Doa Lintas Agama dan Ngaji Budaya: Pluralitas atau Pluralisme?
Oleh : Adinda Putri Firdaus
Doa lintas agama dan ngaji budaya menjadi event yang diselenggarakan oleh Pengasuh PPIQ Darul Hidayah, Hisa Al-Ayubi bersama teman-temannya. Event ini berkaitan dengan insiden yang pernah dilakukan seorang pria yang menendang serta melempar sajen di lokasi korban yang terdampak erupsi Gunung Semeru beberapa waktu yang lalu. Aksi tersebut terekam dan dipublikasi oleh pihak yang tidak diketahui asalnya. Lantas hal ini menjadi perhatian publik. Banyak pihak yang mengecam perbuatan pria tersebut, bahkan kepolisian dengan cepat dan tanggap dalam menangani kasus ini.
Komunitas gerakan lintas agama turut merespon, yakni dengan menggelar forum diskusi yang berjudul ‘Melawan Intoleransi’. Forum diskusi ini dihadiri oleh puluhan pemeluk keyakinan dan kepercayaan, salah satu anggota DPRD, perwakilan partai, ormas Pemuda Pancasila, dan satgas PDIP. Dalam forum diskusi ini, Hisa Al-Ayubi menyampaikan bahwa ia merasa geram dan malu terhadap perbuatan pria yang menendang dan melempar sajen sehingga diadakanlah sebuah event doa lintas agama dan ngaji budaya sebagai bentuk toleransi terhadap umat beragama.
Tujuan Hisa Al-Ayubi menyelenggarakan event tersebut diantaranya untuk mengenalkan budaya jawa kepada masyarakat yang seringkali dianggap bertentangan dengan norma yang berlaku, menghilangkan persepsi buruk terhadap sajen maupun dupa, dan menjaga agar warga Malang tetap kondusif serta tidak terprovokasi dengan tindakan yang dilakukan pria dalam video.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa tujuan penyelenggaraan event ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Pasalnya, terdapat 1000 sajen dan dupa yang diletakkan sekitaran lokasi dimana acara berlangsung. Sedangkan sajen dan dupa merupakan benda-benda yang digunakan oleh umat hindhu untuk sembahyang, yang artinya kedua benda tersebut menjadi simbol yang diyakini oleh umat hindhu dalam menjalin keterikatan dengan sosok yang dianggap tuhan. Sehingga jelas lah arah dari penyelenggaraan doa lintas agama dan ngaji budaya ini yakni untuk menjunjung tinggi nilai toleransi antar umat beragama.
Namun, toleransi yang demikian bertentangan dengan syariat Islam karena sama halnya dengan mencampuradukkan ajaran agama yang satu dengan agama yang lain. Selain itu, toleransi macam ini hanya terjadi dinegara dengan sistem demokrasi, yang mana masyarakat memiliki kebebasan dalam berpendapat. Namun, frasa ‘kebebasan’ tersebut tidak ditegaskan secara gamblang. Alhasil, banyak pihak yang menyalahgunakan kebebasan berpendapat demi kepentingan individu maupun golongan. Seperti halnya fenomena doa lintas agama dan ngaji budaya, masyarakat muslim dibiarkan bahkan didukung oleh pemangku kepentingan untuk melakukan sebuah tindakan yang bertentangan dengan nilai Islam atas dasar toleransi. Seakan-akan umat muslim saat ini mudah sekali untuk dimanipulasi dan tidak dapat membedakan antara pluralitas dengan pluralisme. Tanpa disadari, propaganda semacam ini dapat mengikis keimanan dengan membenarkan sesuatu yang bertentangan dengan syara’.
Padahal Islam adalah agama yang tidak memberatkan umatnya dalam menjalankan syariat, serta memiliki batasan yang tegas terkait toleransi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama dalam Q.S Al-Kafirun ayat 6 Allah berfirman, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”.
Allah menciptakan manusia dengan berbagai bangsa dan suku, namun tidak dengan agama yang beragam karena sejatinya semua bayi dilahirkan dalam keadaan suci dan Islam, namun orang tuanya lah yang menjadikan Nasrani, Yahudi, atau Majusi. Sebagaimana yang tertera dalam hadith, Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”(HR. Bukhari Muslim)
Pemahaman pluralisme yang mengakui bahwa semua agama sama dan benar memunculkan rasa tolerasi yang berlebihan. Oleh karenanya, pemahaman ini memiliki keterkaitan yang erat dengan islam moderat, yakni memahami Islam sebagai agama yang mengedepankan nilai toleransi serta bertumpu pada nilai kebudayaan dan agama. Salah satu bentuk toleransi yang dimaksud yakni turut mengikuti perayaan agama lain.Sudah sangat jelas, bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam, Allah berfirman dalam Q.S Ali-Imran ayat 19,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”
Fenomena ini menjadi pembelajaran bagi umat muslim agar lebih berhati-hati dalam merespon permasalahan yang terjadi di masyarakat. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan serta keyakinan agama lain. Cukuplah bagi kita menjadikan akhirat dan adzab Allah sebagai pengingat untuk selalu menjalankan perintah-Nya serta berusaha untuk tidak melakukan segala hal yang dilarang-Nya serta tidak mempersekutukan-Nya.
Sesungguhnya Allah telah menjadikan al-Qur’an bagi umat manusia sebagai pedoman yang di dalamnya disampaikan pula tentang adzab yang dirasakan orang-orang terdahulu yang menyekutukan Allah, baik adzab di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana halnya syahadat yang selalu kita ucap tatkala melaksanakan shalat, maka sudah seharusnya bacaan tersebut selalu kita implementasikan dalam kehidupan.
Wallahualam bi Shawab
__________________________________________
Dukung terus Penamabda.com menjadi media rujukan umat.
Dukung juga channel youtube dan IG Pena Mabda ya sahabat!
Posting Komentar