-->

PPKM Darurat: Kerancuan Kebijakan Antara Penyelamatan Nyawa dan Ekonomi

Oleh: Nurul Noerizh (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Lamanya waktu berjalan nyatanya tak membuat angka kasus positif Covid-19 menurun. Justru hari ke hari meningkat. Bahkan beberapa pekan terakhir meroket tajam. Banyaknya negara di dunia termasuk Indonesia masih saja dilanda oleh pandemi Covid-19 ini. Lebih dari satu tahun negara ini belum bisa bangkit akibat virus Corona. 

Gempita pandemi membuat seluruh lapisan masyarakat menjadi panik bahkan pemerintah pun mencari solusi agar kasus positif tidak semakin tinggi. Salah satunya dengan membatasi aktivitas masyarakat. 

Dengan sejumlah pertimbangan, pemerintah mengambil sebuah Kebijakan. Kebijakan yang diambil adalah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aturan dibuat untuk sejumlah sektor. Tujuannya, mengurangi aktivitas masyarakat di luar rumah, sehingga kemungkinan terpapar virus menurun.

Istilah PSBB kemudian berubah menjadi PPKM skala Mikro. Aturan dalam kebijakan ini sedikit melonggarkan operasional sejumlah sektor.

Sepekan setelah pengumuman itu, pemerintah memutuskan mengubah konsep penerapan PPKM dari skala mikro menjadi berat. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat menekan laju penyebaran kasus Covid-19 di Tanah Air yang kian memprihatinkan. PPKM Darurat berlaku mulai 2 Juli hingga 20 Juli mendatang.

Menurut info yang beredar luas, PPKM Darurat akan dilakukan di Pulau Jawa dan Bali. Alih-alih memilih daerah mana saja yang akan menerapkan PPKM Darurat, nyatanya tidak adil bagi daerah lainnya. Mengapa hanya Jawa dan Bali saja? Sedang daerah lain tidak? Apakah Virus Corona hanya berputar di wilayah itu saja?.

Alih-alih masyarakat patuh terhadap PPKM darurat yang tengah berlangsung justru simpati masyarakat semakin menurun. Bagaimana tidak? Beberapa kali istilah diganti tak juga membuat kasus menurun malah justru naik. Masyarakat pun mulai jengah terhadap aturan yang tidak jelas ini. Masyarakat diminta mematuhi aturan PPKM darurat tapi malah pintu masuk kedatangan luar negeri dibuka lebar-lebar. 

Banyak pakar menganggap PPKM Darurat bukan kebijakan yg efektif untuk antisipasi kegentingan dan ledakan covid. Sebenarnya hanya berubah istilah dari kebijakan sebelumnya yyang tidak terbukti ampuh dan justru membingungkan. 

Karena rezim kapitalis tidak akan membuat kebijakan yang mengorbankan keuntungan materi atas nama penyelamatan ekonomi. Padahal semestinya berfokus pada penyelamatan nyawa rakyatnya. 

Lalu, mengapa pemerintah tidak mau mencoba kebijakan karantina wilayah atau "lockdown" total saja?. Apakah pemerintah ingin lepas tangan untuk menjamin kebutuhan hidup rakyat ketika diberlakukannya Lockdwon total? 

Abainya Negara Mengurusi Nyawa Rakyat

Kelalaian mengatasi pandemi ini telah memfasilitasi wabah masuk ke Indonesia melalui kasus impor dan berlanjut pada pandemi Covid-19 berkepanjangan. Akibatnya, masyarakat harus menanggung beban krisis ekonomi dan sosial yang luar biasa.

Tercatat yang terinfeksi sudah melewati jumlah dua juta. Ratusan ribu jiwa di antaranya meninggal dan termasuk di dalamnya tenaga kesehatan. Harusnya pemerintah mengevaluasi berbagai kelalaiannya selama ini dan fokus mengeradikasi/membasmi pandemi.

Situasi seperti ini adalah pengabaian negara menjalankan fungsinya yang benar menurut pandangan Islam. Karena Islam sendiri sangat menjaga betul nyawa kaum Muslimin. 

Harusnya memang yang dilakukan adalah Lockdown total. Sama seperti apa yang dilakukan para sahabat dulu ketika menghadapi wabah. Bagaimana caranya? Caranya dengan memutuskan rantai penularan melalui prinsip yang benar dan tentulah syar’i.

Pertama, Lockdown. Rasulullah saw. telah mencanangkannya 13 abad lalu, dan riset membuktikan lockdown mampu mencegah kasus ekspor/impor hingga 80%, serta kemunculan kasus baru hingga 70%.  Ini menegaskan kemampuannya sebagai prinsip awal pemutus rantai penularan.

Namun, harus dilakukan bukan sekadar lockdown, melainkan lockdown yang benar dan syar’i. Yakni penguncian hanya dilakukan di areal yang sedang berjangkit wabah, sementara areal yang tidak berjangkit wabah dibiarkan dalam aktivitas kehidupan normal.

Kedua, , Kaantina yaitu pemisahan individu yang sehat dari yang terinfeksi meski tanpa gejala. 

Ketiga, Pengobatan hingga sembuh setiap yang terinfeksi meski tanpa gejala. Faktor sistem kesehatan sangat menentukan.

Keempat, peningkatan imunitas masyarakat dengan menjamin dan memfasilitasi terwujudnya pola hidup yang sehat dan syar’i. Mulai dari memberikan edukasi tentang pola hidup sehat di tengah situasi pandemi, hingga memastikan setiap individu masyarakat benar-benar terjamin pemenuhan semua kebutuhan dasar individunya.

Kebutuhan itu berupa tempat tinggal dan makanan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, termasuk penyediaan air bersih.

Sedangkan kebutuhan pokok publik baik masyarakat yang terkena kebijakan lockdown maupun yang tidak, maka negara yang bertanggung jawab langsung untuk memenuhi seutuhnya. Seperti pelayanan kesehatan gratis berkualitas, termasuk akses untuk tes Covid-19 yang akurat dan tercepat.

Inilah konsekuensi ketika masyarakat hidup jauh dari pengaturan syariat Islam. Semua kebijakan hanya didasarkan pada asas kemanfaatan karena lahir dari produk pemikiran yang dangkal dan sering kali justru membuka jalan penjajahan.

Maka, umat betul-betul butuh perubahan mendasar. Yakni melakukan koreksi fundamental atas asas pengaturan kehidupan mereka. Dari yang berbasis akal pikiran atau kemanfaatan, menjadi pengaturan hidup yang berbasis akidah dan aturan Islam.

Jadilah penguasa yang memiliki empati, nurani, dan peduli pada rakyat. Bukan pada korporasi. Inilah akibat penerapan ideologi kapitalisme. Pengurusan terhadap rakyat dinomorsekiankan. Urusan kapitalis dan korporasi asing lebih diutamakan. 

Jangan sampai urusan nyawa rakyat tidak lebih penting dari urusan ekonomi. Terapkan aturan yang benar sesuai syariat Islam maka pandemi ini akan cepat berakhir.