Antara Kontroversi Jilbab dengan Penerapan Syariat
Oleh: Muhandisa Al-Mustanir
Dikutip dari Antaranews.com (26/01/2021) Jakarta - Video siaran langsung pada akun media sosial Elianu Hua yang berisi percakapan antara wali murid dengan perwakilan SMK Negeri 2 Padang mendadak viral. Pihak sekolah memanggil Eliana ke sekolah karena Jeni Cahyani Hia, anaknya, menolak mengenakan jilbab karena nonmuslim. Jeni yang duduk di kelas IX jurusan otomatisasi dan tata kelola perkantoran tersebut merasa tidak memiliki kewajiban mengenakan jilbab karena menganut agama yang berbeda. Dalam video tersebut, Eliana selaku orang tua Jeni, mengatakan anaknya cukup terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab di sekolah.
Hal tersebut membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim angkat bicara dan mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya dibawah bimbingan orang tua. Hal itu berpedoma pada pasal 55 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sehingga Mendikbud berpendapat, bahwa apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tersebut sebagai bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan. Pihak Kemendikbut berkata akan segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan.
Kontroversi masalah jilbab yang melibatkan pihak SMK 2 Negri Padang dengan salah seorang murid non muslim ini memang langsung menjadi sorotan publik. Banyak pihak memberikan komentar dan reaksi mereka terkait dengan permasalahan ini. Melihat juga bagaimana akhirnya Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan turun tangan atas masalah ini, tentu kita bisa menilai bahwa kasus ini dianggap sangat genting oleh sebagian pihak. Karena, penerapan hukum syariat seperti salah satunya terkait jilbab ini dianggap sebagai sebuah tindakan intoleransi, yang mana di negri kita tercinta ini seolah menjadi momok yang sangat menakutkan jika kiranya terus dibiarkan. Sehingga pada akhirnya, penerapan hukum-hukum syariat, baik itu dalam skala kecil seperti peraturan sekolah, maupun dalam skala besar seperti adanya perda syariah, menimbulkan perdebatan dan ditolak oleh beberapa pihak dengan alasan mengancam toleransi dan keberagaman. Seperti Grace Natalie contohnya, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini mengatakan bahwa partainya menolak perda injili maupun syariah karena berpotensi diskriminatif.
Selain itu, ada banyak lagi pihak yang secara terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap adanya Perda Syariah Sebagaimana yang dikutip pada Voaindonesia.com (26/11/2018)- Sejumlah pengamat dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (24/11/2018) siang, menilai kehadiran perda berdasarkan sebuah agama memunculkan beberapa masalah, antara lain menjadi komoditas politik, berpotensi diskriminatif, dan menghilangkan kepercayaan publik.
Pengamat Politik Universitas Indonesia Ade Reza Hardiyan menilai perda berdasarkan agama hanyalah cara politisi meraup suara. Apalagi tahun 2018 kemarin merupakan tahun politik jelang Pemilu.
Sementara aktivis perempuan Nong Darol Mahmada mengungkapkan penerapan perda berdasarkan agama sering diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok agama minoritas. Perda-perda yang mengatur kesusilaan, misalnya, kerap mengasumsikan perempuan yang keluar malam sebagai pekerja seks. Akibatnya, stigma dan label dibebankan kepada perempuan. Menurut lulusan UIN Jakarta ini, pemerintah seharusnya dapat melindungi warga negara apapun latar belakangnya.
Selain itu juga, Partai-partai politik di Indonesia memiliki pendapat berbeda terkait perda berdasarkan agama. Lima partai yakni Nasdem, PKB, PPP Gerindra, dan PAN menyatakan dukungannya. Sementara Golkar dan PKS menyatakan perda jenis ini sah saja. Partai Demokrat tidak bersikap dalam hal ini dan PDI Perjuangan menyatakan perda syariah hanya ada di Aceh.
Belajar dari hal ini, kita bisa melihat bahwa mayoritas pihak pemerintahan kita cenderung menolak adanya penerapan hukum-hukum syariat islam walaupun hanya dalam ruang lingkung yang kecil. Penerapan syariat dianggap melanggar kesepakatan bernegara dan orang yang memperjuangkannya dianggap layak untuk menerima sanksi.
Hal ini sebenarnya bukan hal baru dalam sebuah negara bersistem Sekuler, dimana agama tidak boleh mengambil peran dalam ranah kehidupan, terutama politik. Maka wajar, jika ada hukum agama yang diterapkan, tentu saja sudah menyalahi aturan main dalam sistem bernegara Sekuler ini.
Tapi sayangnya, Islam adalah sebuah agama yang mencakup segala tatanan dan peraturan hidup manusia secara sempurna dan paripurna, sehingga sebagai seorang muslim/muslimah yang mengaku beriman pada agama ini, tentu memiliki konsekuensi untuk menjalankan segala perintah di dalam Islam. Hal ini tentu menjadi pertentangan dengan sistem Sekuler Demokrasi yang diterapkan negara kita hari ini. Maka seolah, menjadi Muslim hari ini menjadikan kita harus memilih antara taat kepada ajaran Islam, ataukah kepada aturan negara, sedang kita mengetahui bahwa jika meninggalkan salah satu diantaranya akan mendapatkan sanksi, entah itu dari agama atau dari negara.
Hukum Islam dan Hukum yang dibuat oleh negara Sekuler, selamanya tidak akan pernah bisa menyatu dan sejalan diakibatkan asas Aqidah yang sangat jauh berbeda. Maka tentu, jika masih dalam sebuah negara Sekuler, memperjuangkan ajaran Islam agar bisa menjadi sebuah aturan bernegara hanyalah angan-angan belaka. Dan yang parahnya lagi, kita haruslah menelan pahitnya kenyataan bahwa ajaran Islam hari ini dan seterusnya akan selalu mendapat cap negatif, intoleran, bahkan radikal oleh negara dan masyarakatnya. Tentu ini sangat menyakiti hati kita semua yang meyakini kebenaran agama Islam ini.
Oleh karena itulah, memperjuangkan tegaknya syariat Islam di sebuah negara Sekuler adalah kemustahilan dan hanya membawa citra buruk terhadap islam. Maka, perlu kita ketahui bagaimanakah seharusnya kehidupan seorang muslim itu berjalan.
Islam adalah sebuah agama yang paripurna, di dalam islam aturan hidup manusia diatur mulai dari perkara yang paling kecil dan bersifat individual seperti bersuci, masuk ke dalam wc, tata cara makan, dll. Sampai pada perkara yang paling besar dan urgent yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia yang lainnya seperti masalah politik, ekonomi, sosial, dll. Pun juga sudah diatur di dalam Islam sedemikian rupa. Oleh karnanya juga, Islam tidak hanya sekedar agama, tapi juga adalah sebuah Ideologi, yaitu paradigma hidup manusia yang berasal dari sang pencipta.
Syariat-syariat di dalam islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga hanya bisa terterapkan seluruhnya atau tidak sama sekali. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita tidak diperbolehkan hanya mengambil sebagian hukum islam saja, dan membuang sebagian yang lain. Seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS al-Baqarah [2]: 208).
Sebab turunnya (sababun nuzul)ayat ini, sesuai riwayat dari Ibnu Abbas berkaitan dengan Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya –para shahabat yang masuk Islam dan dulunya adalah pemeluk Yahudi— yang telah beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan syariat Islam yang dibawa beliau, akan tetapi tetap mempertahankan keyakinan mereka kepada sebagian syariat Nabi Musa AS. Misalnya, mereka tetap menghormati dan mengagungkan hari Sabtu serta membenci daging dan susu unta.
Hal ini telah diingkari oleh shahabat-shahabat Rasulullah SAW lainnya. Abdulah bin Salam dan kawan-kawannya berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Taurat adalah kitabullah. Maka biarkanlah kami mengamalkannya.” Setelah itu, turunlah firman Allah surat al-Baqarah [2]: 208 di atas (Majalah Al Wa’ie, no. 159, Rabiuts Tsani, 1421, hal. 14).
Ayat 208 di surat Al-Baqarah ini menjadi dalil kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk menerapkan hukum Islam secara menyeluruh (kaffah). Karena jika tidak, ajaran Islam tidak akan pernah bisa mencapai esensi yang sebenarnya, dan membuat kita tidak ada bedanya dengan orang-orang kafir yang mengimani sebagian ayat Allah dan ingkar pada sebagian yang lain.
Ketika kita sadar jika ajaran islam, barang sedikit saja tidak akan pernah bisa diterima ditempat sekuler, maka tentu solusinya adalah kembali kepada hukum islam, tentang bagaimana metode agar hukum islam bisa terterapkan secara kaffah. Ialah hanya dengan tegaknya Khilafah yang sesuai manhaj kenabian, hanya dengan inilah metode yang benar agar hukum-hukum di dalam islam terjalanan sebagaimana mestinya tanpa harus bertentangan dengan pihak negara. Karna pada hakikatnya di dalam islam, Agama dan kekuasaan (politik) itu ialah ibarat dua mata koin yang tidak terpisahkan. Ibnu Taymiyah juga menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/394). Dan perkataan Ibnu Taymiyah ini benar-benar bisa kita rasakan kebenarannya. Wallahua’lam bishawab
Posting Komentar