-->

Islam Solusi Konkrit KDRT Dan Pelecehan


Oleh: Yuliana (Aktivis Muslimah, Ibu Rumah Tangga)

Akhir-akhir ini berita didominasi oleh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh artis papan atas Rizky Billar terhadap Istrinya Lesti Kejora. Sebetulnya kasus KDRT di negeri ini bukan kali pertama terjadi.  Ada banyak Lesti di negeri ini yang juga mengalami kasus KDRT namun tidak terekspos ke permukaan karena berbagai faktor.

Berdasarkan data Kementerian PPPA, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Fakta ini belum termasuk kasus KDRT yang tidak dilaporkan. Seperti yang terjadi di Pemkot Yogyakarta mencatat 156 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi di wilayahnya sepanjang tahun 2022 ini. Dari rentetan kasus tersebut, 24 di antaranya berlanjut hingga meja hijau (TribunJogya, 2/10/2022).

Penelitian oleh Lembaga Sahabat Perempuan Magelang memaparkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada survivor adalah perselingkuhan, masalah ekonomi, budaya patriarki, campur tangan pihak ketiga, bermain judi, dan perbedaan prinsip. Namun dari semuanya, faktor utama yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan yang dilakukan suami dengan perempuan lain. Dan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh survivor adalah kekerasan fisik (ditampar, dijambak, ditempeleng, diinjak-injak), kekerasan psikis (caci maki, ancaman), dan penelantaran rumah tangga.

Miris memang hidup di jaman sekulerime di mana pemicu kekerasan terhadap pasangan mayoritas disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap aturan Sistem Pergaulan Dalam Islam (An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam). Laki-laki dan perempuan baik yang masing single maupun yang sudah berkeluarga tidak diatur secara spesifik oleh negara dalam menjalankan interaksi dengan lawan jenis, akibatnya banyak dari mereka yang kebablasan. Padahal Islam sudah memiliki aturan sedemikian rupa untuk mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan agar tercipta keharmonisan, dan aturan tersebut tentunya memerlukan peran negara dalam penerapannya.

Justru solusi yang ditawarkan dalam sistem saat ini, peran negara sangat minim mengatasi permasalahan KDRT yang terjadi.  Melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga hanya menghimbau dan mengajak masyarakat berani angkat bicara apabila menjadi korban atau sebagai saksi pelecehan seksual atau KDRT yang terjadi baik kepada perempuan maupun anak. Bintang mengungkapkan, ajakan kepada masyarakat untuk berani angkat bicara bertujuan untuk memberikan keadilan terhadap korban dan efek jera untuk pelaku pelecehan seksual. 

Memang speak up atas kekerasan adalah satu keharusan, namun speak up tidak akan mampu tuntaskan masalah KDRT dan pelecehan,  apalagi  sudah ada banyak regulasi yang disahkan di negeri ini, nyatanya regulasi tersebut tidak berdaya memberikan solusi yang tuntas karena negara tidak memberikan dukungan sistem kehidupan yang mendorong terbentuknya keluarga sakinah mawadah warahmah.

Fakta bahwa maraknya KDRT dan pelecehan dipicu oleh kemiskinan dan perselingkuhan menjadi bukti tak adanya supporting sistem dari negara. Untuk itu tidak ada solusi lain yang lebih sempurna dalam mengatasi permasalah KDRT dan pelecehan kecuali dengan penerapan hukum Syara' dalam berbagai lini kehidupan melalui penerapan Islam Kaffah. 

Terciptanya keharmonisan rumah tangga dan keluarga tentunya tidak akan bisa lepas dari tiga pilar utama dalam kehidupan yakni Individu, masyarakat dan negara yang harus saling bersinergi dalam membentuk masyarakat yang takut pada Alloh dan Rasulnya. Sehingga kasus KDRT dan pelecehan bisa sangat diminimalisir dari sejak awal sebelum laki-laki dan perempuan memutuskan untuk menikah.

Wallahu'alam Bish shawab