-->

IRONI PILKADA DI ERA REZIM MATI RASA

Oleh : Ummu Tsabita Nur

Penamabda.com - Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah situasi wabah Covid-19 sangat dikhawatirkan (banyak pihak) bisa berakibat fatal.  Tentu soal keselamatan jiwa masyarakat, peserta pemilu, dan juga penyelenggara pemilu yang bakal jadi taruhan.

Direktur Center for Media & Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto, yang secara eksplisit memaparkan risiko kematian massal yang akan terjadi, jika pilkada tetap dilanjutkan.

Bahkan menjadi ironi ketika  tidak sesuai antara hakikat demokrasi dengan hak mendapat kehidupan dan kesehatan untuk rakyat.

“Pilkada sebetulnya hanya instrumen memilih pemimpin yang nanti diharap menghadirkan kesejahteraan rakyat, melindungi segenap tumpah darah bangsa. Tapi menjadi ironi jika proses itu mengancam jiwa para pemilih. Pilkada ini bertentangan dengan kesejahteraan rakyat,” ungkapnya menyesalkan. (eramuslim.com).

Demokrasi, bermimpi sejahtera

Sebenarnya, ada atau tidak ada covid 19 sistem Demokrasi terus menjadi ironi di dunia ini. Bagaimana tidak, negri +62 sudah  berusia 75 tahun  lho ya. Sejahtera itu tak juga tampak batang hidungnya. 

Yang sejahtera paling-paling anak cucu pejabat yang berkuasa. Berikutnya centeng dan buzzer di sekelilingnya. Bahkan pendukungnya saja belum tentu bahagia. Makanya sempat hits tagar di linimassa bahwa pendukung rezim itu #purapurabahagia saja. Tapi entahlah.

Buat kaum muslimin Demokrasi bukan hanya tak bikin sejahtera. Bahkan sistem ini telah memaksa kita tunduk pada hukum selain Islam. Lihat saja bagaimana riba dan zina tak dimasalahkan di UU buatan manusia. Lihat saja orang miskin tak dipelihara oleh negara. Justru setiap kebijakannya cuma menguntungkan kaum oligarki yang berada di sisi para penguasa. SDA diobral dengan alasan investasi demi bangsa.

Apa masih percaya sama kampanye yang berbusa-busa? Kalau ujungnya, cuma dimanfaatkan suaranya. Lalu dilupakan setelah mereka duduk di singgasana. Apalagi rival yang ikut berlaga -yang sudah didukung para oposan-  malah nangkring menjadi hamba dan pengikut rezim yang setia.  Nyeri dan pahit rasanya bukan?

Bagi saya, sebagai muslim tak sudi berharap pada sistem bobrok ini. Tak mau dibohongi berkali-kali. Cukup kita sudahi ironi yang selalu tak habis dinyinyiri.  Rezim berganti, tetap saja mereka mati rasa atas nasib wong cilik.  Apalagi kenyataan itu berulang tiap 5 tahun di sini. 

Sedang di belahan bumi lain pun tak jauh beda. Sejahtera tak kunjung menyapa. Bahkan penjajahan dan pembunuhan manusia dibiarkan begitu saja. Lihat Palestina, Uighur atau Rohingya. Nyawa mereka seolah tak ada harganya. Negara-negara pro Demokrasi sering berpura-pura empati atas nestapa. Padahal aslinya tak perduli. Miris memang.

Lalu entah mengapa kita masih percaya sistem bobrok Demokrasi? 

Padahal Allah Swt telah berfirman :ۢ
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” 
(QS. Al An’am: 116)

Masih ada alternatif, habitat yang kondusif untuk muslim. Yakni  sistem ilahiyah, Khilafah.  Yang sudah terbukti begitu lama mampu menaungi dan mensejahterakan manusia. Bukan cuma yang muslim. Berdiri 13 abad, itu bukan waktu yang pendek. Sungguh tak bisa dinafikan betapa mulianya sistem ini. Insyaa Allah sejahtera bukan cuma mimpi []