-->

Atas Nama Gotong Royong, Pemerintah Mengais Recehan Dari Rakyat


Oleh: Dhiyaul Haq (Pengajar di Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah Malang)

Indonesia diramaikan dengan berita yang beredar tentang rencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). (cnnIndonesia)

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menyampaikan bahwa pemerintah saat ini sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, menurut dia, sembako menjadi salah satu objek yang disubsidi oleh dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Rahayu menjelaskan, pajak sejatinya menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong. "Pemerintah paham sekali sembako itu bahan pokok. Itu sebabnya saat ini jadi salah satu objek yang disubsidi PEN," tuturnya.

Ironisnya Negeri Ini

Indonesia dikenal dengan negara kepulauan dan negara agraris. Tapi semua itu seperti halnya ilusi belaka. Garam dan hasil ikan tak dapat memenuhi pendapatan negara. Kita pun dikenal sebagai negeri dengan tanah yang subur, segala jenis tanaman bisa tumbuh di tanah ini. Tapi, pertanian dan perkebunan pun tak mampu meningkatkan pendapatan negara. Bahkan hutan di Indonesia yang dikatakan sebagai paru-paru dunia pun tak mampu. Belum lagi dengan barang tambang yang ada, timah, emas, bijih besi, migas dan lain-lain yang kita miliki seolah-olah habis begitu saja, tak sedikit pun hasilnya dirasakan oleh rakyat.

Rakyat Indonesia bagaikan ayam yang mati di atas lumbung padi. Bukannya ia hidup dengan perut kenyang dengan makanan yang sudah tersedia, tapi justru ia tergeletak tak bernyawa. Begitulah gambaran rakyat Indonesia, miris di negeri penuh dengan keindahan alamnya dan dengan segala kekayaannya.

Rakyat hidup sengsara dengan segala kebijakan pemerintah yang ditetapkan. Kekayaan alam tak lagi untuk mensejahterakan rakyat pribumi melainkan untuk membahagiakan asing dan aseng. Pemerintah sibuk membagi-bagikan harta negara untuk keperluan konglomerat atas nama bisnis saling menguntungkan. Sebaliknya, Indonesia semakin terpuruk hingga pemerintah pun memalak rakyatnya sendiri dengan menetapkan pajak baru di berbagai macam komoditi. Pemerintah pun meningkatkan pendapatan negara dengan menyasar hal-hal yang memberatkan rakyat menengah bawah.

Pajak adalah Suatu Hal yang Hakiki dalam Sistem Ekonomi  Kapitalis-Liberal

“In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes” (Di dunia ini tidak ada yang bisa dikatakan pasti, kecuali kematian dan pajak.) (Benjamin Franklin, Politisi AS )

Benjamin Franklin mengenali betul karakteristik sistem ekonomi kapitalis yang pasti akan memajak rakyatnya. Dalam konteks Indonesia juga negara-negara secara umum, pajak adalah pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas sebagai sumber pendapatan utama negara. Dan tentu saja pajak ini dibebankan kepada rakyat. Kini target penerimaan dari pajak hampir mencapai 80%.

Penerimaan perpajakan terdiri dari berbagai jenis pajak mulai pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan serta pajak-pajak lainnya termasuk dari bea materai. Ini disebut pajak pusat yang akan masuk ke APBN. Selain pajak pusat, rakyat Indonesia juga harus kena pajak daerah. Yang tergolong jenis pajak daerah antara lain pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, pajak reklame, pajak kendaraan bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan pajak penerangan jalan. Penerimaannya akan masuk ke APBD.

Kebijakan Sistem Islam Dalam Urusan Pajak

Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah,hal.129]

Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.


Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab