-->

Biaya Politik Tinggi, Jebakan Sistem Demokrasi

Oleh: Puspita Ningtiyas, SE

Sudah menjadi rahasia umum, mahalnya biaya politik akan memperbesar kemungkinan tumbuhnya perilaku koruptif setelah calon tersebut terpilih. Kondisi ini menjadi siklus yang terus berputar dan tidak ada ujungnya. 

Kementerian Dalam Negeri pernah melakukan riset, dalam sekali pencalonan kepala daerah biaya perlu dipersiapkan mencapai Rp 25 miliar-Rp 30 miliar. Bahkan angka temuan yang diungkap oleh KPK  jauh lebih besar. Pencalonan kepala daerah berdasarkan studi yang dilakukan KPK bisa mencapai Rp 150 miliar. Sementara, terkait dengan pemilihan legislatif, sejumlah hasil penelitian yang dilakukan memetakan besaran biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 5 miliar. (https://www.kompas.id/)

Bagaimana tidak, selama proses pencalonan, calon perlu membangun konsolidasi tim sukarelawan dan sebagainya. Jumlahnya pun tentu tidak sedikit dan biasanya tersebar ke berbagai wilayah. Ini tentu memerlukan biaya operasional yang tinggi untuk dapat mengumpulkan massa dalam jumlah besar.

Belum lagi pada kebutuhan berbagai alat  kampanye mulai dari spanduk, brosur, hingga dalam berbagai bentuk aksesoris seperti kaos, rompi, dan lain sebagainya. Pengadaan berbagai perlengkapan tersebut juga perlu dipersiapkan dengan anggaran dana yang tidak sedikit karena dialokasikan dalam jumlah yang besar untuk menarik simpati pemilih. 

Hal yang juga tidak kalah mahal  adalah membuat acara atau kegiatan. Pelaksanaan kegiatan baik dalam skala kecil maupun besar, seperti kampanye akbar tentu pula akan memakan banyak biaya. Apalagi harus menyuguhi panggung hiburan serta hadiah-hadiah menarik. Saat ini, hal lain yang juga tidak kalah menelan biaya yang mahal terkait dengan ongkos iklan politik yang juga dilakukan di media mainstream maupun berbagai platform media sosial.

Maka muncullah fenomena  ”membeli” suara rakyat. Dan ini menjadi begitu lumrah dilakukan dalam sistem saat ini. Ditambah lagi dengan rendahnya pendidikan politik masyarakat sehingga memilih jalan pragmatis menjual suara mereka demi uang. Inilah jebakan dalam sistem Demokrasi di balik biaya politik yang sangat tinggi. 

Begitu kompleks persoalan di dalam sistem Demokrasi, meski hanya dalam hal pemilihan pemimpin. Jika di awal saja sudah menimbulkan banyak persoalan, bagaimana jika berlama lama dengan sistem yang sama?

Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim, harusnya panggilan keimanan menjadi jawaban atas setiap persoalan, termasuk dalam hal pemilihan pemimpin.

Dalam Islam pemimpin dipilih bukan atas kemauannya, apalagi berebut untuk duduk di bangku kekuasaan. Namun pemimpin akan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Islam. Siapa yang tidak masuk ke dalam kriteria tersebut, maka tertolak mencalonkan diri. Prinsip ini akan menghapuskan perlombaan dalam rangka duduk di bangku kekuasaan. 

Selain itu, dalam Islam, paradigma tugas seorang pemimpin adalah dalam rangka ibadah, bukan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, atas nama kerja. Karena menjadi pemimpin adalah sebuah ibadah, maka harus sesuai dengan tuntunan Al-quran dan tuntunan Rasulullah Saw. Di akhirat kelak, para pemimpin ini akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya selama di dunia dengan kesaksian seluruh rakyat yang dulu dipimpinnya.

“...Pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya tentang rakyat yang dipimmpinnya” ( H.R Bukhari)”

Karena itu,  nuansa pemilihan pemimpin adalah nuansa sedih, bukan berpesta pora. Sebab kala itu, kaum muslimin dirundung kebingungan atas siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Di sisi lain tidak ada yang bersedia menduduki jabatan krusial tersebut. Bayangan akhirat dan neraka menghantui, kalau kalau tidak bisa adil, kalau kalau tidak lalai dalam jabatannya. Padahal jelas, ketika mereka menjabat, hanya aturan Allah lah yang diterapkan. 

Inilah yang membuat Khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq, Khalifah Umar Bin Khattab, dan Khalifah-khalifah yang lain, lari tunggang langgang ketika hendak dibaiat menjadi seorang Khalifah atau pemimpin pengganti Rasulullah Saw. Mereka takut akan pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Masya Allah di era seperti sekarang, kita merindukan sosok sosok seperti para Sahabat Rasul Saw. Semoga kelak kita dipertemukan di Surga-Nya...amin