-->

Perempuan Mulia dengan Islam

Oleh: Ninning Anugrawati, ST. MT
(Dosen Non PNS UHO Kendari)

Dunia baru saja merayakan hari perempuan pada 8 maret 2021, peringatan  Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day, diselenggarakan untuk merayakan pencapaian sosial, ekonomi, budaya, dan politik perempuan. Hari Perempuan Internasional juga diperingati sebagai kampanye untuk mempercepat tercapainya kesetaraan gender. Tahun ini, tema yang diusung Hari Perempuan Internasional 2021 adalah 'Choose to Challenge' atau 'Memilih untuk Menantang'.Tema tersebut bermakna sebagai seruan kepada semua pihak untuk menantang dan menyerukan tentang ketaksetaraan gender dan merayakan pencapaian perempuan.

Banyak kalangan yang menilai bahwa diskriminasi yang dialami oleh perempuan lebih diakibatkan karena perempuan dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak berdaya secara ekonomi, oleh karena itu mereka mengharuskan keberadaan perempuan dan laki-laki dalam lingkup publik sama dalam semua lini, perempuan merdeka ditunjukkan dengan kualitas seorang perempuan yang bisa bekerja dan mengisi pos-pos khususnya pemerintahan. Inilah yang sangat digaungkan oleh para pejuang kesetaraan gender. Namun anggapan tersebut ternyata telah banyak menyesatkan dan membwa kehidupan yang lebih buruk khususnya bagi perempuan itu sendiri sebagai pihak yang dibidik, hal yang wajar sebab dengan gagasan kesetaraan gender tersebut perempuan dipaksa untuk keluar dari fitrah penciptaannya. Bagaimana mungkin kondisi sebuah masyarakat menjadi baik jika para wanita khususnya ibu yang secara sunatullah merupakan ibu dan pengatur rumah tangga, dipaksa keluar diranah publik untuk mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada kehadiran laki-laki. 

Sekularisme Penyebab Kesengsaraan Perempuan

Sistem kehidupan yang kapitalistik menjadikan solusi atas diskriminasi yang menimpa perempuan adalah dengan memberdayakan perempuan diranah publik untuk terjun aktif dalam menghasilkan dan menggerakkan roda perekonomian. Justru hal ini yang menyebabkan kondisi perempuan semakin terpuruk, menanggalkan kemuliaannya dan merampas hak-hak perempuan dalam kehidupan. Keterpurukan tatanan kehidupan saat ini lebih diakibatkan oleh penerapan sistem buatan manusia, yaitu sekularisme kapitalis yang menjadikan kekayaan alam pada Negara-negara dunia ketiga dikuras habis dan kedaulatan mereka dirampas, hingga miliaran rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, hidup di bawah garis kemiskinan. Rakyat hidup dalam bayang-bayang hutang ribawi Negara yang kian bertambah jumlahnya, terjebak dalam kebijakan Negara-negara pemberi hutang dan tidak berdaulat atas kekayaan alamnya yang berlimpah. 

Kesulitan hidup serta lepasnya tanggungjawab pemerintah menuntut perempuan juga harus terjun aktif dalam menunjang perekonomian  keluarga maupun Negara, tak sedikit dari mereka menjadi tulang punggung bagi keluarga, yang meniscayakan rapuhnya tatanan sebuah keluarga dan pelecehan kehormatan pada perempuan. dengan paham liberal yang diadopsi oleh sistem ini, menjadikan manusia khususnya perempuan bebas-sebebasnya mengekspresikan diri melanggar fitrah dan membahayakan jiwa dan kehormatan, demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Sistem buatan manusia tidak akan pernah dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia termasuk persoalan perempuan, sebab pada hakikatnya manusia tidak dapat menjangkau perkara yang baik dan yang buruk bagi dirinya maupun orang lain, oleh karena itu sudah seharusnya manusia mengambil peraturan dari zat yang menciptakan manusia yaitu Allah azza wajalla. 

Islam Memuliakan Perempuan

Menurut pandangan islam kekayaan alam berupa hutan, air dan energi yang melimpah ruah merupaka milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang, pengelolaannya merupakan kewajiban Negara yang hasilnya menjadi sumber pemasukan untuk mensejahterakan rakyat dan tentunya Negara bisa berlepas diri dari ketergantungan terhadap utang. Rakyat tidak lagi kesulitan memikirkan dan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas, serta fasilitas kehidupan lain yang menjadi hak rakyat dan kewajiban Negara.  Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi sekarang dimana kekayaan alam suatu negara terutama Negeri-negeri muslim dikuasai oleh hanya segelintir orang yaitu para kapitalis, Negara berlepas tangan, wajar jika masyarakat terpuruk secara ekonomi yang memaksa kaum perempuan berperaan aktif untuk mengasilkan dan menggerakkan perekonomian. 

Allah telah menciptakan manusia, baik perempuan maupun laki-laki, dengan suatu fitrah tertentu. Perempuan adalah manusia, sebagaimana halnya laki-laki. Masing-masing tidak berbeda dari aspek kemanusiaannya. Allah telah mempersiapkan keduanya untuk mengarungi kancah kehidupan dengan sifat kemanusiaannya. Allah telah menjadikan perempuan dan laki-laki untuk hidup bersama dalam satu masyarakat. Kesamaan inilah yang memungkinkan bagi keduanya diberi beban hukum yang sama, semisal sama-sama wajib beriman kepada apa-apa yang wajib diimani, beribadah, berdakwah, menuntut ilmu, dibolehkan bekerja, mengembangkan harta, dan lain-lain. 

Namun demikian adakalanya Allah memberikan beban yang berbeda kepada keduanya, karena sifat dan tabiat khususnya sebagai perempuan dan laki-laki. kekhususan tersebut tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi syariat Islam terhadap perempuan, Justru hal tersebut dapat menjadikan keduanya saling melengkapi dan menetapkan posisi masing-masing sesuai fitrah penciptaannya. Realitas bahwa perempuan memiliki kandungan, dapat hamil, melahirkan, menyusui, perempuan akhirnya diberi peran khusus sebagai istri dan ibu, pengatur rumah tangga suaminya dan syariah islam telah mendatangkan seperangkat hukum yang berkaitan dengan hal-hal tersebut, wanita juga tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan. Maka ia tidak boleh menjadi kepala negara (Khalifah), mu‘âwin (pembantu) Khalifah, Wali (gubernur), ‘amil (setara walikota/ bupati), atau jabatan apa saja yang termasuk pemerintahan (kekuasaan). Sementara laki-laki diberi peran khusus sebagai kepala keluarga berikut hak dan kewajiban, serta aturan-aturan menyangkut relasi keduanya yang berbeda. 

Karena itu islam memberi nilai kemuliaan bukan pada jenis peran sosialnya, tetapi sejauh mana kedua pihak melaksanakan peran yang diberikan Allah SWT. Lebih dari itu, Islam, memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk meraih kebahagiaan hakiki berupa keridaan Allah dan Surga-Nya.

“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kemimpinannya.”
(HR al-Bukhari dan Muslim)

Islam mewajibkan dalam masalah nafkah diberikan kepada istri, ibu, anak perempuan dan perempuan lain yang nafkahnya wajib diberikan kepada mereka, baik mereka kondisinya mampu bekerja atau tidak karena hukum bekerja tidak wajib bagi mereka. Adapun nafkah bagi ayah, anak laki-laki dan laki-laki lain maka sebenarnya nafkah tersebut tidak wajib, kecuali jika mereka tidak mampu bekerja, maka dia dalam tanggungan kerabat yang menjadi tanggungannya, jika kerabatnya tidakmampu juga maka dia masuk dalam tanggungan Negara. 

"Dari Abi Hurairah RA mengatakan, “Datang seorang laki-laki kepada Nabi seraya bertanya : Wahai Rasulullah saya mempunyai dinar?” Rasul menjawab, ‘Buatlah nafkah untuk dirimu’. Ia mengatakan saya mempunyai yang lain? Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah anakmu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Dia mengatakan, ‘Buatlah untuk nafkah keluargamu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah pembantumu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab,  ‘Anda lebih mengetahui.’ (HR Ibnu Hibban).

Islam telah mengatur sedemikian rupa peran perempuan dengan sangat adil, semuanya semata-mata bertujuan untuk melindungi dan menjaga kehormatan perempuan, bukan mengekang kebebasan para perempuan. Karena Islam tidak pernah melarang perempuan keluar rumah atau bahkan bekerja atau beraktivitas di luar rumah selama terpenuhi seluruh ketentuan-ketentuan Islam atasnya dan selama ia tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga suaminya.