-->

Penghapusan Syariat Islam Dibalik Larangan Sunat Perempuan

Oleh : Pahriah (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Sunat perempuan masih menjadi fenomena di tengah masyarakat saat ini. Begitu banyak perdebatan yang mengundang banyak polemik karena membenturkan sudut pandang yang berbeda, yaitu agama dan budaya dengan medis. Bahkan sunat perempuan ini di pahami dunia internasional sebagai pelanggaran HAM dan tidak berfaedah pada kesehatan bahkan membahayakan sehingga WHO dengan tegas menolak nya.

Tahun ini, PBB memfokuskan perayaan Hari Perempuan Internasional yang di peringati setiap tanggal 8 Maret, pada kesetaraan gender dan hak asasi manusia untuk semua perempuan dan anak perempuan. Tema peringatan tahun ini adalah: "I am Generation Equality: Realizing Women's Rights" atau "Saya Generasi Setara: Menyadari Hak Perempuan".

Tema ini sejalan dengan kampanye baru UN Women, Generation Equality. Dimana tema itu menandai peringatan 25 tahun Beijing Declaration and Platform for Action, peta panduan bagi pemberdayaan perempuan di seluruh dunia.

Saat ini, menurut United Nations Population Fund (UNFPA), lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang salah satu tugasnya menyelesaikan permasalahan sunat perempuan di dunia, terdapat sekitar 200 juta perempuan yang telah disunat. Sebagian besar perempuan tersebut berada di Benua Afrika dan area Timur Tengah. Namun, di beberapa negara Asia, Eropa Timur, dan Amerika Selatan, praktik yang bisa disebut sebagai Female Genital Mutilation (FGM) ini juga masih dilakukan.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? 
Bersamaan dengan peringatan Hari Internasional Tidak Ada Toleransi bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (International Day Zero of Tolerance for Female Genital Mutilation) pada tanggal 6 Februari, Indonesia tercatat sebagai negara dengan praktik sunat perempuan tinggi.

Mengutip data UNICEF 2016, Indonesia berada di peringkat ketiga praktik sunat perempuan di dunia, setelah Mesir dan Etiopia. Data ini diungkap oleh Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu dalam acara diskusi "Membedah Mitos dan Fakta Tentang Sunat Perempuan" di UGM Yogyakarta, Kamis (06/02/2020).

"Menurut laporan tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di Indonesia dipaksa mengalami praktik yang melanggar hak perempuan atas kesehatan, keamanan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan itu.

Upaya Penghapusan Syariat Islam

PBB menjadikan Female Genital Mutilation (FGM) sebagai masalah global, karena komunitas migran membawa praktik tradisional ini di negara-negara Barat. WHO memperkuat kampanye itu dengan menyatakan FGM tidak dapat dibenarkan secara medis dan bisa menimbulkan konsekuensi fisik, psikologis dan sosial jangka panjang.

Penamaan sunat perempuan dengan FGM sangatlah tendensius, apalagi FGM didefinisikan sebagai “semua prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau keseluruhan genitalia eksterna wanita atau cedera lain pada organ genital wanita karena alasan non-medis.”

Dan kekeliruan menyamakan sunat perempuan dengan FGM makin jelas bila melihat klasifikasi FGM menurut WHO, yang membagi menjadi empat jenis berdasarkan tingkat pemotongan organ genital perempuan yakni: Pertama, Clitoridectomy yaitu pemotongan kulit di sekitar klitoris (kulup), dengan atau tanpa mengiris/menggores bagian atau seluruh klitoris atau khitan secara simboleis. Kedua, Eksisi yaitu berupa pemotongan klitoris disertai pemotongan sebagian atau seluruh bibir kecil kemaluan (labia minora). Ketiga, Infibulation yaitu berupa pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin luar disertai penjahitan/penyempitan lubang vagina (infibulasi). Ke empat, yaitu segala macam prosedur yang dilakukan pada genital untuk tujuan non-medis, penusukkan, perlubangan, atau pengirisan/penggoresan terhadap klitoris.

Pada faktanya memang ada praktik FGM yang benar-benar membahayakan, seperti infibulation, yang merupakan bentuk FGM paling parah, yang dilakukan di wilayah timur laut Afrika: Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Somalia, dan Sudan dan Afrika Barat (Guinea, Mali, Burkina Faso, dan lain-lain). Seharus nya praktik-praktik berbahaya seperti ini lah yang harus dilarang dan bukan sunat perempuan.

Namun sayangnya, praktik sunat perempuan yang merupakan ajaran agama (Islam), dinafikan dengan mengatakan FGM lebih merupakan praktik budaya, yang berakar pada ketimpangan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Semestinya ketika FGM bukan karena agama, maka sunat perempuan yang diperintahkan Islam seharusnya tidak dilarang, karena praktiknya jelas sangat berbeda dengan FGM.

Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan khifadh.

Khitan bermula dari ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada seorangpun yang berkhitan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, bahwa Nabi Saw. bersabda : “Ibrahim berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.Setelah Nabi Ibrahim, tradisi dan sunnah khitan berlanjut bagi semua rasul dan para pengikut mereka.

Dari Abu Hurairah Ra : Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda : " Fitrah itu ada lima : khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Hajjaj dari Abi Malih bin Usamah dari ayah nya, bahwa Nabi Saw bersabda : "Khitan itu sunnah untuk laki-laki dan kehormatan/dianggap baik untuk wanita." (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Para ulama berselisih dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat. Pendapat Pertama : Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat ini merupakan mazhab Syafi`iyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah rahimahullah, dan dari ulama terkemuka dewasa ini, seperti pendapat Syaikh al Albani. Pendapat Kedua : Khitan itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan mazhab Hanafiyah, pendapat Imam Malik dan Ahmad rahimahullah. Pendapat Ketiga : Khitan wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita. Pendapat ini merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad, sebagian Malikiyah dan Zhahiriyah rahimahullah.

Layaknya tindakan sunat pada laki-laki, sunat perempuan juga bermaksud mencegah penumpukan smegma atau kotoran berwarna putih di klitoris. Selain itu, tindakan sunat pada perempuan juga bertujuan menstabilkan syahwat dan memuaskan pasangan.

Sunat perempuan dilakukan dengan metode sederhana, hanya melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril. Jadi, bukan merusak atau menyebabkan perubahan pada vagina. Dimana,  sunat pada perempuan menurut syariat Islam hanyalah mengambil kulit penutup klitoris, dan bukan memotong batang klitoris atau jaringan lain di area genital perempuan yang membahayakan.

Jadi jelas bahwa sunat pada perempuan menurut syariat Islam berbeda fakta nya  dengan sunat Female Genital Mutilation (FGM) yang dilarang oleh WHO.

Sunat perempuan adalah termasuk bagian dari syariat Islam. Hukum sunat bagi perempuan adalah diperintahkan. Sebagian ulama mewajibkannya, sebagian hanya menganggapnya sunnah yang itu berarti tidak di temukan adanya pengharaman terhadap praktik sunat perempuan. Seorang muslim wajib meyakini bahwa sunat adalah bagian syariat Islam sehingga tidak boleh melakukan pelarangan terhadap praktik sunat perempuan. Islam bahkan memiliki aturan rinci terkait dengan sunat perempuan, baik status hukumnya, teknis hingga kapan boleh dilakukan dan siapa yang melakukannya.

Justru seharus nya yang di larang dan di tentang adalah praktik sunat yang bertentangan dengan syariat seperti praktik sunat yang digambarkan barat. Bagaimana gambaran barat terhadap sunat perempuan terlalu berlebihan. Hal ini menggiring opini banyak orang bahwa sunat adalah tradisi barbar dan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

Begitu terlihat  aroma kebencian terhadap Islam, dengan alasan pelarangan sunat perempuan makin tak terbantahkan ketika persoalan ini diangkat dengan sudut pandang hak asasi manusia. Islam dianggap “memaksa” melakukan sunat perempuan atas alasan ibadah. Apalagi jika dipandang dengan sudut hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, aturan Islam ini dianggap mencederai perwujudannya, yang kemudian akan menghalangi tercapainya kesetaraan gender.

Sejatinya inilah yang mereka inginkan, menjadikan generasi muslim khusus nya perempuan membenci ajaran islam dan hidup dengan gaya hidup Barat.

Barat telah menyebarkan ide-ide sesat dalam kemasan perlindungan perempuan dan memenuhi hak-hak perempuan. Padahal semua itu jelas racun yang merusak kemuliaan muslimah. Alih-alih melindungi perempuan, justru merusak harkat martabat perempuan sekaligus menjauhkan umat dari aturan Allah.

Penerapan semua sistem kehidupan berdasarkan aturan Islam itu akan menjadi cara efektif untuk menghapuskan semua bentuk kekerasan, baik yang menyasar perempuan maupun laki-laki. Semua itu dapat diwujudkan dengan tegak nya islam di muka bumi ini.

Wallahu'alam bishawab.