-->

Polwan dalam Arus Kesetaraan Gender

Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)

Peran polisi wanita atau Polwan kini kian strategis. Dalam Konferensi Asosiasi Polwan Internasional di Labuan Bajo, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa Polri akan terus memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia begitpula keberadaan Polwan di Korps Bhayangkara (cnnindonesia.com, 08/11/2021). Bentuk dari keseriusan Polri untuk mewujudkan kesetaraan gender diantaranya dnengan mengangkat sejumlah Polwan sebagai perwira berpangkat tinggi  serta menempati jabatan operasional bersiko tinggi di Polri. 

Dalam kesempatan tersebut Kapolri juga menyampaikan bahwa Asosiasi Polwan Internasional adalah bagian upaya Polri untuk mendorong kesetaraan gender.
Profesi polisi selama ini identik dengan gender laki-laki. Pandangan ini pula yang diakui oleh Kapolri dengan menggambarkan stereotip yang ada di masyarakat seputar insitutisi Kepolisian. Karena itu dalang rangka merealisasikan adanya kesetaraan gender dan meluruskan pandangan mayarakat maka Polri berkomitmen untuk memberi ruang pada para Polwan untuk mendapatkan hak kesetaraan gender (inews.id, 07/11/2021).

Polwan juga dinilai telah memberi sumbangsih yang tidak sedikit bagi Polri khususnya dalam mendukung reformasi kulutral menuju Polisi yang humanis dan dekat dengan masyarakat.

Bukan kali ini saja isu kesetaraan gender disuarakan di tengah instansi pemerintah maupun masyarakat. Konsep kesetaraan gender konon mampu menghadirkan interaksi yang lebih baik di dalam masyarakat sebab tidak ada lagi ketimpangan dalam menyikapi perbedaan gender. Kaum perempuan dalam tata kehidupan masyarakat patriarki dipandang sulit memeroleh kualitas hidup yang lebih baik sebab mereka selalu terpinggirkan oleh eksistensi kaum laki-laki. Karena itu dengan adanya gender yang setara diharapkan tidak ada lagi bentuk penindasan yang dialami perempuan dan mereka dapat hidup dengan layak.
Pembangunan berbasis gender (KG) diyakini menjadi solusi tuntas dalam menyikapi ketertindasan kaum perempuan. Sebagaimana yang diperjuangkan oleh para pegiat gender, perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki atas posisi atau kedudukan strategis di tengah masyarakat. Bahkan jika kita kaitkan dengan implementasi dalam institusi Kepolisian, definisi posisi prestisius bagi perempuan adalah menempatkan mereka pada posisi berisiko tinggi. Bukankah ini semua justru dapat mengancam keberlangsungan hidup perempuan? 

Karena risiko hilangnya keselamatan jiwa dan kehormatan dapat terjadi kapan saja.
Rendahnya kualitas hidup hakikatnya tidak hanya terjadi pada perempuan. Minimnya perhatian negara dalam memenuhi kebutuhan hidup sesungguhnya dialami oleh masyarakat pada umumnya, tidak hanya perempuan. Pelayanan atas kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan dengan kualitas terbaik menjadi perkara “mahal” karena hanya dapat ditebus oleh mereka yang kuat secara ekonomi. Belum lagi ketika kita membahas soal pemenuhan atas pendidikan, kesehatan dan keamanan. Ancaman hilangnya nyawa, harta dan kehormatan sejatinya sedang dihadapi oleh mayoritas masyarakat dalam pengaturan sistem hari ini.

Sistem kapitalisme telah merampas hak manusia dalam meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Penerapan sistem kapitalisme juga bertanggungjawab dalam menjauhkan manusia dari fitrah mereka dengan cara pandang liberal dan sekulernya. Alhasil masyarakat tidak dapat menjalankan aktivitas mereka kecuali dengan orientasi kapital (materi). 

Masyarakat menjadi maklum atas buruknya pengaturan terhadap diri mereka dan menganggap yang bermasalah adalah peraturan yang diterapkan. Peraturan yang ada dianggap tidak mengakomodir kepentingan perempuan sehingga harus dirombak tanpa mengkritisi bahwa aturan tersebut bersumber pada cara pandang yang rusak, yakni kapitalisme.

Berbeda halnya dengan Islam, pemenuhan atas kebutuhan hidup manusia sangat diperhatikan. Syariat Islam mewajibkan negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat secara layak tanpa terkecuali. Sistem Islam juga memberi perlindungan paripurna atas jiwa, harta dan kehormatan manusia, terlebih kepada wanita. Dalam pandangan Islam wanita adalah kehormatan yang harus dijaga. Wanita tidak diperkenankan terlibat pada aktivitas atau kondisi yang dapat mengancam kehormatan diri dan jiwanya. 

Syariat Islam tidak melarang pertispasi wanita di ranah publik seperti menjadi anggota Majelis Umat, qadhi hisbah semata karena memang itu boleh menurut padangan asy-Syari’.

Memperbaiki kualitas hidup perempuan meniscayakan perbaikan atas kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Perbaikan ini bergantung pada landasan sistem kehidupan yang memengaruhi, apakah mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia ataukah tidak. Karena itu aturan yang baik haruslah bersumber pada Dzat yang maha mengetahui hakikat kebaikan bagi manusia, yaitu Allah SWT. Tidak ada alasan untuk menolak aturan Islam sebab syariat Islam terbukti mampu menjaga keberlangsungan hidup manusia secara menyeluruh, tidak hanya bagi perempuan. Saatnya kita tinggalkan pengaturan ala kapitalisme yang rusak dan merusak menuju kepada sistem Islam.