-->

Pertumbuhan Ekonomi dalam Sistem Kapitalis, Benarkah Hanya Ilusi?

Oleh : Watini (Pemerhati Masalah Umat)

Permasalahan ekonomi seakan tak pernah menemui titik penyelesaian. Hingga ketimpangan sosial tak bisa lagi terelakkan. Ditambah akhir-akhir ini terjadi kenaikan harga pangan. Rakyat kembali dirundung kesulitan membeli kebutuhan. Sementara pemerintah mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi telah mengalami peningkatan.

Seperti yang dilansir dalam ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sulawesi Tenggara (Sultra) mengalami peningkatan ekonomi pada triwulan I 2022 sebesar 5,07 persen dibanding periode yang sama tahun 2021. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra Agnes Widiastuti mengatakan, dari sisi produksi, lapangan usaha jasa lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 9,53 persen. Sedang dari sisi pengeluaran, komponen lembaga non profit yang melayani rumah tangga mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 6,65 persen.

Pada sistem saat ini, pertumbuhan ekonomi hanya didasarkan pada neraca transaksi perdagangan. Kenaikan harga pangan tidak mempengaruhi kuantitas meski menjadi tren di lapangan. Dengan kata lain, kesulitan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tidak menggeser sedikitpun angka statistik yang ada. Hal ini membuktikan bahwa indikator peningkatan pertumbuhan ekonomi bukan didasarkan pada pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Tidak heran, meski masih minim gaji pegawainya, meningkatnya kemiskinan, kelaparan, maupun pengangguran, tidak mengganggu angka pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah.

Jika demikian, pertumbuhan ekonomi yang dimaksud hanyalah idealisme semata. Tanpa adanya perubahan nyata yang dirasakan oleh rakyatnya. Kelangsungan hidup masih dipertaruhkan, sementara angka pertumbuhan semakin tinggi tak sesuai fakta. Peluh keringat tak terbayarkan, derita rakyat terus diabaikan. Sedangkan pemerintah hanya terfokus pada angka semu, tanpa melihat langsung di setiap sudut wilayah masih butuh perhatian.

Padahal sejatinya, sudah menjadi tugas seorang pemimpin dalam suatu pemerintahan untuk mengurusi urusan rakyatnya. Memastikan rakyat dalam keadaan terpenuhi kebutuhan tanpa kekurangan. Bukan sekedar mementingkan asas kemanfaatan. Melakukan belusukan di daerah-daerah hanya ketika mendekati masa pemilihan. Tapi di saat yang berbeda, justru abai atau bahkan berpura-pura tak memiliki informan.

Tentu ini berbeda dengan Islam. Dalam Islam ketika masih banyak rakyat yang kelaparan, kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan masih banyak yang pengangguran dan mengakibatkan ekonomi mengalami kemacetan. Maka negara wajib segera mengelola dan mengendalikan perekonomian. Mengendalikan distribusi dan mengatur proses proses produksi agar merata hingga ke pelosok negara. Misalkan memberikan modal bagi yang tidak memiliki pekerjaan dengan mengambil anggaran dari baitul mal. 

Seperti yang dicontohkan pada masa Nabi saw., jaminan atas kebutuhan hidup rakyat telah berjalan dengan sempurna. Nabi saw,.bersabda:
“Siapa (yang mati) dan meninggalkan utang atau tanggungan, hendaklah dia mendatangi aku karena aku adalah penanggungjawabnya” (HR. Al-Bukhori).

Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketika Allah SWT memberikan kemenangan (kepada kaum muslim) pada suatu negeri dan berlimpah harta, maka siapa saja yang meninggal dalam keadaan memiliki utang, ia berhak dilunasi utang-utangnya dari Baitul mal kaum muslim” (Tuhfah Al-Ahwadziy, 3/142).

Jika Kas Negara atau Baitul mal tidak mencukupi kebutuhan darurat, negara diizinkan memungut pajak (dharibah) untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, pungutan pajak ini bersifat temporer. Hanya saat mendesak/darurat saja. Dalam islam, tidak semua warga dipunngut pajak. Hanya kaum Muslim yang kaya yang dikenakan pajak. Muslim yang bukan kalangan kaya tidak dipungut pajak. Hebatnya lagi, warga non-Muslim sama sekali tidak dipungut pajak, sekalipun ia kaya. Sabda Nabi saw:
“Sedekah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya” (HR. Al-Bukhori).

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., misalnya, pernah terjadi masa panceklik berkepanjangan. Hampir sepanjang tahun itu hujan tidak turun. Kelaparan terjadi di mana-mana akibat gagal panen. Ribuan orang berbondong-bondong datang ke ibukota, Madinah. Mereka meminta bantuan negara. Khalifah Umar ra., bergerak cepat dengan menyediakan dapur massal. Beliau meminta bantuan pasokan pangan dari para gubernurnya di luar Madinah.
Demikianlah cara sistem Islam menjamin kebutuhan rakyatnya. Bukan dengan aksi pencitraan demi mendapatkan simpati dari rakyat, atau dengan memberi mereka bantuan ala kadarnya. Pada saat yang sama dana untuk kebutuhan rakyat diseludupkan tanpa belas kasihan. Sebab ekonomi Islam berbasis kerakyatan dan berpusat di baitul mal, di mana pengelolaan terhadap kebutuhan rakyat menjadi kewajiban negara. Sehingga angka pertumbuhan ekonomi bukan hanya sekedar data, tapi sesuai fakta dengan terjaminnya kebutuhan rakyatnya. 

Wallahu a’lam bish-shawwab.