Kebijakan Tanggung Saat Kondisi Genting
Oleh: LIT Gusta (Ibu Rumah Tangga)
Hingga Kamis (01/07), kasus harian kembali pecah rekor 24.836 kasus atau meningkat dua kali lipat dari dua pekan terakhir. Angka kematian juga meningkat 250% dalam periode yang sama. Angka ini direspons Presiden Joko Widodo dengan pengumuman kebiajakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat. (bbc.com)
PPKM Darurat khusus Jawa Bali dimulai pada 3 Juli 2021, yang akan berlangsung hingga 20 Juli 2021. Kebijakan ini diumumkan Presiden Joko Widodo melalui siaran live YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (1/7/2021). Penerapan PPKM Darurat ini dilatarbelakangi oleh peningkatan kasus Covid-19 yang cepat dan munculnya varian baru yang memiliki tingkat penularan tinggi.
Sejak maret tahun lalu, ketika corona virus mulai terdeteksi masuk di Indonesia berbagai kebijakan untuk mengatasi penyebarannya mulai diterapkan. Dari mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Lalu masyarakat diajak beradaptasi dengan tatanan kehidupan baru atau new normal. Sehingga bisa kembali beraktivitas di luar rumah dengan menerapkan protokol kesehatan. Kemudian berubah menjadi PPKM skala Mikro. Dengan anggapan bahwa paling memungkingkan karena aktivitas ekonomi masih bisa berjalan meski dibatasi. Pemerintah melihat bahwa kebijakan PPKM mikro masih menjadi kebijakan yang paling tepat untuk konteks saat ini, untuk mengendalikan Covid-19 karena bisa berjalan tanpa mematikan ekonomi rakyat. Sepekan setelah penerapan itu, pemerintah memutuskan mengubah konsep penerapan PPKM dari skala mikro menjadi berat (darurat).
Kurangnya definisi yang jelas terkait kebijakan tersebut dan apa perbedaannya dengan kebijakan penanganan sebelumnya membuat implementasinya di lapangan juga tidak membuahkan hasil yang signifikan. Pemerintah menolak saran untuk mengambil kebijakan karantina wilayah atau "lockdown" total. Ada banyak kalangan yang menilai kebijakan yang diambil pemerintah cenderung hanya berganti nama dan istilah namun pada tataran praktis, kebijakan itu tidak mampu menjawab persoalan yang ada. Permainan istilah sebaiknya tidak diambil pemerintah hanya untuk berlindung dari tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengurusi urusan rakyat apalagi di masa pandemi.
Kebijakan-kebijakan tersebut semakin mencerminkan bahwa fokus utamanya bukan menyelamatkan nyawa rakyat, namun aspek kerugian ekonomi negara. Hal ini tercermin dari penolakan kebijakan lockdown yang akan membuat pemerintah harus menanggung semua kebutuhan primer masyarakatnya sesuai UU Kesehatan. Pemerintah juga masih agresif untuk mencapai target investasi dan pendapatan negara dengan mengabaikan resiko paparan corona di tengah masyarakatnya. Proyek dan dampak perjanjian dengan negara lain masih terus berjalan. Penerbangan dari luar negeri juga masih dibuka. Bahkan TKA asal China juga masih terus berdatangan.
Kebijakan tepat harus segera diambil untuk menyelamatkan nyawa yang setiap hari kematian terus bertambah akibat penularan virus corona. Kita telah banyak kehilangan orang-orang penting. Para guru, akademisi, tenaga medis, para ulama, asatidz banyak yang gugur di masa pandemi ini. Ilmu mereka masih sangat kita butuhkan. Kondisi genting ini menantikan solusi, kebijakan yang tepat sasaran.
Hal ini tidak lepas dari pola pemikiran mengakar yang ada pada ideologi kapitalisme. Dimana materi adalah puncak tujuan dan fokus dari segala aktivitasnya. Sehingga wajar jika pertimbangan kepentingan rakyat bahkan disaat kondisi sudah genting tidak merubah pola penyelesaian dalam mengatasi pandemi. Tidak pula akan mengambil langkah lockdown seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW dalam menyelesaikan pandemi, karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kapitalisme.
Sehingga, kemana kita akan kembali selain kepada sistem Islam. Dimana khalifah bertugas untuk menerapkan aturan yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist. Kemaslahatan umat adalah amanah yang harus diutamakan. Bukan pertimbangan materi, apalagi mengutamakan keuntungan duniawi.
Wallahu’alam.
Posting Komentar