-->

Kontekstualisasi Fiqh, Arus Yang Berbahaya

Oleh : Tri Setiawati, S.Si

Ada berita yang sangat mengejutkan. Dalam forum AICIS 2021, Menag menyodorkan konsep rekonstekstualisasi fiqih. Pendek kata, konsep yang disodorkan adalah Fiqih Alternatif. Salah satu isu besar yang direkom untuk diadakan rekontekstualisasi adalah mengenai Khilafah. Bahkan Menag dengan lantang menyatakan bahwa Khilafah itu bencana bagi umat Islam. 

Sebelumnya, kita harus tahu definisinya. Fiqih sendiri didefinisikan sebagai pengetahuan atas hukum-hukum syara' dari dalil-dalil yang terperinci. Yang menjadi obyek fiqih adalah hukum-hukum terkait perbuatan seorang hamba. Fiqih menjadi produk hukum yang dihasilkan seorang mujtahid. Seorang mujtahid melakukan penggalian hukum syara' dari sumber utama hukum Islam. Adapun sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an, Hadits Nabi Saw, ijmak dan qiyas.

Allah SWT berfirman 
di dalam Al-Qur'an, Surat Al-Maidah ayat 49: 

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49)‎

Artinya: 

"Dan hendaknya kalian memutuskan hukum di antara mereka dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka serta berpalinglah dari mereka yang menjadikanmu melalaikan dari sebagian yang diturunkan oleh Allah."

Dua hal penting yang bisa diambil dari ayat tersebut, yaitu: 
Pertama, seruan dalam ayat ini memang ditujukan kepada Rasulullah SAW. Dalam Ushul fiqih dijelaskan bahwa seruan kepada Rasulullah SAW bermakna juga seruan untuk umatnya, selama tidak ada pengecualian. Jadi kaum muslimin mendapat kewajiban untuk memutuskan semua perkara berdasarkan hukum Allah SWT. Artinya, kaum muslimin berkewajiban untuk menerapkan hukum Islam.

Kedua, terdapat sebuah kaidah ushul fiqih yang menyatakan :"Tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya wajib". Sesuatu yang lain tersebut adalah kekuasaan. Tentunya kekuasaan yang dimaksud adalah al-Khilafah.

Mengenai kewajiban Khilafah ini adalah ijmak sahabat. Pandangan siapapun yang bertentangan dengan ijmak sahabat, tidak bernilai dalam fiqih. Bukankah Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa masa Rasul Saw dan sahabatnya adalah masa terbaik dalam penerapan Islam.

Uraian ini merupakan pandangan fiqih mu'tabar. Adapun mengenai sumber hukum lain seperti Masalih mursalah dan istihsan, Masalih mursalah di kalangan ulama salaf tetap dibingkai oleh maqashid syariah dan nash-nash syariat yang qath'i. Demikianlah pandangan dari Imam Malik bin Anas. Bahkan adat istiadat Madinah di masanya, digunakannya sebagai landasan hukum. Tentunya adat istiadat Madinah adalah Islam. Ditambah lagi adanya penerapan Islam yang dilakukan oleh Khilafah.

Imam Syafi'i sendiri tidak sependapat untuk mengambil masalih mursalah sabagai dasar hukum. Bahkan Asy-Syafi'i menyatakan bahwa menggunakan istihsan itu berarti membuat syariat yang baru.

Walhasil wajibnya menegakkan Khilafah itu merupakan pandangan yang muktabar. Pastinya Masalih mursalah dan istihsan tidak mempersoalkan wajibnya Khilafah. Justru yang menyatakan Khilafah itu tidak wajib adalah Fiqih Sempalan,  yang diserukan oleh al-A'sham dan an-Najdat. Pada abad 20, Ali abdurraziq mengikuti jejak mereka. Hasilnya, Ali Abdurraziq harus rela dihapus dari nama-nama ulama Al-Azhar. Pertanyaannya, bila diberikan sangsi, ini menegaskan bahwa kekuasaan politik adalah bagian dari ajaran Islam.

Fiqih alternatif yang didengungkan terdiri dari fiqih waqi dan muwazanat. Fiqih Waqi merujuk pada realitas-relitas kehidupan manusia yang kemudian diambil status hukum. Sedangkan fiqih Muwazanat berasaskan pada kaidah Ahwanusy syarroin (memilih yang paling ringan di antara dua kejelekan).

Fiqih waqi menjadikan fakta sebagai sumber hukum. Tinjauan Khilafah menggunakan Fiqih waqi tentunya dipandang tidak relevan. Berbicara Khilafah di tengah kondisi penerapan konsep nation-state. Walhasil wacana Khilafah dianggap sebagai pembuat kegaduhan dan disintegrasi bangsa.

Tinjauan Khilafah berdasarkan Fiqih Muwazanat adalah Khilafah akan dipandang sebagai hal yang mendatangkan mudhorot. Apalagi diperkuat dengan kaidah Fiqih "Daf'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).

Seandainya Rasulullah SAW memperhatikan konsep Fiqih Waqi dan Muwazanat ini, tentunya Rasulullah SAW tidak akan bersusah payah mendatangi beberapa kabilah dan suku terkuat di semenanjung Arab. Berbagai rintangan dan kesulitan dihadapi Rasulullah Saw. Ini menunjukkan bahwa menerapkan Islam dalam sebuah kekuasaan adalah kewajiban.

Jadi menyatakan Khilafah sebagai bencana besar umat adalah upaya mendiskreditkan Islam, bahkan bisa terkena delik penistaan Islam. Lebih dari itu, tudingan Khilafah sebagai bencana bagi umat dengan alibi Fiqih alternatif merupakan Fiqih Sempalan. 

Dari aspek politisi ideologis, alibi Fiqih Alternatif dalam konteks isu Khilafah ini hanya akan mengukuhkan penerapan Demokrasi di dunia Islam. Padahal Demokrasi sejatinya yang menjadi bahaya besar bagi umat Islam dan dunia. Berbagai persoalan dan krisis kemanusiaan yang ada akibat dari penerapan sistem Demokrasi-Sekuler.