-->

Broken Home

Oleh: Ummu Afif

Broken Home adalah istilah yang tak asing lagi kita dengar. Broken home merupakan istilah bagi sebuah keluarga yang orang tuanya telah bercerai. Istilah broken home mulai muncul dalam Bahasa Inggris pada sekitar tahun 1800-an dan mulai dikenal oleh masyarakat pada awal abad ke-20. (rumah.com, 10/01/2020)

Broken home atau keluarga yang tercerai berai adalah kondisi yang tak diinginkan bagi siapapun.
Istilah ini menggambarkan sebuah kehilangan pengharapan keluarga untuk bertahan dalam keharmonisan. Hal kecil bisa memicu pertengkaran karena sulitnya untuk bisa saling mengerti dan memahami seperti sebelumnya. Ini bermuara pada rasa yang tak lagi sama.

Keretakan dalam keluarga yang menyebabkan banyak hati terluka. Tak ada lagi kasih sayang yang melingkupi seluruh anggota keluarga. Anak-anak yang menerima pedih yang teramat dalam. Begitu dalamnya, hingga bila diabaikan bisa membuat mereka rapuh dan patah. Ayah dan ibu yang lagi tak seiring sejalan. Masing-masing dengan pendiriannya. Tak lagi ada titik temu. Perselisihan dan cekcok menjadi makanan sehari-hari.

Intensitas pertengkaran semakin sering, apalagi di warnai dengan kekerasan fisik yang berujung KDRT. Ini tak hanya menimbulkan luka fisik semata, tapi juga luka batin. Luka batin inilah yang sulit untuk disembuhkan, bahkan bisa bertahan bertahun-tahun lamanya. 

Bagi pasangan suami-istri yang berkonflik dan seolah tak menemukan kembali titik temu, menganggap perceraian menjadi pilihan yang terbaik. Mereka bisa memilih jalan masing-masing tanpa saling mengganggu, tanpa perlu bertengkar lagi karena sudah terpisah urusan. Meskipun cerai itu pintu darurat yang dibolehkan, namun tetap saja pintu darurat itu membawa konsekuensi teramat berat.

Anak-anak yang besar dalam keluarga broken home akan mengalami kesedihan yang berkepanjangan, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab perpisahan, cenderung lebih posesif, sulit percaya pada orang lain, kehilangan kasih sayang, merasa dirinya tak berharga, kehilangan identitas diri, trauma terhadap suatu hubungan, mengalami krisis kepercayaan dan anti sosial. Anak-anak dari keluarga broken home pasti mengalami yang demikian, meski tingkat keparahannya berbeda-beda. Namun, tetap saja luka itu ada.

Ada yang begitu parah hingga memilih solusi yang sangat fatal, yaitu "BUNUH DIRI." Ini tersebab mereka tak menemukan penawar atas rasa sakit di jiwa. Tak ada yang memeluk mereka dengan kasih yang tulus. Semua permasalahan itu tak tertuntaskan. Sebaliknya, menyisakan luka yang mengendap begitu lama dan terabaikan.

Jika broken home dari sisi psikologis membawa efek yang mengiris, ada sisi lain broken home yang efek negatifnya jauh lebih dahsyat. Ia memiliki tingkat kerusakan yang jauh lebih mengerikan, yaitu broken home dalam perspektif "IMAN"

Broken home itu sejatinya bukan hanya di ketukan palu hakim agama yang menggugurkan ikatan tali pernikahan, tapi bisa lebih dini, yaitu sejak terjadinya kepatahan atau ketidak-sambungan "IMAN"

Jika keluarga tak sambung iman, maka sulit untuk menyatu dalam ketakwaan pada Allah SWT. Kebahagiaan menjadi perspektif masing-masing. Sulit menyatukan visi dan misi dalam membangun keluarga. Meskipun iklim dalam keluarga itu terkesan baik- baik saja, namun ketidaksambungan iman membuat keluarga itu tidak akan bertemu dalam naungan CINTA ILLAHI ROBBI.

Padahal sudah Allah ingatkan dalam keluarga itu harus pada garis keimanan yang kuat.
Allah berfirman dalam QS. Ath- thuur ayat 21: " Dan orang- yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) mereka  dengan anak cucu mereka di  dalam surga.”

Membangun keluarga tidak hanya untuk melahirkan anak-anak, membesarkan mereka hingga bisa mandiri dan membentuk keluarga sendiri. Namun lebih dari itu, yakni membangun keluarga yang selaras pada tujuan akhirnya dalam mencapai rida Illahi. 

Untuk meraih itu, tentunya harus mengikuti petunjuk yang telah Allah berikan. Dimulai dari memilih pasangan yang baik untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama, menikah, hingga hadirnya buah hati dan seterusnya, semua tak boleh lepas dari koridor syariah. Tujuannya tak lain adalah agar rumah tangga itu selalu dilingkupi berkah. 

Kehidupan keluarga yang berkah bisa terasa dan tercermin dari kasih sayang antar anggota keluarga dalam balutan cinta Illahi. Anak-anak yang dididik sesuai tuntunan Islam. Saling mengingatkan dan menguatkan dalam ketakwaan. Meski materi tak seberapa, namun rasa syukur membuat kehidupan menjadi lapang. Setiap permasalahan yang dihadapi berupaya dicarikan solusinya bersama-sama sesuai panduan syariah.  

Dengan selalu bersandar pada tali Allah, maka kehidupan keluarga jauh dari konflik yang berkepanjangan. Karena sama-sama saling berintrospeksi, mengevaluasi diri, tidak saling menyalahkan atas masalah yang ada. Maka, dengan begitu terjadinya broken home yang berdampak luar biasa tersebut, bisa dihindari semaksimal mungkin. Meski, tetap kita tak bisa menolak apa yang telah menjadi ketentuanNya. Namun, setidaknya telah dilakukan upaya untuk sebaik mungkin mengikuti aturanNya.

Menjaga keimanan seluruh anggota keluarga, bukanlah hal yang mudah di masa kini. Dimana aturan kehidupan yang sekuler, menjadikan agama urusan pribadi. Negara tak mengontrol atau membangun iklim agar keimanan dan ketakwaan masyarakatnya kondusif. Yang ada justru sebaliknya, banyak aturan di tengah masyarakat yang menyimpang dan bertentangan dengan aturan Sang Pencipta.

Maka dari itulah, agar kehidupan berjalan dengan baik bagi semua, harus kembali pada aturan yang hakiki. Sistem yang ada sekarang telah nampak nyata kerusakannya. Ia gagal menciptakan keluarga yang utuh dan bahagia sebenarnya. Bukan hanya secara fisik atau materi, tetapi dalam ruh keimanan kepada Sang Kuasa.  

Wallahu ‘alam bish-showab.