-->

Kucuran APBN Demi Pariwisata Mandalika, Rakyat Dapat Apa?

Oleh : Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom

Pergelaran MotoGP Mandalika 2022 yang berlangsung 18-20 Maret lalu telah berakhir dan menyisakan banyak cerita. Bahkan untuk mensukseskan gelaran tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah telah menggelontorkan alokasi dana sebesar 1.3 triliun rupiah yang  berasal dari APBN kepada pihak pengembang. Tak hanya itu bahkan untuk acara berbasis internasional ini pemerintah dengan rela hati memberikan insentif PPN dan insentif bea masuk dan pajak impor.

Menteri PUPR dalam podcast di kanal youTube mengatakan perhelatan motoGP merupakan promosi wisata yang sangat besar serta bisa mendongkrak kembali ekonomi masyarakat Lombok. Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menyatakan bahwa Kawasan Ekonomi Krearif (KEK) Mandalika merupakan 1 dari 10 destinasi  periwisata prioritas atau "Bali baru" Indonesia.

Saat ini pemerintah memang sangat serius menggenjot sektor pariwisata dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Meski ditengah pandemi pembangunan mega proyek yang diprediksi menghabiskan dana sekitar 43.5 triliun ini tetap dilakukan. Terlebih pembangunannya diserahkan kepada PT. Pengembang Pariwisata Indonesia (ITDC) koorporasi yang mendapatkan previlese/hak istimewa untuk menjalankan industri pariwisata Mandalika. Mulai dari infrastruktur jalan, perbaikan kawasan pemukiman hingga homestay. Bahkan PT ITDC mengklaim telah mengantongi investasi dari beberapa Investor swasta lokal dan asing untuk pembangun di kawasan ini.

Investasi terbesar berasal dari Vinci Constructions Grand Project senilai US$1 miliar (setara Rp14,5 triliun) yang diberikan secara bertahap selama 15 tahun. Lalu dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) senilai US$248,4 juta (setara Rp3,6 triliun) yang diberikan dalam payung program Mandalika Urban & Tourism Infrastructure Project (MUTIP). Serta pembiayaan ekspor dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang dikucurkan melalui skema National Interest Account (NIA) dengan besaran mencapai Rp1,18 triliun.

Keterlibatan para investor ini tentu bukan tanpa kompensasi. Selayaknya sebuah proyek bisnis, para investor pun tentu melakukan hitung-hitungan ekonomi. Investasi harus menghasilkan keuntungan materi yang berlipat-lipat bagi investor. Tanpa memperdulikan kerusakan yang diakibatkannya baik kerusakan lingkungan maupun rusaknya masyarakat. 

Dari awal rencana pembangunan proyek ini mendapat banyak kontroversi. Kawasan seluas 1.035,67 hektare ini mendapat sorotan dari pakar HAM PBB untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia Olivier De Schutter dan dinilai proyek yang melanggar HAM. Hal ini dikarenakan pembangunan dilakukan dengan cara menggusur dan merampas tanah masyarakat setempat.

Para petani dan nelayan terusir dari tanah dan mata pencaharian mereka. Masyarakat mengalami perusakan rumah, ladang,  sumber air, situs budaya dan religi. Bahkan banyak masyarakat yang menjadi korban penggusuran belum menerima kompensasi dan ganti rugi dari pemerintah. Walaupun tentu saja hal tersebut dibantah oleh aparat dan media ikut menutup rapat permasalahan tersebut.

Keseriusan pemerintah dalam pembangunan Mandalika dan menyelenggarakan kejuaraan dunia motoGP menunjukkan kurangnya perhatian mereka dalam menyelesaikan persoalan ekonomi rakyat yang semakin terhimpit akibat pandemi. Dari mulai tingginya harga barang-barang pokok, kemiskinan yang semakin meningkat tajam hingga masalah pelayanan publik yang carut marut. Infrastuktur yang kurang memadai dari mulai banyak jalan yang rusak, jembatan yang putus, jaringan listrik sembrawut hingga konstruksi bangunan yang kurang memadai dan semua hal tersebut mendapat rapot merah. 
Alih-alih memperbaiki hidup dan memenuhi segala kebutuhan dan pelayanannya kepada rakyat, malah lebih mementingkan pembangunan proyek infrastuktur Mandalika yang jauh dari kemaslahatan. Beginilah jika kita hidup dalam sistem Demokrasi Kapitalisme dimana hanya berorientasi pada materi (ekonomi). Sehingga para pemimpin terdidik dengan pemikiran kapitalisme yang lebih memprioritaskan modal dan keuntungan semata. Menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada para investor serta menjual aset-aset negara selama dia menjabat merupakan hal yang sepertinya lumrah dilakukan.

Berdalih ingin meningkatkan perekonomian rakyat padahal sejatinya hanya menguntungkan korporasi dan para penguasa disekelilingnya. Seperti contoh dilegalkannya UU Omnibuslaw yang jelas-jelas merugikan rakyat dan menurunkan perekonomian rakyat. Justru ekonomi para pengusaha lah yang meningkat tajam sehingga tak ada kepentingan atas nama rakyat namun untuk segelintir orang yakni para pemilik modal. Jargon demokrasi dari oleh dan untuk rakyat hanya topeng semata yang sebenarnya demokrasi dari oleh dan untuk korporasi. Karena nyatanya kepentingan rakyat tidak pernah jadi prioritas jikapun ada hanya mendapatkan remah-remahnya saja itupun jika beruntung. 

Dalam Islam pemimpin dalam negara Khilafah yakni Khalifah adalah ra'in atau pelayan rakyat. Ia bertugas mengurusi setiap persoalan rakyat sesuai Syariat Islam. Dimana kewajiban negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yakni pangan, papan, sandang, kesehatan, keamanan. Negara memiliki pula kewajiban membangun fasilitas publik dalam rangka melayani kemaslahatan umat. Karena infrastuktur termasuk kategori fasilitas umum yang dibutuhkan semua orang (maraafiq al-jamaa'ah).

Pembangunan infrastuktur dilakukan guna memudahkan kegiatan umat, meringankan aktivitas kerja serta dapat memperlancar distribusi pemenuhan kebutuhan rakyat. Pembangunan jalan raya, tol, laut, bandara, listrik, pelabuhan, bendungan dan lain-lainnya tidak boleh dimonopoli oleh individu dan wajib di bangun serta dikelola oleh negara. Karenanya setiap infrastruktur yang dibangun dapat diakses secara gratis.

Khalifah Umar Bin Khathab bahkan pernah menyediakan pos khusus dari Baitul Mal untuk mendanai infrastuktur jalan karena khawatir jika ada yang terjatuh jika jalannya rusak. Dalam khilafah seriap pembangunan akan dirancang sematang mungkin agar tidak ada infrastruktur mubazir dan selalu memperhatikan kemaslahatannya bagi umat. Khilafah bahkan memiliki mekanisme pengelolaan anggaran dari pos-pos di Baitul Mal sehingga tidak membutuhkan suntikan dana dari pihak swasta karena itu haram.

Wallahu'alam bisshawab