-->

Tambah Hutang untuk Proyek Kereta Cepat, Untuk Siapa?


Oleh: Fadhilah Samihah

Di tengah kondisi pandemi yang kian meroket pada ambang kritis dan darurat, pemerintah malah melakukan pinjaman utang luar negeri. Menambah hutang bukan untuk kebutuhan pandemi, tetapi untuk biaya operasional awal Kereta Cepat Jakarta Bandung  (KCJB). Sebagaiaman diberikatakan bahwa Kementerian BUMN mengatakan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) bakal mengalami cost deficiency (kekurangan biaya) operasi pada awal pengoperasiannya. Untuk itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China agar mendapat bantuan pinjaman di awal operasi KCJB  nanti. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut pinjaman bisa diperoleh dari China Development Bank (CDB) dengan jaminan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. (CNN Indonesia, 08/07/2021). 

Rencana tersebut mendapatkan reaksi dari mantan Menpora, Roy Suryo mengkritik keras salah satu kebijakan pemerintah bahwa  proyek kereta cepat yang diusung pemerintahan Presiden Jokowi. Proyek tersebut diplesetkan menjadi Kecebong yang diartikan Kereta Cepat Bohong-bohongan. Pasalnya, penanganan pandemi menggunakan mindset ekonomi dibandingkan kesehatan. Pemerintah, menurut Roy Suryo, telah gagal fokus dalam menangani pandemi, memilih sektor ekonomi ketimbang kesehatan sehingga kasus pandemi di Tanah Air meroket ke negara nomor 3 tertinggi di dunia (dalam kasus harian COVID-19). (Portonews.com 10/07/2021)


Strategi Islam dalam Pembiayaan dan Pengelolaan Infrastruktur 

Strategi pembiayaan dan pengelolaan infrasruktur dalam sistem ekonomi Islam sangat berbeda jauh dengan sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ekonomi kapitalis, seperti di Indonesia biaya pembangunan dan pemeliharaan berbagai macam infrastruktur diperoleh dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar penerimaan negara, pinjaman atau uang luar negeri dan melalui skenario Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)  yaitu kontrak kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur atau layanan publik dalam jangka waktu realtif panjang (lebih dari 15 tahun). Pada akhirnya, masyarakat yang harus menanggung beban secara langsung melalui pungutan penggunanan infrastruktur seperti tarif tol yang semakin mahal atau melalui pungutan tidak langsung dalam bentuk peningkatan berbagai pungutan pajak.

Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, pembiayaan dan pengelolaan infrastruktur didasarkan pada jangka waktu pengadaannya infrastruktur, dibagi menjadi dua jenis:

1) Infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Misal, satu kampung atau komunitas tertentu belum memiliki  jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, dan saluran air minum.

Infrastruktur kategori yang pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau Baitul Mal, harus tetap dibangun.  Jika ada dana APBN atau Baitul Mal maka wajib dibiayai dari dana tersebut. Akan tetapi, jika  tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharîbah) dari rakyat. Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari masyarakat.  Pinjamaan yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.

Hanya saja terdapat perbedan yang mendasar antara pajak dalam sistem Islam dan pajak dalam sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara yang dipungut dari banyak sekali item yang ditetapkan sebagai objek pajak. Pemungutan pajak dalam Kapitalisme dilakukan terhadap seluruh warga negara dan secara permanen/berkelanjutan. Adapun dalam pandangan Islam, pajak (dharîbah) hanya dipungut dalam kondisi kas negara dalam keadaan kosong dan dipungut dari orang-orang kaya saja. Penarikan dharîbah ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara terpenuhi. Selebihnya, pemasukan negara dalam Khilafah Islamiyah didapatkan dari berbagai macam pos-pos pemasukan yang diizinkan oleh Asy-Syâri’ berupa harta-harta fai dan kharaj, pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dan pos khusus pemasukan zakat (khusus pos pemasukan yang terakhir, ia tidak boleh dicampur dengan pemasukan-pemasukan lainnya dan tidak boleh dialokasikan selain kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat

2) Infrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya misalnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan,  perluasan masjid dll. Adapun Infrastruktur kategori yang kedua tidak wajib dibangun jika negara tidak memiliki dana sehingga tidak dibolehkan pembangunan infrastruktur tersebut dengan jalan utang dan pajak. Jadi infrastruktur kategori yang kedua hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi.

Berdasarkan hal tersebut, menambah hutang melalui negosiasi denagn China untuk biaya operasional awal Kereta Cepat Jakarta Bandung  (KCJB), merupakan upaya yang gagal fokus dalam menyelesaikan soal pandemi. Satu sisi rakyat diperlakukan kebijakan PPKM, namun justru pemerintah lebih memilih sektor ekonomi dibanding kesehatan dan nyawa rakyat bahkan merugikan rakyat. Pantas saja publik menyebutnya bahwa tindakan ini tidak membawa kemaslahatan bagi publik di saat meningkatnya pandemi covid-19. Hal ini merupakan bentuk lepas tangannya negara ketika harus mengurusi urusan rakyat/umat. Dan justru tindakan ini akan mengarah pada jebakan hutang yang tiada henti. 

Demikianlah kapitalisme  telah gagal atasi skala prioritas atasi pandemi covid-19. Saatnya umat kembali pada penerapan Islam kaffah dalam bingkai khilafah yang akan menciptakan pengeloaan dan pembiayaan yang tahan krisis dan menyejahetrakan rakyat. Sistem Khilafah Islam adalah sistem bernegara terbaik bagi umat manusia