-->

Tak Proporsional, Kebijakan PPKM Darurat Bikin Galau Rakyat

Oleh: Ilmasusi 

Pandemi kian memekat. Menghadirkan kecemasan di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, pemerintah malah membuat kebijakan yang tak seimbang sehingga rakyat bikin bingung. Aturannya yang dibuat pun serba tanggung.

Kebijakan tentang PPKM Darurat menyulut kegalauan kaum muslim. Kaum dengan jumlah mayoritas dan dalam sejarah telah membersamai lahirnya bangsa ini hingga menjadi bangsa yang besar. Kebijakan ini menjadikan kepercayaan umat pada penguasa kian pudar. 


Kebijakan Tak Proporsional 

Salah satu dari aturan PPKM Darurat Jawa-Bali yang diberlakukan 3—20 Juli 2021 adalah penutupan tempat ibadah, termasuk masjid dan mushala. Kementerian Agama pun membuat keputusan untuk meniadakan salat Iduladha 1442 H di masjid maupun di lapangan terbuka. Dikhawatirkan dapat menimbulkan kerumunan pada zona yang diberlakukan PPKM Darurat. (liputan6.com, 2/7/2021).

Wajar bila tak sedikit  dari kaum muslim yang reaktif atas kebijakan tersebut. Ustaz Abdul Somad (UAS) merupakan salah satu tokoh yang menolak ditutupnya masjid saat PPKM darurat.

Sementara itu, dalam aturan lain disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan konstruksi diperbolehkan beroperasi 100% dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes) secara lebih ketat. Wajar muncul pertanyaan umat. Mengapa masjid ditutup, salat Iduladha ditiadakan, pemberangkatan haji dibatalkan? Namun di waktu tang sama, aktifitas yang lebih berpotensi menimbulkan kerumunan tetap dibuka. 

Kebijakan yang tak proporsional ini menjukkan adanya pandangan yang remeh terhadap aktifitas ibadah bagi warga negara. Selayaknya diberlakukan kebijakan yang sama dalam hal ibadah umat beragama dan bidang lainnha yang diikat dengan keharusan pada standarisasi prokes. 


Umat Butuh Keadilan 

Syariat membolehkan bagi seseorang untuk salat fardu di rumahnya masing-masing, terlebih ketika pandemi saat ini. 

Karenanya,  yang anggap masalah oleh umat bukan semata kebijakan ditutupnya masjid atau salat Iduladha yang ditiadakan.

Hal yang dipersoal oleh umat adalah kebijakan dalam penanggulangan pandemi yang dinilai inkonsisten, pula tak memihak rakyat. Umat sangat merasakan ada ketakadilan dalam setiap kebijakan yang dibuat. Mereka melihat bagaimana puluhan TKA asal Cina masuk saat PPKM Darurat. Di sisi lain, seorang penjual bubur di Tasikmalaya didenda Rp5 juta hanya karena ada pelanggannya yang makan di tempat.

Adanya perubahan istilah dari PSBB, PSBM, PPKM, PPKM Mikro hingga PPKM Darurat, sejatinya hanya berganti nama. Esensi dari program ini adalah sama, yaitu berorientasi pada kepentingan ekonomi.

Pada aturan PPKM Darurat, disebutkan sektor esensial yang boleh tetap buka hampir semuanya sektor ekonomi. Sayangnya sektor ekonomi yang dimaksud pun bukanlah ekonomi, namun ekonomi milik korporasi atau perusahaan.

Termasuk dalam sektor esensial adalah bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan nonpenanganan karantina, serta industri orientasi ekspor. Bahkan, proyek strategis nasional, objek vital nasional, konstruksi, masuk sebagai sektor kritikal yang membolehkan 100% WFO. (kompas.com, 3/7/2021)

Adapun UMKM yang pelakunya wong cilik semakin terpuruk. Walaupun pemerintah telah membuat kebijakan BLT kepada tiga juta pelaku UMKM sebesar Rp1,2 juta per bulan, semua itu bukanlah solusi. Nominalnya  pun yang sangat kecil, selain tak menyentuh komunitas UMKM kecuali sedikit. Merujuk pada data OJK, pada 2021 tercatat ada lebih dari 65 Juta pelaku UMKM di Indonesia.

Kebijakan yang serba nanggung. Sudahlah angkanya kecil,  kesalahan data dan korupsi pun terjadi dalam  implementasi program bantuan ini. Kasus Mensos Juliari Batubara dan jutaan data fiktif penerima bansos masih belum lepas dari ingatan rakyat.

Logis bila kebijakan yang dibuat jauh dari kepentingan rakyat ini menimbulkan krisis kepercayaan  terhadap penguasa. Tak heran bila apa yang dikatakan penguasa, akan mental tak didengar. Kebijakan apapun, diterima dengan setengah hati


 Sektor Ibadah Ditutup, Sektor  Maksiyat Dibuka 

Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Wali Kota Makassar, Ramadhan Danny Pomanto tentang penundaan pelaksanaan ibadah di masjid, gereja, pura, dan wihara menyulut tanya. Meski sesuai dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 17/2021, SE ini berisi kebolehan pelaksanaan kegiatan klub malam, diskotek, dan semacamnya, termasuk sarana penunjang tempat hiburan malam yang ada di hotel, diizinkan sampai pukul 17.00 WITA. (Detik.com, 7/7/2021)

Sungguh miris, tempat ibadah ditutup, tetapi tempat kemaksiatan malah dibuka dengan alasan ekonomi. Padahal, ekses negatif yang ditimbulkan dari klub malam, diskotek, dan tempat hiburan lainnya yang berbau maksiat telah nyata. Prostitusi yang jelas tak bisa dilepaskan dengan diskotek, akan menyuburkan HIV/AIDS. Begitu pun narkoba dan miras yang merusak akal manusia, akan membawa pada hancurnya kehidupan seseorang.

Beginilah bila sistem sekuler kapitalisme menjadi dasar dalam membuat aturan. Sistem ini tak memandang apakah bisnis tersebut halal ataukah haram. Selama bisnis mampu menggerakkan perekonomian, halal ataukah haram, semuanya dipandang layak untuk dilakukan.


Negara Gagal dalam Solusi 

Buruknya penanganan pandemi ala kapitalisme menjadikan dunia terus dihantui oleh Covid-19 yang terus bermutasi. Beberapa negara-makmur yang awalnya dipandanb berhasil menyelesaikan wabah, tetapi tak lama ditemukan kembali kasus Covid-19 di negara mereka.

Lembaga kesehatan dunia, WHO telah  kewalahan dalam meminta negara penghasil vaksin untuk peduli pada negara miskin yang sangat memerlukan. Begitu pun hak paten vaksin Covid-19 yang masih saja belum dihapus, membuat produksi vaksin tersendat. Inilah tabiat kapitalisme yang miskin empati. Yang ada hanyalah orientasi materi atau keuntungan secara ekonomi. Baik sekala negara, maupun pribadi.

Sektor kesehatan yang sangat esensial dan tengah menjadi primadona, dimanfaatkan oleh negara makmur untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sebutlah bisnis vaksin, ventilator, maupun obat-obatan. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan bahwa 90% bahan baku obat-obatan dan 94% alat kesehatan pun masih bergantung pada impor.

Berharap pada Solusi yang Layak 

Permasalahan pandemi semakin berlarut-larut ibarat benang kusut. Dari awal, pemerintah gagap dalam mengambil solusi. Andai saja dari awal wabah, penguasa cepat bertindak dan mendengar para pakar dalam menyelesaikan pandemi,  niscaya wabah akan bisa ditundukkan. Setidaknya dikurangi meluasnya penyebaran.

Namun sungguh sayang, negara model korporatokrasi memang menjadikan pemilik modal sebagai pengendali tertinggi. Oleh karenanya, wajar jika sektor esensial dan nonesensial disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Di sinilah seharusnya negara yang menjadi pilar terdepan dalam melindungi nyawa warganya dan melindungi syariat agar sempurna penerapannya. Umat akan diajak untuk mendekat, berdoa dan bertawakal  kepada Allah  dan berikhtiar agar pandemi ini cepat berakhir. Bukan dengan kebijakan yang malah menjauhkan syariat dari umat seraya membuka peluang maksiyat.

Bagi kaum muslim  yang ikhlas, saat nya untuk tunduk kepada  syariat Allah Swt. Berhukum dengan hukum-Nya dan senantiasa mengatasi masalah dengan merujuk pada aturan-Nya tak hanya sekedar kewajiban, namun juga urgen untuk dilakukan agar permasalahan pandemi ini segera usai. Wallahu a'lam bishowab.