-->

Sengkarut Label Halal BPJPH : Jangan Malah Membebani

Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Pendidik dan Pengamat Kebijakan Sosial)

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menetapkan logo label halal baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Menag mengatakan bahwa label tersebut  mulai berlaku 12/03/2022 secara nasional. Aturan tersebut dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal.

Sebelumnya Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham membeberkan alasan pergantian logo label halal ini. Menurut dia, hal tersebut merupakan amanat dari PP No 39 Tahun 2021 tentang Jaminan Produk Halal. Disebutkan bahwa yang berwenang mengeluarkan logo label halal adalah BPJPH. Setelah logo label halal tersebut diluncurkan, beragam respons muncul dari masyarakat. Salah satunya yang menilai logo tersebut baru sulit dibaca dan dipahami. Masyarakat kadung akrab dengan dengan label halal bundar dengan tulisan "Majelis Ulama Indonesia" dan di tengahnya disertai kaligrafi berbahasa Arab. Sedangkan menurut Sekjen MUI Amirsyah Tambunan menegaskan bahwa label halal MUI masih tetap dapat digunakan hingga 5 tahun ke depan. Masih berlakunya label halal MUI merujuk pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Ia menyebut ada beberapa ketentuan yang diatur dalam aturan tersebut. Yakni, sertifikat halal yang telah diterbitkan MUI atau BPJPH sebelum peraturan pemerintah ini diundangkan, tetap berlaku sampai dengan jangka waktu Sertifikat Halal berakhir. Kemudian, bentuk label halal yang ditetapkan MUI sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap dapat digunakan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini diundangkan. Karenanya, ia meminta masyarakat tak lagi resah terkait penerbitan logo halal baru. Di lain sisi, Amir juga mendorong kepada Kementerian dan Lembaga terkait untuk mensosialisasikan logo serta maknanya kepada masyarakat luas untuk menghindari penolakan.

Perubahan label halal yang baru diperkenalkan Kementerian Agama atau Kemenag pada Sabtu 12 Maret 2022 menuai protes Netizen.  Label Halal Indonesia menggantikan label Halal MUI, sangat berbeda dengan bentuk dan warna dengan sebelumnya. Label Halal Indonesia berbentuk gunungan dengan warna keunguan, dan menghilangkan tulisan Majelis Ulama Indoensia (MUI).  Bentuk tulisan Arab halal diprotes karena dianggap kurang familier dan susah dibaca. Selain protes soal pilihan logo halal yg baru, mestinya masyarakat tetap kritis pada tujuan pemberlakuan label halal. Yakni memberi jaminan halal bagi konsumen, jangan sampai malah kabur/tidak jelas dari substansi halal produknya dan jangan hanya menjadi alat untuk menarik untung hingga justru membebani masyarakat/produsen.

Berdasarkan estimasi analisis data dari Global Religious Futures, penduduk Muslim Indonesia pada tahun 2020 mencapai 229,62 juta jiwa, artinya Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia. Maka, sertifikasi halal untuk makanan ini justru sebagai kontrol makanan sehat, serta bergizi dan aman dari segala efek samping baik bahan kimia maupun rekayasa genetika. Otomatis, tudingan segelintir pihak yang mengklaim sebagai investasi dan penilaian akan terhambat jika masih ada yang mensyaratkan sertifikasi halal merupakan logika cacat pikir. Data telah membuktikan, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial di dunia, yang berarti tidak boleh lepas penjagaan dan kontrol dari negara untuk memberi jaminan makanan yang halal, mengingat muslim sebagai penduduk mayoritas. Dengan demikian, keinginan pemerintah menyegarkan iklim investasi harus dilandasi dengan keberpihakan pada kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para pekerja dan konsumen muslim.

Dengan Logo baru yang lebih kental unsur kejawennya dan menghilangkan substansi halal yang sudah bertahun-tahun dipahami muslim Indonesia bahkan muslim internasional, maka secara tidak langsung perlindungan konsumen muslim masih terkesan lebih berfokus pada bagaimana bisa menghilangkan tulisan kearab-araban tapi abai pada perlindungan bagi masyarakat. Sehingga, alih-alih pemerintah melakukan tugas publik yang lebih urgen, misalnya membuat harga komoditi pangan stabil, dengan pemerataan distribusi dan subsidi sebagai wujud keberpihakan dan dukungan serta perlindungan pada masyarakat Indonesia harus lebih diutamakan, daripaada pada peralihan logo halal yang kurang dibutuhkan kemanfaatannya bagi ummat.

Perlu Penerapan Aturan Islam
Perkembangan teknologi telah menciptakan aneka produk olahan yang kehalalannya diragukan. Banyak dari bahan-bahan haram terebut yang dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada berbagai produk olahan, karena dianggap lebih ekonomis. Akibatnya kehalalan dan keharaman sebuah produk seringkali tidak jelas karena bercampur aduk dengan bahan yang diragukan kehalalannya. Hal ini menyebabkan berbagai macam produk olahan menjadi syubhat dalam arti meragukan dan tidak jelas statusnya.

Salah satu persoalan cukup mendesak yang dihadapi umat adalah membanjirnya produk makanan dan minuman olahan, obat-obatan dan kosmetika. Sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut: 
Yang artinya; “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 168)

Berdasarkan ayat tersebut, penting diketahui bahwa sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini yang merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah dengan dibekali seperangkat akal, sudah seharusnya dapat memilih dan mengetahui makanan yang baik serta halal bagi jiwa, raga dan kesehatannya. Dalam lingkup yang luas,  sebagai warga negara yang mayoritas muslim, maka diperlukan peran negara sebagai penjamin kehalalan produk yang akan menjadi bahan konsumsi warganya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya negara wajib memiliki standarisasi halal bagi konsumen. Yakni memberi kepastian, perlindungan, dan ketenangan terutama umat Islam.  Maka standarisasi makanan halal sangat penting dan berpengaruh bagi umat Islam dalam mengkonsumsi. Maka, negara harus mewadahi dalam menjaga standarisasi produk makanan halal. Hal ini karena logo halal berfungsi sebagai penjelasan kepada konsumen. Sebab, pada dasarnya seluruh akar permasalahan terkait sertifikasi halal pada produk obat maupun bahan baku dan perangkat teknologinya, bermuara pada pemerintah yang harusnya memiliki kesadaran penuh terhadap kepengurusan rakyat. 

Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membuat regulasi yang benar terkait pemberlakuan halal dan haram bagi kepentingan rakyatnya. Hal itu diwujudkan dengan memperketat lalu lintas impor barang dengan pemberian standar jaminan kehalalan dan kualitas. Disini, rakyat lebih membutuhkan jaminan halal, bukan sertifikasi halal semata. Oleh sebab itu, agar kemaslahatan umat dapat berjalan dengan kaidah yang benar, maka perlu wadah yang dapat menaungi secara sempurna, yakni Khilafah yang merupakan suatu sistem terbaik bagi peri'ayahan umat. Sebab, khilafah hanya menggunakan hukum syariat sebagai standar kepengurusan umat. Sayangnya, kehidupan bernegara di Indonesia saat ini masih menggunakan sistem kapitalisme, sehingga sulit mewujudkan keadilan yang merata bagi seluruh rakyatnya. 

Wallahu a'lam.