-->

Hukuman Mati Untuk Menteri Koruptor Bansos

Oleh : Threica (Aktivis Muslimah Jember)

Penamabda.com - KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari. Firli menyebut pada periode kedua, yakni Oktober-Desember 2020, sudah terkumpul uang senilai Rp 8,8 miliar yang dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara. Uang Rp 8,8 miliar itu diduga akan dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara. Uang itu diduga berasal dari kesepakatan fee penunjukan rekanan pengadaan bansos COVID-19 ini sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial.

Firli mengatakan ada tiga vendor yang ditunjuk oleh Kemensos untuk menyediakan bantuan Corona, salah satu milik anak buah Menteri Sosial Juliari Batubara, yakni Matheus Joko Santoso. Matheus Joko Santoso adalah PPK pengadaan bantuan Corona yang ditunjuk langsung oleh Juliari Batubara. Dalam kasus ini, ada 5 tersangka yang ditetapkan oleh KPK. KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing, masing-masing sejumlah sekitar Rp 11,9 miliar, sekitar USD 171,085 atau setara Rp 2,420 miliar, dan sekitar SGD 23.000 atau setara Rp 243 juta. Mensos Juliari Batubara disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. 

Joko Santoso dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terhadap tren persepsi publik tentang korupsi di Indonesia. Hasilnya, 45,6% responden menilai korupsi Indonesia meningkat dalam 2 tahun terakhir. Direktur LSI, Djayadi Hanan, mengatakan saat menampilkan pointer  tentang persepsi terhadap tingkat korupsi dalam 2 tahun terakhir. Dijelaskan, sebanyak 45,6% masyarakat menyatakan korupsi meningkat, 23% warga mengatakan korupsi menurun, dan sebanyak 30,4% menganggap korupsi tidak mengalami perubahan. Dia menambahkan tren masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam mencegah dan menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi menurun dalam 2 tahun terakhir. Pada pointer yang dibeberkannya, tren penilaian terhadap mencegah korupsi menurun dari 42,7% menjadi 28,3% (Desember 2018-Desember 2020). Sedangkan untuk tren penilaian menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi menurun dari 44,1% menjadi 22,2%.

Djayadi pun menjelaskan hasil survei penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam waktu 1 tahun terakhir. Pada bagian mencegah korupsi, dia menerangkan 28% masyarakat menganggap kinerja pemerintah dalam mencegah korupsi semakin baik. Lalu sebanyak 37% menganggap tidak mengalami perubahan dan 26% mengatakan semakin buruk. Sedangkan pada survei LSI terkait kinerja pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi, 22% mengatakan semakin baik, 43% menganggap tidak mengalami perubahan, dan 27% menyatakan semakin buruk. Djayadi mengatakan survei LSI ini dilakukan pada 29 November 2020 sampai 3 Desember 2020 dengan menggunakan 2.000 responden. Survei dilakukan dengan wawancara via telepon dengan estimasi margin of error sebesar 2,2% .

Korupsi masih terus terjadi meski dimasa pandemi, sistem demokrasi memberi jalan lebar penguasa untuk korupsi. Sistem politik demokrasi yg sangat mahal menjadi sumber masalah korupsi yang semakin mengakar. Asas untung rugi dalam sistem ini mendorong para pejabat untuk mencari dukungan kepada para pemodal hanya untuk mendapatkan kursi kekuasaan dan melakukan korupsi sebagai upaya pengembalian modal. Banyak celah bagi koruptor untuk lolos, hukuman bagi koruptor tidak menimbulkan efek jera dan kembali melakukan korupsi. Jika rakyat kecil yang bersalah maka hukum akan diterapkan dengan sangat ketat, tetapi jika para bejabat yang bersalah maka aturan hukum sangat ringan, mudah direkayasa, dipenjara seringkali ganjarannya tidak sesuai dengan jumlah uang yang dikorupsi.

Aturan yang berlaku adalah aturan buatan manusia dengan akal yang lemah, terbatas dan cenderung menggunakan hawa nafsunya untuk membuat kebijakan. Hukum yang dibuat akan membawa kepentingan bagi para pembuatnya, karenanya sistem demokrasi mustahil dapat menuntaskan kasus korupsi. Kasus korupsi hanya bisa di akhiri dengan sistem pemerintahan yang shahih yaitu dengan diterapkannya sistem Khilafah yang dibangun dari aqidah Islam, hukum berada di tangan Allah Swt. Yang terkandung dalam Al Qur'an dan al Hadits.

Khilafah adalah solusi memberantas korupsi, dengan beberapa upaya yang dilakukan, yaitu :

1. Teladan pemimpin, dengan takwa dan keimanan yang kokoh seorang pemimpin akan melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut melakukan penyimpangan, karena selalu merasa di awasi oleh Allah dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggung jawaban.

2. Larangan menerima suap dan hadiah, karena hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Nabi SAW berkata, "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran." (HR. Ahmad).

3. Sistem penggajian yang layak, yaitu dengan perhitungan tingkat kewajaran gaji pegawai dan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tersier. Sedangkan pendidikan, keamanan, kesehatan, infastruktur dll akan di gratiskan oleh pemerintahan khilafah serta kebutuhan pokok seperti sandang pangan dan papan bisa diperolah dengan harga yang murah. Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, "Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat."

4. Penerapan aturan haramnya korupsi. Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, yaitu tindakan penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah), sebab mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedangkan khianat bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang.

5. Sanksi atau hukuman yang keras, agar takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya, bila ditetapkan hukuman yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan dapat membuat efek jera agar tidak kembali melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta'zir (hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim) berupa tasyhir (pemberitahuan ke publik), penyitaan harta, hukuman penjara, rajam, cambuk, bahkan sampai hukuman mati. Berat atau ringannya hukuman ta'zir akan disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Dengan beberapa upaya ini maka Syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif), dan umat akan memperoleh keadilan dan kesejahteraan.