-->

Menjaga Negara dari Bayang-Bayang Disintegrasi

Oleh : Adzkia Mufidah, S.Pd

Penamabda.com - Sinyal disintegrasi kembali mencuat di negeri ini. Pada tanggal 1 Desember, publik dihebohkan dengan deklarasi kemerdekaan Papua oleh Benny Wenda, Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat atau The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Wajar jika kemudian banyak pihak khawatir akan hal ini. 

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta meminta pemerintah Indonesia tidak menganggap remeh perkembangan terkini di Papua. "Jangan anggap remeh perkembangan ini, kita tidak ingin Papua berakhir seperti Timor-Timur. Kasus penembakan dan serangan terhadap aparat serta masyarakat sipil yang masih terus terjadi, menunjukkan situasi di Papua belum stabil," kata Sukamta. Dia menilai penanganan terhadap masalah Papua yang selama ini dilakukan pemerintah Indonesia harus dikoreksi secara sistematis, di tingkat pemerintah pusat ataupun di daerah. 

Senada dengan Sukamta, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan deklarasi sepihak tersebut merupakan masalah serius yang harus segera ditanggapi oleh Indonesia. Jika tidak, dikhawatirkan ini akan menjadi kesempatan bagi pihak lain untuk mendukung deklarasi tersebut sehingga mengancam kedaulatan dalam negeri. Bisnis.com,  (2/12/2020).  

Memang pemerintah mestinya tidak memandang remeh persoalan ini. Sebab, bisa saja berkembang jika pihak luar/Asing tidak berhenti ikut campur. Sejauh ini disinyalir dukungan dari pihak luar sudah mulai terlihat dari Melanesian Spearhead Group (MSG) yang terdiri dari beberapa negara seperti Vanuatu, Solomon, Fiji, dan Papua Nugini. 

Selain itu, AS sebagai negara adidaya, sudah sejak lama mendukung Papua merdeka. Dukungan AS terhadap Papua Merdeka bisa dilihat dari keterlibatannya dalam membuat Rancangan Undang-Undang 2601 yang memuat masalah Papua di Amerika. Sekalipun pemerintah AS menyatakan tidak mendukung disintegrasi Papua, namun persetujuan mayoritas kongres terhadap RUU tersebut menunjukkan AS akan mendukung pelepasan Papua dari Indonesia. Bukankah seharusnya sinyal ini cukup untuk membuat kita waspada?

Jika dicermati lebih dalam, persoalan disintegrasi sejak dahulu terus membayangi negeri ini. Khususnya di Papua. Di samping itu, meski dunia internasional terus memberi sinyal dukungan atas kemerdekaan Papua, ironisnya pemerintah pusat justru terkesan menganggap remeh dan lebih banyak beretorika dibanding memberantas tuntas benih-benih disintegrasi. 

Disintegrasi di Papua, menurut para pengamat muncul karena adanya diskriminasi dan kegagalan negara memberi keadilan dan kesejahteraan. Lihat saja, wilayahnya yang begitu kaya dengan emas dan tambang lainnya, ternyata hasilnya tak pernah dirasakan oleh mereka yang hidup di sana. 

Begitu pula dengan pembangunan yang digadang-gadang oleh pemerintah pusat telah dilakukan di sana. Nyatanya belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Pasalnya hal itu hanya dinikmati oleh pihak tertentu saja. 

Gagalnya negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan ini merupakan dampak diterapkannya sistem demokrasi dengan asas kebebasannya. Sistem ini telah melahirkan para penguasa/pejabat dan elit politik yang egois. Mereka duduk di pemerintahan hanya untuk kemaslahatan tuannya, dirinya dan golongannya. Tidak perduli apakah rakyat sedang kelaparan atau mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. 

Lebih jauh, sistem ini telah menjadikan pemerintahan bak singa ompong. Tidak berdaya menghadapi kepentingan dan tekanan pemilik modal. Lihat saja undang-undang yang dilahirkan dari rahim demokrasi, seperti UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, dan sejumlah UU lainnya dibuat pemerintah tidak lain adalah untuk menjamin kepentingan para pemilik modal bukan untuk rakyatnya. 

Karenanya, berharap sistem demokrasi dapat menghentikan disintegrasi, hanyalah sia-sia. Sebab pada kenyataannya sistem inilah yang telah menyuburkan benih-benih disintegrasi, ketidakadilan dan kesenjangan di tengah masyarakat. 

Oleh karena itu, untuk menjaga negara dari disintegrasi kita butuh sistem Islam, yaitu khilafah. Sistem yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Sistem yang akan mendatangkan rahmat dan kesejahteraan. Sekaligus memberikan keadilan bagi seluruh warga negaranya, tanpa diskriminasi. Hanya dengan aturan Islam, persoalan-persoalan pemicu disintegrasi akan mampu diatasi. 

Seperti persoalan kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi. Untuk itu, khilafah akan memberlakukan sistem ekonomi Islam dan menjamin kebutuhan pokok seluruh rakyatnya terpenuhi. Sebab, dalam Islam negara/khilafah wajib melakukan distribusi kekayaan secara adil kepada seluruh individu masyarakat. Tanpa mengutamakan satu kelompok, golongan, ras, atau suku tertentu atas yang lain. Khilafah akan mengambil berbagai kebijakan ekonomi dalam bidang perdagangan, jasa, pertanian, dan sebagainya agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

Begitu pula dalam hal pembangunan, termasuk di sini pembangunan infrastruktur, akan dipenuhi sesuai kebutuhan. Baik di desa atau di kota, akan diperlakukan sama. Tanpa melihat pemasukan daerahnya kecil atau besar. 

Adapun terkait persoalan hukum, Islam telah menegaskan bahwa manusia sama di depan hukum. Maka  khilafah akan memperlakukan semua rakyatnya dengan adil. Tidak perduli suku bangsanya, muslim maupun nonmuslim, rakyat jelata ataupun pejabat akan diperlakukan sama. 

Dalam hal menjaga keutuhan wilayah. Dalam Islam itu hukumnya wajib. Haram memisahkan diri. Dengan kata lain haram berbilang kepemimpinan. Hal ini berdasarkan hadist: Dari Arfajah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ

“Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka perangilah ia.”(HR. Imam Muslim, nomor 1852).

Karena itu, khilafah akan melakukan berbagai upaya untuk menjaga dan melindungi setiap wilayahnya. Khalifah akan menindak tegas atau bahkan memerangi setiap kelompok yang ingin atau berniat memisahkan diri dari wilayahnya. 

Selain itu, untuk menghentikan campur tangan Asing, khilafah akan mengaktifkan jaringan intelijen negara yang didukung oleh umat. Jika terbukti adanya hal itu, Khilafah dapat menjatuhkan sanksi ta‘zîr yang keras. Individu atau kelompok mana pun yang menjadi agen asing dapat dijatuhi hukuman mati. 

Saatnya seluruh rakyat Indonesia termasuk yang ada di Papua membuang jauh-jauh sistem demokrasi. Kembali kepada aturan Allah SWT, yakni aturan Islam yang telah terbukti mampu menjadi solusi atas setiap permasalahan. Sebab aturan Islam memang diturunkan Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahua’lam.