-->

Cukupkah Takwa di Bulan Ramadhan Saja?

Oleh : Dwi Nesa Maulani (Komunitas Pena Cendikia)

Menjelang Ramadhan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan surat edaran kepada lembaga penyiaran agar memperketat siaran televisi. Isi surat edaran tersebut diantaranya tidak melakukan adegan berpelukan atau bergendongan atau bermesraan dengan lawan jenis pada seluruh program acara baik yang disiarkan secara live (langsung) maupun tapping (rekaman).

Selama Ramadhan lembaga penyiaran juga dilarang menampilkan gerakan tubuh yang berasosiasi erotis, sensual, dan cabul. Begitu juga ungkapan kasar dan makian yang bermakna cabul dan menghina agama lain. Lembaga penyiaran diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hedonistik, mistik atau horor atau supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya. (Tirto.id, 20/3/2021)

Selain itu, lembaga penyiaran dihimbau tidak menampilkan pengonsumsian makanan dan/atau minuman secara berlebihan (close up atau detail) yang dapat mengurangi kekhusyukan berpuasa. Serta menambah durasi dan frekuensi program bermuatan dakwah.

Upaya KPI patut kita apresiasi. Semua itu bertujuan meningkatkan kekhusyukan menjalankan ibadah puasa.

Apa sebenarnya tujuan kita diwajibkan berpuasa? Allah SWT memerintahkan puasa Ramadhan agar hambaNya bertakwa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 183, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.

Pertanyaannya, apakah dengan memperketat siaran televisi umat muslim dapat dengan mudah meraih derajat takwa? Takwa adalah melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, karena mengharap pahala dari Allah SWT dan karena rasa takut terhadap adzab dan hukuman-Nya.

Tentu tidak mudah meraih takwa. Apalagi sekedar menertibkan tayangan di televisi. Banyak faktor yang mempengaruhi ketakwaan seseorang. Perintah dan larangan Allah SWT itu banyak dan beragam. Tidak sekedar perintah shalat, puasa, dan tadarus Al-Qur'an. Larangan Allah SWT tak sekedar tidak melihat aurat, tidak berkata kasar, tidak berperilaku LGBT, dan tidak berbuat syirik. 

Tapi lebih dari itu ada perintah Allah SWT yang lain yang tidak bisa tertunaikan hanya dengan diberlakukannya kebijakan KPI. Seperti kewajiban berjihad, mengangkat seorang pemimpin umat Islam, meninggalkan riba dan transaksi batil, menerapkan hukuman qishosh dan sebagainya. Semua itu harusnya dilaksanakan setiap muslim jika ingin ketakwaannya melejit. Dan tentunya itu bukan wilayah kewenangan KPI.

Ketakwaan juga tidak bisa dilaksanakan selama satu bulan saja yaitu bulan Ramadhan. Memang benar di bulan Ramadhan umat Islam dilatih untuk meningkatkan ketakwaan. Seharusnya di sebelas bulan lain ketakwaan tidak boleh kendor. Maka sebaiknya himbauan KPI ini berlaku sepanjang tahun, tidak sebulan saja. Apakah boleh di luar Ramadhan umat Islam disuguhi tayangan yang berbau LGBT, kata-kata kasar, makian, menghina agama lain, mistis, hipnotis, erotis, dan hedonis?

Sungguh terlihat jelas negeri ini mengidap penyakit sekulerisme. Yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Buktinya aturan baik hanya untuk bulan spesial. Karena Ramadhan dianggap sebagai bulan ibadah. Selain itu berarti bulan suka-suka. Aturan juga berlaku hanya untuk lembaga penyiaran. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari aturan yang ada saat ini sangat kurang menyuasanakan umat Islam untuk bertakwa.

Oleh karena itu agar tujuan berpuasa di bulan Ramadhan sukses tercapai, perlu dukungan semua pihak. Tidak hanya KPI saja yang peduli. Tetapi juga peran individu, masyarakat, dan negara sangat berpengaruh.

Pertama, individu hendaknya memahami bahwa hidup untuk beribadah kepada Allah SWT saja, bukan yang lain. Setiap saat manusia diawasi dan dicatat amal perbuatannya, bukan selama Ramadhan saja. Dan Ramadhan adalah momen pas untuk melipatgandakan pahala. Membiasakan dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Ramadhan juga bulan untuk bertaubat memperbaiki diri. Celaka bagi seseorang jika telah melewati Ramadhan tapi dosa-dosanya belum diampuni. Nabi Saw bersabda, “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni.” (HR. Ahmad)

Kedua, masyarakat berperan dengan cara amar ma'ruf nahi mungkar yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran. Masyarakat yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT tidak akan membiarkan sesamanya jatuh dalam lubang kemaksiatan.

Ketiga, individu dan masyarakat yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami lahir dari sebuah sistem yang juga islami. Oleh karena itu negara harus berperan menciptakan suasana islami tersebut. Yaitu dengan menjauhkan asas sekulerisme dari sendi-sendi kehidupan dan menggantinya dengan sistem Islam. Negara mendidik umat Islam dengan akidah dan syariatnya baik di sekolah formal maupun nonformal, dan di majelis-majelis ilmu.

Negara juga harus menjadikan media yang ada baik di televisi, radio, media sosial, koran, dan sebagainya memberikan informasi yang sejalan dengan syariat Islam. Media juga berperan mendidik umat sesuai dengan Islam. Tidak boleh ada tayangan yang berbau syirik, ungkapan kasar, perilaku LGBT, hedonistik, adegan sensual dan perilaku kemaksiatan lainnya.

Negara menerapkan sistem sanksi bagi pelanggar hukum Syara'. Selain itu negara juga menerapkan sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sistem pemerintahan Islam.

Sehingga dengan diterapkannya hukum-hukum Islam oleh negara secara menyeluruh maka umat Islam akan mudah istiqomah berbuat takwa. Tak sebatas bulan Ramadhan saja. Pondasi keimanan akan kuat, dan didukung dengan aturan bernegara yang sejalan dengan syariat.