-->

MENYOAL LABELING PENCERAMAH RADIKAL

Oleh : Dira Fikri

Presiden Joko Widodo mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama yang disampaikan di Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Selasa (1/3/2022). Beliau juga menyampaikan, jangan sampai karena atas nama demokrasi lalu bebas untuk mengundang penceramah radikal.

Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah merilis ciri penceramah radikal, diantaranya mengajarkan anti Pancasila, berpaham takfiri, menanamkan sikap anti pemerintah, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan dan berpandangan anti-budaya dan kearifan lokal.

Di dalam undang-undang, kata radikal tertuju pada aktifitas yang merongrong negara, mengancam konstitusi dan menyebarkan kebencian. Tidak ada sekalipun pembenaran yang mengklaim bahwa aktifitas amar makruf nahi munkar adalah bagian dari radikalisme. Aktifitas yang biasa kita sebut sebagai dakwah, menyampaikan kebenaran dan meluruskan yang batil/salah adalah perintah di dalam Islam yang sudah diketahui oleh semua muslim. 

Kondisi saat ini, dimana ketimpangan sosial dan ketidakadilan hukum menjadi target yang memang harus diluruskan. Karena Islam memiliki seperangkat aturan yang memberikan solusi bagi segala permasalahan masyarakat. Sehingga aktifitas dakwah harus selalu dilakukan. Agar masyarakat tidak berputus asa dengan kondisi yang ada dan memiliki harapan bahwa kita bisa memiliki kehidupan lebih baik dengan ditegakknya Islam secara sempurna. 

Namun, jalan kebaikan selalu memiliki rintangan yang menghadang. Itu adalah sunnatullah dalam kehidupan. Alih-alih meluruskan dan mencari kebenaran, stereotip penceramah radikal justru membuat gaduh. Beberapa waktu lalu, beredar di sosial media mengenai daftar penceramah radikal yang harus diwaspai masyarakat. Dimana ceramah para da’i yang masuk dalam daftar tersebut dapat kita jumpai di dunia maya secara bebas. Masyarakat akan bisa menilai sendiri, apakah konten muatan ceramah mengajak kepada hal yang bisa membahayakan negeri? Atau justru hanya sebagai bagian dari pembungkaman atas kritik yang disampaikan?

Padahal dalam demokrasi sendiri menyatakan bahwa salah satu pilar penyangga ideologinya adalah kebebasan berpendapat. Ini menjadi menarik, seolah jika ide yang disampaikan sejalan dengan paham kebebasan yang diagungkan dan tidak berhubungan dengan agama, semua menjadi sah. Namun, jika sudah menyangkut muslim yang menyuarakan syari’atNya untuk diterapkan, maka itu disebut bibit radikalisme dan dituduh sebagai intoleran.

Islam telah menjelaskan bahwa tidak ada paksaan untuk memasukinya. Namun, konsekuensi keimanan adalah taat pada apa yang telah diperintahkan oleh Allah, dan meninggalkan apa yang telah dilarangNya. Tata cara dakwah sendiri juga telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Disampaikan dengan cara yang baik, agar mudah untuk dipahami oleh orang yang kita sampaikan. Sehingga label penceramah radikal sendiri perlu diluruskan. Jika semua disamakan, bahwa mengkritik pemerintah itu sama dengan membenci pemerintah ini adalah hal yang keliru. Tidak semua pengkritik itu pembenci, karena muhasabah / melakukan kritik terhadap penguasa sendiri adalah bagian dari syari’at. Dan apapun yang bersumber dari syari’at itu pasti akan membawa kebaikan. Meski demikian adab dan tata cara untuk menyampaikannya harus diperhatikan.

Indonesia adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar. Pasti menjadi harapan besar, bahwa labeling radikal ini tidak akan menjadikan muslim di negeri ini untuk takut mempelajari lebih mendalam tentang Islam. Islam itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam, begitulah Rasul mengajarkan. Jika umat Rasul dahulu merasakan Rahmat dari diterapkannya Islam di muka bumi, maka begitupun pada saat ini. Sesungguhnya, keruwetan hidup sebagian besar masyarakat di negeri ini adalah hasil dari kita yang telah jauh meninggalkan ajaran Islam. Islam hanya kita jalannya dalam lingkaran individu saja. Sedang dalam tatanan kehidupan masyarakat, kita telah menegakkan hukum buatan manusia yang hakikatnya jauh dan tidak sebanding dengan hukum buatan Allah SWT.

Wallahu’alam.