-->

Paradigma Kapitalisme dalam Penyelenggaran Ibadah Haji


Oleh: Dina Angraini, Mahasiswi di Kota Depok

Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam dan kewajiban agung dalam Islam. Sabda Nabi SAW

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun atas lima perkara; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; haji dan shaum Ramadhan (HR al-Bukhari).

 

Begitu juga, ibadah haji merupakan kewajiban dari Allah SWT atas kaum Muslim:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (TQS Ali Imran [3]: 97).

Dari dalil di atas sangat jelas bahwa haji merupakan kewajiban yang agung yang harus dilaksanakan bagi seorang Muslim yang sudah memenuhi persyaratannya. Saking pentingnya seharusnya pemerintah berusaha bagaimana caranya agar tahun ini para calon jemaah haji bisa berangkat dengan selamat.

Pasalnya, untuk kedua kalinya calon jemaah haji Indonesia harus menelan kekecewaan. Pemerintah memutuskan haji tahun ini kembali ditiadakan. Bukan hanya kecewa, calon jemaah haji benar-benar marah. Pasalnya, alasan keputusan ini terkesan mengada-ada. Malah menjadikan pihak Saudi sebagai kambing hitam.

Pemerintah beralasan, sebab pandemi inilah pihak Saudi tak memberi ruang bagi jemaah Indonesia. Nyatanya, pihak otoritas Saudi sama sekali belum mengambil keputusan apa-apa. Hal itu tampak dari klarifikasi yang disampaikan Dubes Saudi. Semestinya pemerintah Indonesia berkomunikasi dengan pemilik otoritas di Saudi. Supaya info yang disampaikan benar-benar valid. 

Wajar saja, jika masyarakat melontarkan berbagai tudingan. Mereka memandang pemerintah memang tak serius memperjuangkan kepentingan jemaah karena alasan yang disembunyikan. Di antara tudingan itu soal pendanaan. Maklum, selama ini urusan dana haji memang sensitif dan dinilai jauh dari transparan.

Ketika jemaah haji tidak berangkat, bisa dibayangkan, yang antre diberangkatkan sudah lebih dari 5 juta orang. Sedangkan dana setoran yang terkumpul sudah mencapai Rp150 triliun. Di manakah dana itu tersimpan?

Pemerintah sendiri meyakinkan bahwa keputusan itu tak ada hubungannya dengan uang, karena Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang dibentuk pemerintah 2017 menggantikan Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU), disebut-sebut sudah bekerja dengan penuh tanggung jawab dan profesional. Namun tetap saja, track record pemerintah yang selalu bermasalah soal keuangan, bil khusus dalam urusan utang mengutang. Membuat rakyat terus diliputi rasa was-was dan curiga. Jangan-jangan dana haji mereka tak aman juga.

Itulah sekiranya yang membuat pemerintah akhirnya membuat keputusan. Semua calon haji yang seharusnya tahun ini diberangkatkan, bisa me-refund uang pelunasan, bukan uang pendaftaran. Setidaknya bisa terbangun kesan bahwa pembatalan haji bukan terkait soal keuangan.

Wajar jika muncul berbagai permasalahan. Seperti soal biaya haji yang sangat mahal, transparansi pengelolaan dana yang disetorkan, lamanya antrean yang kian tak masuk akal, regulasi yang selalu gamang, serta masih karut-marutnya pelaksanaan ibadah haji, mulai di dalam negeri hingga ke Arab Saudi.

Paradigma kapitalisme yang dipakai sebagai dasar pengurusan masyarakat memang membuat permasalahan ini seakan tak ada ujungnya. Bahkan, kentalnya paradigma ini menyebabkan bercampur aduknya antara hak dan kebatilan. Mahalnya biaya haji misalnya, hanyalah dampak dari rantai kepentingan kapitalis yang berperan dalam urusan haji ini. Maklum, ibadah haji dalam kapitalisme adalah ladang bisnis yang bisa dieksploitasi. Mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, catering, jasa perizinan, jasa pembimbingan dan lain-lain. Iniah paradigma kapitalisme dalam penyelenggaran ibadah haji.  

Begitu pun soal panjangnya antrean haji. Sejak lembaga perbankan berbisnis dana talangan haji, masyarakat yang belum punya uang pun dengan mudah mendapatkan nomor porsi. Jika mungkin, dalam semua hal negara tak perlu memberi subsidi. Hingga atas alasan menutup kebutuhan biaya haji pun, uang setoran rakyat harus diinvestasikan. Padahal, secara syar’i, praktik seperti ini bisa jatuh riba dan melanggar akad-akad syariat.[]