-->

Alqur'an Dibakar (lagi) Bukti Islamofobia Akut Berbalut Kebebasan Berekspresi

Oleh: Titi Ika Rahayu, A.Ma.Pust. 

Pada Hari Raya Idul Adha, seorang warga Irak bernama Salwan Momika (37) membakar Al-Qur’an di luar Masjid Stockholm, Swedia pada Rabu (28/6/2023).

Salwan Momika adalah warga Irak yang melarikan diri ke Swedia. Sebelum membakar, bahkan Salwan Momika dikabarkan melakukan penginjakan terhadap kitab suci umat Islam tersebut. (TvOnenews.com 30/06/2023)

Ini bukanlah kejadian pertama, sebelumnya pada Januari lalu, seorang politikus sayap kanan Denmark Rasmus Paludan juga pernah membakar salinan Al-Qur’an di luar kedutaan Turki di Stockholm.

Pejabat diseluruh dunia baik dari negara-negara Arab, Amerika Serikat (AS) hingga Indonesia mengutuk keras aksi penodaan Al Quran tersebut. 

Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan menyebut penodaan Al Quran sangat tercela, dan tidak dapat diterima. "Tidak dapat diterima untuk mengizinkan tindakan anti-Islam ini dengan dalih kebebasan berekspresi," tulis Fidan di Twitter. "Menutup mata terhadap tindakan mengerikan seperti itu berarti terlibat."

Kecaman Turki sangat berat. Negara itu memblokir tawaran keanggotaan NATO Swedia atas apa yang dilihatnya sebagai kegagalan Stockholm untuk menindak kelompok Kurdi yang dianggapnya "teroris". ( CNBC Indonesia 30/06/2023)

Kementerian Luar Negeri RI, mengecam keras aksi provokatif pembakaran Al Quran tersebut. "Tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan," tulis Kementerian Luar Negeri di akun resmi twitternya, dikutip Jumat (29/6/2023)

Kemlu RI berpendapat, bahwa kebebasan berekspresi harus pula menghormati nilai dan kepercayaan agama lain. "Indonesia bersama negara anggota OKI di Swedia telah sampaikan protes atas kejadian ini," tandas Kemlu RI.

Bersatunya para tokoh dan negeri-negeri Muslim mengecam setiap terjadi penistaan terhadap Islam menunjukkan bahwa mereka masih sadar memiliki satu ikatan akidah yang sama. Namun sungguh, berulang kalinya penistaan yang diikuti dengan hanya kecaman tidak dapat menghentikan islamofobia akut berbalut kebebasan berekspresi di negeri demokrasi. Kejadian beruntun ini menunjukkan masih tingginya Islamofobia di Swedia. Padahal, Swedia dan Eropa pada umumnya sering menyerukan negara lain untuk toleransi dan menghormati hak kelompok minoritas. Ini bukti bahwa umat Muslim tak cukup sekadar mengecam.

Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menyebut ada empat faktor islamofobia makin menguat. “Pertama, kebencian terhadap Islam yang sudah mendarah daging. Kedua, cermin kekhawatiran terhadap pengaruh Islam yangmakin menguat di dunia menggantikan kapitalisme. Ketiga, menguatnya Islam tidak bisa dipisahkan dari kebijakan Barat war on terrorism dan war on radicalism. Keempat, tidak adanya negara yang merepresentasikan ideologi Islam yang memiliki pengaruh besar dalam politik internasional, ” paparnya melalui kanal Khilafah News, Rabu (25/1/2023).

Farid menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang hanya sekadar mengecam. "Dalam perkara-perkara ini seharusnya kepala negara bicara langsung, bukan sekedar mengecam, tetapi memberikan pelajaran yang keras dengan memutus hubungan diplomatik karena telah menyinggung perkara yang sangat penting dalam Islam, yaitu Al-Qur’an," ujar Farid memberikan saran. 

Sangat berbeda dengan Islam, Islam melarang pemeluknya menghina agama lain. Islam yang dipraktikkan secara politik dalam khilafah akan mencegah berkembangnya konflik sosial yang dipicu oleh agama. Serta melarang Muslim maupun non-Muslim mengolok-olok dan menista agama. Islam sebagai diin yang sempurna tidak akan membiarkan tersebarnya pemikiran yang bertentangan dengan Islam.

 Dalam Islam tidak ada larangan seseorang untuk berpendapat selama tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam. Islam memandang bahwa akidah dan syariah adalah perkara penting yang harus ada dan tetap eksis di tengah masyarakat. Menyucikan Allah dari perbuatan buruk adalah perkara akidah. Sementara mengolok-oloknya adalah bentuk kemaksiatan. Khilafah sebagai institusi negara bertugas mewujudkan kemuliaan agama dengan mengedukasi masyarakat, tidak mentoleransi pemikiran, pendapat, paham, aliran, dan aturan yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.

Dengan demikian, saat Islam diterapkan, pelaku maksiat penista agama pasti akan diberikan sanksi nyata yang memberi efek jera. Yakni hukuman ta’zir sesuai dengan derajat kejahatan yang dilakukan. Hukuman terberatnya adalah hukuman mati. Dengan adanya sanksi yang tegas disertai edukasi secara sistemis oleh negara, penjagaan kemuliaan agama akan dapat diwujudkan. Selain itu, ketentraman hidup berdampingan antar umat beragama dapat terwujud. Sebagaimana kerukunan antara umat Yahudi, Nasrani, dan Islam di Andalusia pada masa penerapan Daulah Islam di sana. Wallahu a’lam bishshawab.