslimah (Republika, 24/6/2023).

Keputusan PN Jakarta Pusat ini menyusul pengadilan lain yang sebelumnya sudah mengabulkan permohonan perkawinan beda agama, yakni Pengadilan Negeri di Surabaya, Yogyakarta, Tangerang dan Jakarta Selatan (news.detik.com, 25/6/2023). Pengadilan mengabulkan permohonan ini berdasarkan UU Adminduk. Hakim juga mendasarkan putusannya pada alasan sosiologis, keberagaman masyarakat (cnnindonesia.com, 25/6/2023).

Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan mengatakan, Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

Dipenjelasan disebutkan yang dimaksud "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama. Pasal 7 ayat 2 huruf l UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa pejabat pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (antaranews.com, 24/6/2023)

Keputusan pengadilan negeri ini bertentangan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)  yang dikeluarkan pada Juli 2005 yang ditandatangani Ketua MUI KH Ma'ruf Amin, bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah.

 Pengaruh Sekularisme 

Semakin banyak pasangan beda agama yang menikah, indikasi masifnya sekularisme di negara kita. Yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya dipakai untuk urusan individu, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Sementara untuk urusan kehidupan lainnya mengedepankan akal dan hawa nafsu manusia. Peran Allah sebagai Al-Mudabbir, yakni pembuat aturan diambil alih manusia dengan membuat dan menetapkan peraturan perundang-undangan. Aturan yang dibuat tentu berdasarkan akal manusia yang lemah dan terbatas, dan lebih mengedepankan hawa nafsu.

Nikah beda agama, sejatinya haram menurut pandangan Islam. Bahkan ketika   sekularisme belum  masif seperti saat ini, hukum positif negara kita melarang nikah beda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang  Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi,

 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Aturan tersebut diperkuat Fatwa ulama yang dikeluarkan Juli 2005 yang ditanda tangani Ketuanya, KH Ma'ruf Amin menyatakan nikah beda agama haram dan tidak sah.

Seiring masifnya sekularisme, hukum positif makin permisif, dulu mengharamkan nikah beda agama, sekarang dilegalkan. Dari sini tampak, negara tidak berperan sebagai periayah dan  pelindung  rakyat. Negara abai melakukan pendidikan pada rakyat. Sehingga muncul individu yang hanya mengumbar dan mengejar kesenangan sesaat, lupa dan abai pada kepentingan akhirat. Ketika melangkah, termasuk menikah bukan mengikuti perintah dan larangan Allah, tapi mempertuhankan nafsu dan syahwat.  Negara juga abai menjaga akidah rakyat dengan melegalkan nikah beda agama.

Inilah fakta sistem sekuler, suatu sistem yang rusak dan merusak individu, masyarakat dan negara. Selama negara kita menerapkan sistem sekuler, maka pernikahan beda agama akan tumbuh subur. Lantas, layakkah sistem seperti ini dipertahankan?

 Islam Menjaga dan Melindungi Umat 

Nikah beda agama hukumnya haram dan tidak sah.  Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 yang artinya,

 "Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran". 

Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai ra'in ( periayah) dan pelindung (junnah) rakyat, sebagaimana hadis Nabi SAW,

 "Imam (khalifah) adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya" (HR al-Bukhari). 

 "Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.”  (Hr. Bukhari dan Muslim) 

Sebagai periayah dan junnah, maka tugas negara,  pertama, menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam. Dari pendidikan ini akan melahirkan individu yang berkepribadian Islam, yakni individu yang mempunyai pola pikir dan pola nafsiyah Islam. Individu yang menyandarkan perbuatannya berdasarkan perintah dan larangan Allah SWT, termasuk ketika memutuskan dengan siapa ia hendak menikah.

Kedua, negara dalam sistem Islam akan menjaga dan melindungi akidah rakyat dengan membuat regulasi yang melarang nikah beda agama. Selain membuat regulasi, negara juga punya sistem sanksi. Negara akan memberi sanksi warga negara yang melanggar hukum syarak, termasuk menikah dengan pasangan yang berbeda akidah. Sanksi dalam Islam bersifat tegas, memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain mengikuti melanggar perbuatan maksiat tersebut.

Dengan penjagaan seperti ini, maka muncul masyarakat yang khas. Individu yang taat pada perintah dan larangan Allah. Masyarakat yang peduli amar ma'ruf nahi munkar. Masyarakat yang menyandarkan rasa cinta dan benci berdasarkan hukum Allah. Terakhir, negara yang menegakkan hukum Allah, termasuk memberlakukan regulasi nikah beda agama sesuai hukum syarak.

 Khatimah 

Sistem sekuler kapitalisme akan menumbuhsuburkan pernikahan beda agama. Karena sistem ini menyandarkan setiap perbuatan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia.

Untuk mencegah nikah beda agama harus ada perubahan mendasar, yakni mengganti sistem sekuler, dan menegakkan kembali hukum Islam secara kafah. Usaha ini akan berhasil bila dilakukan secara berjamaah, mengikuti seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Wallahu a'lam