Aksi Pembakaran Al-Qur'an, Bukti Nyata Islamophobia
Oleh: Ummu Maryam
Kembali ciderai perasaan umat Islam, pembakaran Al Qur’an kembali terjadi, yang terbaru dilakukan di negara Swedia. Sebagai negara yang menganut kebebasan berekspresi dan berpendapat, pembakaran Al Qur’an pun ‘direstui’ pihak keamanan di sana.
Mengutip media BCC, aksi ini dilakukan oleh pria asal Irak yang pindah ke Swedia, Salwan Momika yang melakukan pembakaran Al Qur’an di depan masjid daerah Stockholm di tengah momen umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha. Aksinya pun berujung kecaman yang datang dari warga Swedia sendiri, juga negeri-negeri Islam termasuk Indonesia yang menilai itu termasuk tindakan provokatif dan memalukan.
Cuitan Kementerian Luar Negeri Indonesia turut menyatakan, “mengecam keras aksi provokatif” dan menuliskan “tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan.”
Kecaman serupa datang dari MUI yang juga meminta Duta Besar Swedia untuk Indonesia agar menangkap pelaku dan menjamin kejadian penistaan itu kelak tidak berulang di kemudian hari.
Kebebasan yang Hipokrit
Kebebasan berekspresi, berpendapat selalu dijadikan dalih atas sikap manusia di luar sana untuk mengekspresikan hal yang disukai ataupun sebaliknya. Hanya saja kontradiktif ketika umat Islam yang mengekspresikan ajaran agamanya, dinilai ekstrimis, fundamentalis, radikalis, anti toleransi, melanggar HAM, dll.
Lalu apa standar kebebasan yang dimaksud? Apakah yang penting jangan Islam?
Dalam demokrasi-liberal, kebebasan itu diberikan pada warganya untuk menyuarakan pendapatnya, mengekspresikan pemahamannya. Hanya saja penting untuk diketahui, kitab suci yaitu Al Qur’an adalah sesuatu yang sangat sakral bagi umat Islam, seharusnya sebagai bangsa yang mengaku penganut demokrasi dapat menghargai dan menghormati hal itu.
Disaat yang sama, mereka menghujat, mengutuk, memberi gelar intoleran, terbelakang dan seterusnya jika ada pihak yang melecehkan kaum LGBT atau sekedar simbol-simbol kaum terkutuk tersebut semisal bendera atau berbagai alat propaganda mereka lainnya.
Ironinya, pemimpin negeri-negeri Islam hanya bisa mengecam. Padahal jelas mereka memiliki kekuatan, baik secara politik bahkan militer untuk bisa bersikap tegas dengan kekuasaan dari jabatannya.
Kenapa umat Islam hari ini hanya bisa sekedar mengecam? Apakah umat Rasulullah SAW sedikit atau begitu lemahnya?
Realitanya, umat Islam saat ini jumlahnya sangat banyak lebih dari 1,5 miliyar penganut. Tapi nyatanya sangat lemah tanpa kekuasaan dan kekuatan politik. Ibarat anak ayam kehilangan induknya, tak memiliki kekuatan untuk melawan dan perisai untuk melindungi. Nampak sangat nyata perkataan Rasulullah SAW yang menggambarkan kualitas umat Islam akhir zaman seperti buih di lautan. Banyak, namun tidak memiliki arti apa-apa bagi peradaban dunia.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan kondisi Islam yang terpecah dan tersekat oleh batas-batas teritorial negara/ bangsa-bangsa ulah para penjajah pasca perang dunia I dan II. Konsep-konsep asing seperti nasionalisme berhasil dibenamkan dalam pikiran umat Islam.
Melihat kondisi demikian, menjadi nyaris mustahil memberikan hukuman yang memiliki efek jera ke penista jika sistemnya justru mendukung kebebasan berekspresi seperti saat ini. Layakkah umat Islam berharap kepada sistem sekular-kapitalis-liberal?
Islam dan Kekuasaan
Bersikap dengan berdoa agar penista diberikan hukuman oleh Allah atau diazab di neraka, ya tentu itu baik. Tapi itu adalah ranah Allah SWT untuk memberikan hukuman setimpal. Sementara ranah umat Islam apakah cukup hanya dengan mengecam dan berdoa agar penista itu bisa sadar ataupun jera?
Dengan logika yang sama, apakah kita hanya sekedar mengutuk apabila ada pihak yang melecehkan, menghina orang tua kita atau orang-orang yang sangat kita cintai? Tentu jika demikian menunjukkan betapa hina, tidak memiliki harga diri jika hanya itu yang bisa kita lakukan untuk membela kehormatan orang yang kita cintai, apalagi telah begitu berjasa atas kehidupan kita.
Apalagi aktivitas membela agama-Nya adalah perintah Allah SWT sebagaimana firman Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya: Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad : 7)
Rasulullah SAW sebagai suri tauladan manusia terbaik, baik dalam kepemimpinannya sebagai seorang suami, ayah, sahabat, panglima perang bahkan kepala negara memberikan gambaran sejatinya dalam setiap peran dan aktivitasnya Rasulullah memakai Islam.
Konteks saat ini jika ada umat Islam/ pemimpin negara seorang muslim tapi alergi dengan agamanya atau sekedar membela kehormatan agamanya adalah bukti lemahnya iman bahkan bagian dari sikap kemunafikan yang sangat jauh dari contoh Nabi SAW. Padahal Islam dan kekuasaan diibaratkan bagai satu mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Sebagaimana Rasulullah SAW saat di Madinah, menjadikan Islam sebagai sebuah aturan bernegara. Kala itu umat yang diremehkan nyatanya mampu menaklukan dua peradaban imperium besar sebelumnya (Persia dan Romawi). Bahkan Islam menjadi mercusuar, kekuatan politiknya disegani oleh negeri-negeri lainnya.
Perlunya Satu Kepemimpinan
Dengan Islam sebagai aturan bernegara tentu satu paket dengan satu kepemimpinan Islam yaitu Khilafah. Demikianlah contoh Rasulullah SAW, shahabat dan 14 abad generasi setelahnya.
Allah SWT sendiri menyebutkan diantaranya tujuan manusia diciptakan untuk menjadi Khalifah Fil Ard, sebagai menjaga bumi agar peradaban manusia berjalan sesuai tujuan penciptaanNya.
Hari ini menjadi perkara yang sangat urgen dalam kapasitasnya seorang Khalifah sebagai penjaga agama, perpanjangan tangan untuk menyebarkan Islam, termasuk pelindung dari permainan serta penistaan yang dilakukan orang-orang jahil.
Kepemimpinan Islam yaitu Khilafah akan menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Selain itu juga mampu memberikan efek jera pada para pelaku hingga umat Islam kembali memiliki wibawa dan disegani oleh bangsa-bangsa lainnya.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah kepemimpinan khalifah Sultan Abdul Hamid di masa kekhilafahan Utsmani yang memiliki wibawa kepemimpinan sebagai negara Islam ketika memberikan peringatan ke negara Prancis yang memiliki agenda teater untuk melecehkan Nabi Muhammad SAW. Hingga akhirnya teater itu tidak jadi dipentaskan.
Maka bukan sesuatu yang mustahil jika hari ini umat Islam kembali menyatukan tali persaudaraan dalam satu kepemimpinan, yaitu Khilafah min haajin nubuwwah. Karena kemuliaan dan kekuatan umat akan menjadi nyata ketika Islam dijadikan sebagai pedoman hidup termasuk dalam bernegara. Tidak hanya Al Qur’an yang terjaga, kemuliaan dan nyawa umat manusia secara umum pun akan terjaga.
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Wallahu’alam
Posting Komentar