-->

Di Balik Layar, Kebijakan Impor

Oleh : Ummu Nesya

Ironi, Skandal. Dua kata yang mencuat di media massa dari pakar ekonomi dan pertanian, ketika berbicara polemik kebijakan impor pangan oleh pemerintah. 
Ironi. Pertama Indonesia negeri agraris yang dilalui garis khatulistiwa, tanahnya subur dan potensi kekayaan alam dari darat dan laut melimpah ruah. Tapi termasuk negara penggemar impor. Pangan seperti beras, gula, daging, gandum, buah bahkan sayur menjadi langganan impor. Pangan saja impor apatah lagi selain itu, seperti perangkat lunak hingga alat berat. Produk impor bertebaran di pasar-pasar, minimarket, atau toko. 

Nilai total impornya mencapai miliar dolar AS per tahun. Negara penyuplai impor antara lain China, Thailand, Amerika, Singapura, Australia, Korea Selatan, Malaysia, India dan Jerman. Impor utama berasal dari China, sebesar 28,83 % dengan nilai mencapai 2,80 milliar dolar AS (www.detik.com, 16/11/2020). 

Kedua, acapkali impor dilakukan saat petani dalam negeri mau panen raya. Termasuk kasus impor beras 1 juta ton dan garam 3 juta ton Maret tahun ini. Saat wacana impor tak dilempar ke publik saja, harga gabah dan garam di petani tak menggairahkan. Apatah lagi isu impor ini telah menggelinding panas di publik. Pukulan telak bagi para petani.  Wajar mereka menjerit. Tapi sekali lagi adakah pemerintah perduli?

Dalihnya menjaga stok komoditas dalam negeri, menjelang puasa dan lebaran. Realitasnya Bulog menjerit karena stok beras 2018 masih ada di gudang. Bulog juga kewalahan menyalurkan beras tersebut. Diperkirakan ada 300-400 ribu ton beras di gudang berpotensi turun mutu. Apabila setengahnya saja tak layak konsumsi, akan berpotensi merugikan negara sebesar Rp 1,25 triliun (www.republika.com, 24/03/2021). 

Linier dengan data Ombudsman, BPS dan Kementerian Pertanian yang menyatakan produksi beras dalam negeri meningkat sehingga stok beras aman tak ada kendala. Lantas data darimana yang memaksa impor beras ? Nampak tak ada kordinasi antar lembaga pemerintah dalam hal ini. 

Skandal. Tak tabu lagi, diskursus kebijakan impor terkait erat dengan permainan pemilik modal dan pemburu rente. Tangan dan jaringan mereka menggurita dan mencengkeram pemilik kekuasaan. Tak perduli dengan penderitaan rakyat atau kerugian negara, yang penting fulus masuk dalam kantong. Pemilik kekuasaan hari ni pun tak berkutik. Karena hakikatnya lingkaran kekuasaan hari ini secara tak langsung dikendalikan  pemilik modal. 

Kebijakan Impor Hanya Untungkan Pemilik Modal dan Penguasa 

Di negeri ini bahan mentah/baku untuk sektor industri tersedia. Hanya saja bahan mentah ini di jual keluar negeri. Tidak diolah secara mandiri menjadi bahan jadi. Begitupun dengan sektor pertanian/perkebunan. Realitasnya lahan para petani semakin sempit, bahkan banyak yang tak memiliki lahan sendiri. Mayoritas lahan dikuasai oleh perusahaan besar, para industriawan, atau tuan tanah. Mengharap dukungan dana dan sarana prasarana dari negara bagi para petani sulit. Setelah panen, hasil keringat mereka pun tak dihargai. Padahal kualitas produknya tak kalah bersaing dengan luar negeri. 

Kentara seruan presiden Jokowi untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk produk asing, hanya basa basi politik. Karena ketergantungan pada impor hari ini begitu akut. Akan selalu rutin dilakukan selama sistem yang diterapkan sekuler kapitalisme. Mengapa ?
Bukan salah bunda mengandung, tapi cacat sistem dan salah urus pemilik kuasanya. Seperangkat dan sistemik. Dalam sekuler kapitalisme, diberikan kebebasan kepemilikan, termasuk pengelolaan SDA dan aset strategis lainnya. Pemilik modal tentu saja yang hanya memliki akses pada kepemilikan tersebut. Acapkali untuk mempertahankan dan mengembangkan materi dan kepentingan, pemilik modal berkolaborasi dengan pemilik kuasa. Termasuk dalam hal kebijakan impor ini.  

Pengurusan kebutuhan rakyat oleh penguasa bukan didasarkan amanah dan pertanggungjawanban pada Allah. Tapi pada materi dan kepentingan diri dan kelompok semata. Tak dipungkiri, penguasa dan pemilik modal ‘bahu membahu’ membangun dinasti dan korporatokrasi. Bekerja sama dengan negara asing dan aseng. Rakyat hanya menjadi penonton dan kacung di negeri sendiri. Terbukti rakyat sejahtera dalam sekulerisme kapitalisme hanyalah slogan semu. Miris.

Islam Solusi dan Jamin Kesejahteraan

Kenestapaan dan penderitaan di semua sendi kehidupan adalah niscaya dalam sistem sekuler kapitalisme. Karena menafikkan syari’at Allah dalam pengaturan kehidupan. Islam mewajibkan untuk individu muslim, masyarakat dan negara terikat pada syari’at Allah dalam semua sendi kehidupan. Allah SWT berfirman : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqarah 208).

Negara berusaha maksimal dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Karena hal tersebut adalah kewajiban dan amanah. Ada pertanggung jawaban pada Allah. Hal ini menuntun negara untuk berswasembada, baik sektor pertanian/perkebunan, peternakan, perikanan, maupun industri. Harus ada dukungan negara baik dari hulu hingga hilirnya. Yaitu lahan, dana, sarana prasarana, teknologi dan distribusi produknya. 

Swasembada ini tentu saja tak sulit terwujud, karena realitas hari ini di negeri-negeri muslim sudah tersedia bahan-bahan mentah. Potensi alam dan SDM nya pun mendukung. Sehingga impor bisa saja tak dilakukan. 

Dalam Islam, impor produk dan jasa hukumnya mubah. Setelah usaha maksimal negara dalam ber swasembada. Pengaturan impor atau terkait lainnya dilandaskan pada hukum perdagangan sesuai syari’at Islam, bukan materi atau kepentingan penguasa atau pemilik modal. Negara yang mengontrol sepenuhnya interaksi perdagangan dengan luar negeri. Warga negara tidak boleh melakukan perdagangan tanpa seizin negara. Yang diperhatikan Islam dalam perdagangan luar negeri adalah hubungan negara asal komoditas barang jasa apakah termasuk kafir harbi hukman atau fi’lan. Hal ini terkait dengan stabilitas politik dan pengembanan dakwah Islam. 

Wallahu a’lam bish-shawabi.