-->

Sampai Kapan Stigmatisasi Ajaran Islam dan Khilafah Oleh Negara Terus Terjadi?

Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd

Pada tanggal 25 Oktober, peristiwa wanita bercadar berinisial SE (Siti Elina) yang berusaha menerobos istana. Komandan Paspampres Marsda TNI Wahju Hidayat Sujatmiko menanggapi adanya insiden perempuan menerobos Istana Presiden dengan membawa senjata api jenis FN pukul 07.00 WIB. Komandan Paspampres Marsda TNI Wahju Hidayat Sujatmiko menjelaskan bahwa perempuan tersebut telah diserahkan kepada pihak kepolisian untuk penanganan lebih lanjut. Berawal dari kewaspadaan dari anggota Paspampres yang melihat seorang perempuan dengan tingkah laku mencurigakan. Perempuan tersebut berdiri di dekat pos utama Paspampres di depan Istana Merdeka, berada dekat lampu lalu lintas. “Jadi perempuan tersebut belum menerobos Istana. Tapi justru berawal dari kewaspadaan anggota kami (Paspampres) yang langsung menghampiri perempuan tersebut dan perempuan tersebut langsung mengacungkan senjata ke arah anggota (Paspampres),” ucap Marsdya Wahyu.(Tribunjatim,25/10/22)

Pemerintah tidak pernah berhenti memberikan stigmatisasi Islam dan Khilafah sebagai ajaran radikal dan penyebab terorisme. Bahwa yang disasar adalah Islam sangat nyata, terbukti kekerasan yang dilakukan pihak lain, seperti pendeta, bahkan KKB yang mengakibatkan banyak korban tewas sekalipun, tidak pernah disebut sebagai terorisme. Dari kasus-kasus yang selama ini menyeruak di media, nampak jelas bahwa siapa saja dapat disasar dengan tuduhan keji ini, meski tak pernah jelas latar belakangnya, demikian juga penanganan kasusnya 

Selain itu penggunaan istilah “Khilafahisme” untuk menyebut sistem Khilafah adalah bentuk penistaan terhadap ajaran Islam. Apalagi ketika Khilafah disetarakan dengan Marxisme-Komunisme dan Kapitalisme-Liberalisme yang pengembannya bisa diburu dan ditangkap. Khilafah adalah ajaran Islam. Oleh karena itu siapa saja yang memperjuangkannya bukan pelaku kriminal. Mengusahakan tegaknya Khilafah adalah wujud ketaatan pada agamanya. Memburu dan menangkap orang yang hendak mengamalkan agamanya adalah bentuk permusuhan pada kaum muslimin. Khilafah adalah ajaran Islam yang agung dari Allah SWT. Khilafah sistem pemerintahan dalam Islam, sekaligus sebagai metode pelaksanaan syariat secara kaffah (menyeluruh). Khilafah bukan ideologi, karena ideologi merupakan ide dasar yang mendasari semua pemikiran yang dibangun di atasnya. Ideologi adalah pemikiran mendasar yang melahirkan sistem kehidupan. Perlu ditegaskan lagi, bahwa Khilafah adalah ajaran Islam tentang sistem pemerintahan, pelaksana hukum syariat dan dakwah.

Selain itu, kita juga harus membaca secara politik bahwa istilah tersebut adalah alat propaganda untuk menyerang Islam dan kaum muslimin. Istilah “radikalisme” –dan sekarang “Khilafahisme”- selalu digunakan untuk menyasar umat Islam. Kita ketahui bersama bahwa Khilafah itu adalah ajaran Islam. Lalu, pantaskah ajaran Islam itu dikriminalisasi? Demikian pula radikalisme yang hingga sekarang masih bias makna dan lebih cenderung sebagai narasi politik untuk melawan pihak-pihak tertentu yang berseberangan dengan penguasa. Ia hanya akan menjadi alat pukul terhadap warga negara yang kritis dan berbeda cara pandang dengan rezim. Tepat jika dikatakan bahwa narasi “Khilafahisme” dan “radikalisme” adalah alat propaganda. Dalam dunia politik, propaganda adalah metode sekaligus alat yang sangat efektif untuk mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawan yang dilakukan lebih dari satu kali atau secara terus menerus (repetitive action).

Khilafah Adalah Ajaran Islam

Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat al-Nahl Ayat 89. Abdullah Ibn Mas’ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”.Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Nabi SAW bersabda,


لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ


“Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat” (HR. Ahmad).

Khilafah memiliki makna yang khas dan agung dalam Islam. Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.[13] Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran, seperti QS. Al-Baqarah: 30, QS. Al-An’âm: 165, dan QS. Al-Naml: 62.

Umat islam hanya akan aman dan nyaman dalam naungan Khilafah, termasuk saat melakukan aktivitas dakwah. Kewajiban menegakkan Khilafah didasarkan pada al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, al-Quran menyatakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah.  Pada QS. Al Maidah , Allah SWT berfirman,


فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ


“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. al-Maidah: 48).


وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ


“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49).

Seruan Allah SWT untuk Rasulullah –untuk memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan- pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah SAW untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah. Perintah dalam ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal ini menurupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah. Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, mu’amalah, dan lain-lain.  Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (penguasa). Atas dasar itu, mengangkat seorang penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah khalifah dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah. Wallahu a’lam bisshowab.