-->

Lumrahnya Pelecehan Seksual Dalam Sistem Sekularisme


Kasus pelecehan dan kekerasan seksual terus terjadi disekitar kita. Melihat dan mendengar berita tentang kekerasan dan pelecehan seksual nyaris seperti camilan sehari-hari. Baru-baru ini, kita dikejutkan oleh berita tentang pelecehan seksual dan perundungan yang terjadi di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah seorang pegawai KPI berinisial MS membuat surat terbuka ke publik tentang perundungan termasuk pelecehan seksual yang diduga dilakukan delapan rekan kerjanya. Dalam surat itu, MS mengaku, sejak mulai bekerja di KPI Pusat pada 2011, ia mengatakan rekan kerjanya beberapa kali telah melecehkan, memukul, memaki, dan merundungnya. "Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencorat-coret buah zakar saya pakai spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi," tulis MS (BBCNews, 10/09/2021).

Kasus MS ini merupakan rentetan kasus kekerasan seksual di lingkungan lembaga pemerintahan, tanpa adanya ruang pengaduan. Kasus yang dihadapi MS Ini bukan pertama kalinya terjadi di lingkungan lembaga pemerintahan. Kasus terkait dengan dugaan kekerasan seksual pernah dialami staf BPJS berinisial RA yang dilakukan oleh atasannya pada 2019. Sebelumnya, juga seorang pegawai Dirjen Pajak mengadu karena dilecehkan oleh atasannya pada 2016. Lalu, 2014 seorang pegawai di LKBN ( Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional) ANTARA mengadu ke LBH APIK untuk mendapatkan pendampingan karena mengaku mendapat pelecehan seksual dari seorang general manager.

Menurut Theresia Iswarini anggota Komnas Perempuan, laporan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan terkait Kekerasan terhadap Perempuan pada 2020 mencapai 2.389 kasus. Meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus. Namun jumlah kasus kekerasan terkait dengan lembaga negara atau instansi pemerintah, tidak banyak. Memang kebanyakan kasus menimpa perempuan, akan tetapi korban laki-laki mulai bermunculan. Selain itu, hampir bisa dipastikan, kasus sebenarnya yang terjadi lebih dari data yang ada, sebab banyak korban pelecehan yang enggan melapor karena merasa malu atau takut. Ibarat fenomena gunung es, fakta yang bisa kita lihat hanya sebagian kecil saja. 

Mendengar kasus semacam ini, tentu kita merasa miris dan marah. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, tentu kita merasa empati terhadap korban sekaligus takut bahwa peristiwa serupa akan menimpa kita atau keluarga. Namun, dengan silih bergantinya kasus yang serupa, bukan tidak mungkin nantinya kasus ini akan berlalu dan terlupakan begitu saja. Berganti dengan datangnya kasus-kasus yang lain. Berita tentang pelecehan seksual ibarat pil pahit yang mau tak mau harus kita telan. 

Disisi lain, pada saat yang hampir bersamaan, bebasnya seorang artis bekas pelaku pencabulan, Saiful Jamil, malah mendapat sambutan. "Glorifikasi" bebasnya penyanyi dangdut tersebut dilakukan dengan penyambutan di depan penjara lengkap dengan kalung bunga hingga menjadi bintang tamu di televisi. Tindakan ini tentu sangat tidak etis. Selain melukai hati korban, juga bisa berdampak buruk pada mental anak-anak yang sengaja atau tidak sengaja menontonnya. Bisa jadi akan tertanam pemikiran bahwa pelecehan seksual adalah hal lumrah dan bukan perbuatan memalukan.

Banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual tentu memiliki sebab yang belum bisa ditemukan solusinya oleh pemerintahan saat ini. Sesungguhnya, persoalan mendasar yang membuat rusaknya tatanan sosial masyarakat saat ini adalah penerapan sistem sekulerisme. Terpisahnya aturan kehidupan dengan agama telah menyuburkan nilai materialistis, hedon dan liberal yang kemudian mengakar di masyarakat. Masyarakat semakin jauh dari Islam. Syahwat diumbar dan dipenuhi tanpa batas dan aturan. Maraknya pornografi, digemarinya hubungan di luar nikah seperti pacaran, diiringi dengan propaganda nilai-nilai barat melalui tontonan atau bacaan yang menyebar tak terkendali di media sosial. Hal ini diperparah dengan rendahnya kontrol masyarakat, lemahnya hukum dan sanksi yang tidak tegas dari negara. Para pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal dengan kerusakan yang diakibatkannya. Ada yang tak segan mengulangi perbuatannya tatkala kembali hidup di tengah masyarakat. Semakin memperlihatkan minimnya kepedulian dan tindakan penguasa untuk mencegah dan menanggulangi persoalan ini.

Paham kebebasan untuk berperilaku, disadari atau tidak telah menjadi hal lumrah. Akal dan naluri manusia tidak dikawal dengan pemahaman agama. Akar dari kebobrokan sosial ini tidak lain adalah hilangnya penjaga keimanan, pengabaian hukum syariah dan pemisahan agama oleh negara. Sebab Islam dengan jelas telah mengatur sistem kemasyarakatan yang mumpuni untuk menjamin kehidupan umat manusia.

Islam menjaga kehormatan setiap manusia dengan aturan sistem pergaulan yang sempurna. Aturan ini akan menekan syahwat yang tidak pada tempatnya dan memperkecil peluang tindak kejahatan seksual. Islam membatasi wilayah aktivitas seorang muslim, dimana terdapat wilayah khas (khusus), seperti di dalam rumah, dimana segala aktivitas pribadi terlaksana sehingga yang bukan mahram tidak bisa dilibatkan. 

Sedangkan di tempat umum, dimana aktivitas memang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya, islam membolehkan interaksi dengan selain mahram. Seperti sekolah, berobat ke rumah sakit, belanja ke pasar dan sebagainya. Tatkala berada di wilayah khusus dan umum, maka seorang muslim akan terikat dengan berbagai hukum yang telah ditetapkan oleh Islam.

Misalnya, ketika memasuki wilayah umum, muslimah dituntut untuk menutup aurat secara menyeluruh ditambah menahan dan menundukkan pandangannya serta berinteraksi sesuai kebutuhan saja. Sehingga tidak terjadi interaksi sia-sia apalagi haram seperti pacaran, bergosip, menyaksikan tontonan mengumbar aurat, pornografi dan lain-lain.

Sayangnya, saat ini, kesempurnaan aturan islam yang memuliakan manusia ini banyak difitnah sebagai aturan yang melanggar hak asasi. Padahal, faktanya kekerasan, pelecehan, dan perampasan hak-hak individu justru marak pada saat aturan islam telah diabaikan.

Selayaknya kita menelaah kembali bahwa penyebab segala kerusakan di sekitar kita disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang telah memisahkan Islam dari kehidupan yakni diadopsinya sekulerisme. Sehingga mengakibatkan jauhnya Islam sebagai sistem hidup dalam keseharian kita. Islam hanya diberi ruang dalam ibadah namun dieliminir dalam persoalan-persoalan hidup. Maka sungguh dengan mengembalikan peran Islam dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara, di sanalah akhir dari kerusakan secara total dan kekerasan seksual dapat dicegah serta ditanggulangi dengan tuntas. Wallahu’alam bishawwab.

Penulis : Dinda Kusuma W T