-->

POLITIK BAGAI INDUSTRI DALAM DEMOKRASI

Oleh : Herawati, S.Pd.I

Pesta demokrasi yang akan dilaksanakan tahun 2024 masih digadang-gadang akan memunculkan sosok pemimpin yang ideal, amanah dan pro terhadap kepentingan rakyat. Penghasilan para pemimpin dan wakil rakyat yang fantastis dengan segala fasilitas mewah, masih menjadi magnet bagi para politisi untuk bererebut kursi kekuasaan. Walaupun harus berkorban biaya pencalonan dan kampanye yang jumlahnya juga tidak kalah fantastisnya.

Dilansir dari Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua DPD Sultan Najamudin menyoroti anggaran fantastis Pemilu 2024. Menurut Sultan, biaya pemilu ke depannya pasti akan terus meningkat. Hal tersebut merupakan jebakan dari sistem demokrasi liberal.

“Biaya pemilu ke depannya pasti akan makin meningkat. Ini jebakan demokrasi liberal yang harus kita hindari. Sudah saatnya kita kembali mekanisme demokrasi Pancasila yang lebih berkualitas dan ekonomis,” kata Sultan dalam keterangannya, Minggu (19/9/2021).

Pesta demokrasi yang dilaksanakan perlima tahun sekali, memang telah menyedot APBN yang sangat besar. Bahkan pihak 
Pelaksana tugas (Plt) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra menyatakan lembaga penyelenggara Pemilu membutuhkan anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 sebanyak Rp86 triliun.

Anggaran yang dicanangkan pihak KPU  tersebut diambil dari dana APBN tahun 2021, 2022, 2023, 2024 dan 2025. Anggaran Rp.86 triliun adalah Angka yang sangat besar sekali, mengingat ekonomi Indonesia saat ini sedang dalam keadaan tidak stabil karena efek dari pandemi covid-19.

Dalam sistem demokrasi sekular yang pro terhadap kaum kapital, biaya yang mahal tidak akan dipermasalahkan oleh para calon politisi, hal itu karena. Kandidat calon pemimpin sudah menyiapkan dana yang besar dan siap untuk bertarung dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Saat inipun baliho-baliho bergambar para politisi sudah banyak bertebaran menghiasi jalanan ibu kota.

Inilah akar masalah kenapa kasus korupsi dalam sistem demokrasi tidak pernah usai bahkan kasusnya semakin tinggi walaupun dimasa pandemi, mantan Mentri Sosial Juliari Peter Batubara korupsi dan suap dana bansos sebanyak 35 M.

Penomena seperti ini sangat lumrah dalam system demokrasi, hal ini disebabkan para politisi harus balik modal pasca berhasilnya meraih kursi kekuasaan. Disinilah kita dapati sistem demokrasi gagal melahirkan pemimpin yang ideal dan amanah karena jabatan pemimpin hanya dijadika sarana untuk mendapatkan harta sebanyak banyaknya.

Kondisi ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (HR Ath-Thabrani)

Walaupun para pemimpin dinegri ini mayoritas muslim namun dalam kepemimpinannya tidak memberikan ruang untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah. Para politisi dinegri ini menganggap bahwa Indonesia bukan negara Islam yang wajib melaksanakan syariat Islam dalam menjalakan roda pemerintahannya. Bahkan ada sebagia yang sangat memusuhi syariah Islam dan mempropagandakannya dengan istilah sesat serta radikal. 

Maka terwujudkan rahmatan lil alamiin dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang utopis. Sebaliknya dalam sistem demokrasi, sarat akan politik transaksional oligarki. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi semua itu dilakukan agar kekuasaan elit politik kapital semakin menancap menguasai dinegri ini.

Berbeda dengan dengan system Islam yang memiliki system politik unggul, terbukti system politik yang lahir dari aqidah Islam telah memudahkan mekanisme pemilihan pemimpin. Tidak membutuhkan anggaran fantastis yang diperlukan setiap calon memenuhi syarat-syarat In'qad (syarat legal) yang dilanjutkan dengan pembaiatan oleh seluruh umat muslim. 

Seorang khalifah yang terpilih mempunyai jaminan akan menjadi pemimpin yang amanah dan kapabel dalam mengemban tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin. Para khalifah sepanjang sejarah memimpin karena dituntun hukum Allah, dan menjadi seorang pemimpin bukan jalan untuk menambah kekayaan harta.

Sebagai mana kisah heroik dan amanah dua khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul aziz, keduanya tercatat dalam tinta emas sejarah peradaban Islam. Siapa pun tak akan mampu menghapusnya. Termasuk kekuatan musuh mana pun yang menghendaki keburukan atas Islam dan umat Islam.

Keduanya menganggap jabatan khalifah adalah amanah yang besar yang akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah kelak diyaumil hisab. Apabila tidak amanah dalam menjalankan tugas kepemimpinan makan kelak para khalifah akan merugi sebagai mana sabda Nabi Muhammad SAW,

“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR Ath-Thabrani)

Para khalifah adalah para pemimpin terbaik yang lahir dari system Islam yang agung yang mampu mewujudkan kegemilangan peradaban Islam serta menjadikan Islam sebagia rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu Alam Bishawab...