-->

Demokrasi Kapitalis, Biang Kemiskinan Massal

Oleh: Ashima Adzifa (Mahasiswa Malang Raya)

Penamabda.com - Kemiskinan selalu menjadi persoalan klasik yang berulang dari tahun ke tahun. Terlebih sejak adanya pandemi corona di berbagai belahan dunia menjadikan indeks kemiskinan berpotensi meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.

Untuk mencegah angka kemiskinan massal, pemerintah mengucurkan dana bantuan sosial kepada warga yang terdampak Covid-19. Bank Dunia melihat jika stimulus program perlindungan sosial dari pemerintah merupakan kunci untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat dari krisis Covid-19.

Dalam laporannya, Bank Dunia menyebut besaran dana yang dikeluarkan pemerintah tersebut akan menentukan apakah masyarakat akan jatuh ke dalam jurang kemiskinan.

“Simulasi kami, kalau pemerintah tidak memberikan perlindungan sosial, sebanyak 8,5 juta masyarakat Indonesia bisa jatuh miskin akibat krisis ini,” ujar mereka.

Namun sangat disayangkan pada faktanya, perlidungan sosial yang diberikan pemerintah terkesan lamban dan bahkan tidak menyentuh kelompok seharusnya mendapatkannya.  (Kontan.co.id, 20/12/2020)

Standar Kemiskinan

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis itu dibuat BPS dengan menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar yang dinyatakan dalam nilai pengeluaran dalam rupiah. Garis kemiskinan nasional pada Maret 2020 sebesar Rp454.652 per kapita per bulan.

Jadi menurut standar BPS, individu dikatakan miskin bila pendapatannya di bawah Rp454.652 per kapita per bulan. Jika masih di kisaran angka itu, dia belum terkategori miskin.

Apakah standar ini bersesuaian dengan fakta? Sayangnya tidak. Sebab, meski sebagian rakyat meski memiliki pendapatan di atas Rp450.000, belum tentu mereka mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Standar kemiskinan yang dihitung dengan angka tanpa memperhatikan faktanya ibarat gunung es. Yang tak tampak di atas kertas bisa jadi lebih banyak. Garis kemiskinan seperti ini juga berpeluang diubah sesuai kepentingan yang berkuasa.

Dengan perubahan standar kemiskinan, para penguasa bisa mengklaim angka kemiskinan menurun. Dengan begitu, ia akan dianggap sebagai pemimpin yang sukses mengentaskan kemiskinan.

Dalam Islam, tolok ukur kemiskinan ada tiga aspek, yaitu sejauh mana seseorang memenuhi kebutuhan primernya berupa sandang; pangan; papan, pendidikan, dan kesehatan.

Demokrasi Kapitalis, Biang Kemiskinan Massal

Demokrasi melahirkan pemimpin tak amanah, yang akhirnya memunculkan perilaku khianat, korup, culas, dan ingkar. Semua ini karena proses politik demokrasi yang tidak alami. Rakyat diminta memilih orang-orang pilihan parpol. Ketika para calon menang, mereka harus mengakomodasi kepentingan pemodal dan pendukungnya. Itulah politik balas budi. Dari praktik politik inilah lahir regulasi yang lebih memihak kepentingan kapitalis. Janji mereka pada rakyat pun kandas dikalahkan nafsu kepentingan kekuasaan. Alhasil, kemiskinan hari ini adalah efek domino pemilihan pemimpin politik demokrasi.

Kemiskinan yang menimpa rakyat tidaklah berdiri sendiri tanpa sebab. Mereka hidup miskin bukan karena nasibnya yang tak beruntung. Mereka miskin bukan pula karena keterbatasan skill. Mereka sejatinya dimiskinkan sistem yang serba kapitalistik. Mereka dimiskinkan secara terstruktur oleh penguasa demokrasi kapitalis.

Mau sekolah tinggi, terkendala biaya pendidikan mahal. Mau kerja nyaman, terhalang skill yang tak mumpuni akibat pendidikan rendah. Mau kerja, tidak tahu dapat modal dari mana. Mau belanja kebutuhan, harga bahan pokok naik. Bayar listrik, air, tidak ada yang gratis. Ingin menikmati kesehatan gratis harus dihadapkan dengan aturan dan administrasi berbelit.

Semua ini karena segala komoditas dikapitalisasi. Dari mulai pendidikan, perdagangan, hingga kesehatan dikapitalisasi penguasa hasil pilihan demokrasi.

Kebijakan untuk rakyat dipersulit, regulasi untuk pemodal justru dipermudah. Belum lagi rakyat harus berhadapan dengan korupsi menahun di negeri ini. Di situasi pandemi, para penguasa itu masih saja memanfaatkannya sebagai ladang korupsi berjemaah seperti bansos yang dikorupsi Mensos tadi.

Bagaimana kemiskinan mau dihilangkan bila akar masalah kemiskinan itu sendiri belum dituntaskan? Yaitu sistem demokrasi yang melahirkan pemimpin korup dan ekonomi yang serba kapitalistik. Lantas, bagaimana mengentaskan kemiskinan dengan solusi pas, tuntas, dan total?

Khilafah, Solusi Tuntas Mengentaskan Kemiskinan

Definisi kemiskinan menurut kapitalisme tentu berbeda dengan kemiskinan menurut Islam. Menurut bahasa, “miskin” berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat.

Allah SWT menggunakan istilah itu dalam firman-Nya, “…atau orang miskin yang sangat fakir.” (QS al-Balad [90]: 16). Adapun kata “fakir” berasal dari bahasa Arab “al-faqru“, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj).

Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhamul Iqtishadi fil Islam, mendefinisikan orang fakir adalah orang yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. 

Masalah kemiskinan dalam Islam adalah tidak terpenuhinya kebutuhan primer rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan begini, masalah kemiskinan diuraikan dengan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dasar rakyat, seperti:

Pertama, menjamin ketersediaan kebutuhan primer.

Hal ini tidak berarti negara membagikan secara gratis makanan, pakaian, atau rumah kepada rakyat setiap saat, hingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah terpenuhi.

Maksud dari jaminan tersebut diwujudkan dengan pengaturan serta mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan, seperti Mewajibkan negara membantu rakyat miskin. Jika seseorang tidak memiliki kerabat atau memiliki kerabat tapi hidupnya pas-pasan, maka pihak yang berkewajiban memberinya nafkah adalah baitul mal (kas negara). Dengan kata lain, negara berkewajiban memenuhi kebutuhannya. Jika kas negara kosong, maka kewajiban nafkah beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah Ta’ala berfirman, “Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (QS adz-Dzariyat [51]: 19).

Kedua, pengelolaan kepemilikan.

Di dalam Islam, aspek kepemilikan dibagi menjadi tiga yaitu, kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu memungkinkan siapa pun mencari harta untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang dibolehkan Islam. Adapun kepemilikan umum dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, yaitu bisa berupa harga murah bahkan gratis.

Harta milik umum ini berupa barang tambang, minyak, sungai, danau, hutan, jalan umum, listrik, dll. Harta ini wajib dikelola negara dan tidak boleh diswastanisasi dan diprivatisasi sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme.

Ketiga, pendistribusian kekayaan yang merata.

Negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada seseorang yang mampu untuk mengelolanya.

Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut.

Semua itu menggambarkan bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Keempat, penyediaan lapangan kerja.

Negara wajib menyediakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja terutama untuk laki-laki. Karena merekalah pencari nafkah bagi keluarganya. Negara membolehkan perempuan berperan dalam ranah publik, seperti dokter, perawat, guru, dll. Namun, tugas perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya tetap menjadi kewajiban utama yang harus ditunaikan dengan sempurna.

Kelima, penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan.

Masalah kemiskinan biasanya juga disebabkan tingkat pendidikan rendah yang berpengaruh pada kualitas SDM. Di sinilah negara Khilafah akan menyelenggarakan pendidikan gratis kepada rakyat. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang diberikan secara cuma-cuma. Sebab, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan primer yang wajib dipenuhi negara.

Begitulah Islam mengatur secara rinci bagaimana mengatasi kemiskinan struktural dan kultural dengan pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat. Pengaturan seperti ini tidak akan dijumpai dalam sistem demokrasi kapitalis. Mekanisme ini hanya akan ditemui tatkala Islam diterapkan dalam bingkai negara Khilafah.

Wallahu a’lam bi ash-showab