-->

Bolehkah Proyek Negara Mencaplok Hak Rakyat?

Oleh: Puspita Ningtiyas, S.E.

Proyek IKN kembali memunculkan masalah baru terkait dengan rencana pembangunan bandara. Warga protes karena tanahnya dicaplok negara untuk pembangunan bandara. Lahan calon bandara tersebut terletak di Desa Jenebora, Gersik, dan Pantai Lango, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Warga menyatakan menolak menyerahkan lahan kepada Bank Tanah karena pemasangan patok dilakukan tanpa sosialisasi terlebih dahulu dan janji memberikan lahan reforma agraria yang dijanjikan pemerintah sejak tahun lalu tak kunjung jelas.

Sebagaimana diberitakan di laman www.betahita.id pada 22 Juni 2023, “Itu dari tahun lalu, katanya akhir tahun tetapi sampai sekarang tidak ada tanah reforma agraria. Sekarang sudah lewat setengah tahun lebih,” ucap warga dalam Sosialisasi Master Plan Bank Tanah dan Reforma Agraria yang digelar Badan Bank Tanah di Desa Gersik pada Senin (19/6/2023).

Lahan tersebut merupakan bekas HGU milik PT Triteknik Kalimantan Abadi, perusahaan perkebunan sawit yang menguasai 4 ribu hektar lebih lahan itu. Namun sebelum menjadi HGU PT TKA, lahan tersebut merupakan dimiliki warga. Pada 2019, BPN mencabut HGU perusahaan itu dan warga tengah memperjuangkan hak mereka untuk memperoleh lahan tersebut. Kini warga menuntut 1.800 hektare pada lahan bekas HGU itu harus dikembalikan kepada mereka.

Berkaca pada persoalan PT Triteknik Kalimantan Abadi, harusnya negara hadir sebagai penengah sekaligus problem solver, dan berada pada posisi membela rakyat. Namun justru dari kasus rencana pembangunan bandara IKN, menambah bukti bahwa proyek IKN ini, tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Padahal hak rakyat sama sekali tidak boleh diusik, dan wajib dijamin oleh negara.

Islam menetapkan negara adalah pengurus rakyat, sehingga proyek apapun harus berpihak pada kepentingan rakyat dan untuk kemaslahatan rakyat. Penggunaan tanah rakyat pun akan ada ganti untung yang sepadan dan tidak perlu melalui regulasi yang rumit. Jangankah haknya diambil, negara dalam Islam akan menjamin setiap hak rakyat, seluruhnya, dan memenuhi kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder setiap rakyatnya. 

Mengenai keberhasilan Islam mengatasi persoalan sengketa tanah antara negara dan rakyatnya, telah dicontohkan oleh pemimpin teladan sepanjang masa, hasil binaan langsung oleh Rasulullah Saw. Merekalah Khulafaurrasyidin atau para Khalifah yang mengikuti manhaj Nabi Saw. 

Dikisahkan dari buku yang berjudul ‘The Great of Two Umars’ bahwa sejak menjadi Gubernur Mesir, Amr ibn al-Ash menempati sebuah istana yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong dan terdapat  gubuk reyot yang hampir roboh milik seorang Yahudi tua.

Amr berencana meminta kepada orang Yahudi itu untuk menjual tanah beserta gubuknya. Namun orang Yahudi itu menolaknya dengan tegas. Bahkan ketika Amr menawarkannya dengan bayaran lima kali lipat, Yahudi itu tetap tak goyah, dengan alasan rumah itulah satu-satunya harta bendanya.

Namun, Amr tetap menetapkan kebijakan untuk membongkar gubuk reyot tersebut. Dia minta supaya didirikan masjid di atas tanah itu, dengan alasan demi kepentingan bersama. Si Yahudi itu hanya bisa menangis. Namun, dia bertekad hendak mengadukan sang Gubernur, Amr kepada Khalifah Umar di Madinah.

Mendengar semua itu Umar marah besar dan mengatakan, “Amr ibn al-Ash sangat keterlaluan!”. Beliau kemudian menyuruh si Yahudi itu untuk mengambil sepotong tulang dari tempat sampah yang tak jauh dari tempat mereka. 

Setelah tahu apa yang dibawa oleh orang tua yahudi itu, sang Gubernur memerintahkan pada bawahannya untuk membongkar masjid yang baru siap itu, dan supaya dibangun kembali gubuk lelaki Yahudi tersebut.

“Wahai orang Yahudi,” jelas Amr, “ketahuilah, tulang itu hanya tulang biasa. Namun, karena dikirimkan oleh Khalifah, tulang itu menjadi peringatan keras bagiku.”. Seolah-olah beliau berkata, ‘Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”

Si Yahudi itu tertunduk dan begitu terharu mendengar penuturan sang Gubernur. Dia kagum atas sikap Khalifah yang tegas dan adil, serta sikap Gubernur yang patuh dan taat kepada atasannya, hanya dengan menerima sepotong tulang kering. Sungguh mulia dan mengagumkan. Akhirnya si Yahudi itu menyatakan memeluk Islam, lalu menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf.

Begitulah keadilan sistem Islam jika diterapkan dalam bentuk negara. Sistem kehidupan yang agung bagaikan cahaya yang menyinari siapa saja yang memegangnya dan berada di bawah naungannya.