-->

Jaminan Islam terhadap Produk Lokal, bukan Sebatas Retorika


Oleh: Lussy Deshanti Wulandari (Pemerhati Kebijakan Publik)

Slogan “Cintailah produk-produk Indonesia” sering terdengar melalui iklan elektronik di televisi. Seruan untuk mencintai produk lokal sekaligus membenci produk asing digaungkan oleh Presiden Jokowi baru-baru ini. Pernyataan Presiden Jokowi ini disampaikan saat memberikan sambutan pembukaan rapat kerja Kementerian Perdagangan 2021. 

Tentu saja, gaung pernyataan ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Sejumlah pengamat merespon pernyataan tersebut.  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto mengemukakan, pernyataan Presiden Jokowi riskan disalahpahami masyarakat. Seyogianya, Jokowi menggunakan komunikasi persuasif untuk merangsang masyarakat memiliki kecintaan pada produk dalam negeri. Gun Gun mengatakan, pola komunikasi untuk membenci produk luar negeri justru bisa menjadi blunder atau berdampak negatif (kompas.com, 4/3/2021).

Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai pernyataan Presiden Jokowi soal anti produk luar negeri akan berpeluang menciptakan moral hazzard. Sebab, pernyataan dimaksudkan agar tercipta konsumen loyal terhadap produk dalam negeri, tetapi sayangnya hal itu dibangun atas dasar kebencian pada produk asing (merdeka.com, 6/3/2021).


Seruan tak selaras dengan kebijakan

Pernyataan presiden Jokowi untuk membenci produk asing, sangat kontras dengan sikap dan kebijakan pemerintah selama ini. Kebijakan impor misalnya. Indonesia masih menggantungkan impor ke negara lain. Kelompok jenis barang yang paling banyak diimpor menurut BPS diantaranya, mesin dan alat angkutan sebanyak 33.2% dari total impor, barang-barang buatan pabrik sebanyak 16.08%, dan bahan kimia dan produknya sebanyak 15.18%. Indonesia pun tak lepas dari mengimpor sejumlah komoditas pertanian. Misalnya gandum, beras, cabai, bawang putih, kedelai, dan kopi. Bahkan baru-baru ini, Menteri  Perdagangan akan membuka keran impor beras sebanyak satu juta ton di tengah panen raya. Sungguh, kebijakan yang menyakiti para petani.  

Seruan benci produk asing juga tidak diimbangi peta jalan yang sungguh-sungguh memandirikan kemampuan dalam negeri. Ini bisa dilihat dari ketergantungan terhadap produk impor yang masih tinggi.   Apalagi ketergantungan ini berdampak dalam mematikan potensi para petani.  Sehingga akhirnya mustahil terwujud kemandirian di negeri ini.   

Selain kebijakan impor, kebijakan lain yang diambil pemerintah adalah terkait investasi. Pasca ditandatanganinya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), peluang investasi asing semakin terbuka lebar.  Menurut peneliti Senior IGJ, Olisias Gultom mengatakan, Pemerintah Indonesia telah menandatangani 20 perjanjian dagang melalui mekanisme Free Trade Agreement maupun Comprehensive Economic Partnership Agreement. Di antaranya telah diimplementasikan, 11 telah ditandatangani dan dalam proses implementasi. Sementara, 13 perjanjian lagi sedang dalam proses negoisasi. 

Konsekuensi dari perjanjian dagang ini menjerat Indonesia masuk dalam perdagangan bebas. Perjanjian perdagangan bebas ini justru membahayakan industri dalam negeri karena persaingan yang tidak seimbang antara usaha lokal dengan perusahaan asing berkapital besar, akan terjadi. Tak ayal, kehancuran melanda usaha lokal. Akibatnya, makin bertambah jumlah angka pengangguran.


Dengan kata lain, pernyataan benci produk asing tidak sejalan dengan kebijakan yang sudah ditetapkan. Justru nampak hanya sebatas retorika politik demi menarik simpati rakyat. Beginilah, potret penguasa dalam sistem kapitalisme. Pertimbangan materi lebih mendominasi daripada serius mengurusi rakyatnya. Kebijakan yang diambil malah akan semakin memperlebar kesenjangan. Aset-aset penting dikuasai asing. Barang impor menggusur produk lokal. Alhasil, rakyat semakin menderita.


Sistem islam melindungi produk lokal

Sistem Islam adalah sistem terbaik dari Allah Swt. Sistem ini mengatur kehidupan manusia dan memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk masalah ekonomi. Sistem ekonomi Islam menjamin sehatnya persaingan usaha dengan cara melarang berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Pertama, melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr). Praktik curang ini dapat menggelembungkan harga dengan merekayasa kelangkaan.

Kedua, melarang pematokan harga oleh pemerintah (al-tasy’ir). Kebijakan itu dapat merusak prinsip ‘an tarodh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pelaku transaksi. Karena harga terbentuk dari keridaan penjual dan pembeli. 

Ketiga, melarang praktik penipuan baik at-tadlis maupun al-ghabn al-fahisy. Akibat praktik at-tadlîs yakni menutupi cacat pada produk dan menampakkannya seolah-olah baik,  barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya. Adapun al-ghabn al-fahisy (penipuan harga), pembeli atau penjual memanfaatkan ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Praktik curang itu akan menciptakan penyimpangan harga.

Apabila hukum Islam ini dipraktekkan, akan tercipta pasar yang bersih dan fair. Para produsen yang menginginkan produknya berharga tinggi akan kreatif memproduksi barang yang benar-benar berkualitas. Bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menuntut pemerintah untuk mematok harga tinggi terhadap produknya.

Islam juga menawarkan kepada manusia, sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian negara.  Sekaligus menjamin berkembangnya industri-industri dalam negeri dan sektor lainnya. 

Sistem ekonomi Islam mengatur kepemilikan. Baik individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kewajiban negara adalah memastikan tersedianya bahan baku, energi, dan modal usaha untuk pelaku ekonomi rakyatnya. Pun pembinaan dan pendampingan. 

Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga benar-benar bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Ekspor bahan mentah, misalnya, akan dibatasi. Sebaliknya, ekspor barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah akan terus ditingkatkan. Dengan catatan, telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Adapun impor barang-barang yang bisa mengancam industri dalam negeri akan dibatasi. Impor terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri. Semua itu dilakukan antara lain dalam rangka melindungi berbagai kepentingan masyarakat. Sebab, kewajiban negaralah untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya. Sebagaimana hadits,

”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Beginilah sistem Islam menjaga, menjamin, dan melindungi produk lokal dan pelaku usaha dalam negeri. Semua itu dilakukan sebagai bentuk riayah (pengurusan) negara terhadap rakyatnya. Bentuk tanggung jawab langsung negara kepada Allah Swt, bukan sebatas retorika. Dalam sistem ini pun akan terwujud kemandirian ekonomi dan meminimalisir ketergantungan terhadap produk asing. Wallahu'alam bi ash-showab.