-->

Lemahnya Hukum bagi Penguasa Negeri

Oleh: Ummu Alkhalifi (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Penamabda.com - Dilansir dari tirto.id (25/7/20), Djoko Soegiarto Tjandra  namanya yang telah dikenal tersebut, merupakan salah satu pendiri Mulia Group. Yaitu gergasi property yang memiliki banyak aset hotel dan gedung - gedung pencakar langit di Jakarta, yang selama 11 tahun ini telah menjadi seorang buronan, hingga saat ini terus mendapat pengawasan.

Djoko Tjandra terdaftar sebagai pemilik perusahaan cangkang Shinc Holdings Limited di Yurisdiksi British Virgin Islands, sejak 11 Mei 2001 hingga 2012. Kepemilikannya telah diteruskan oleh kedua anaknya, Jocelyne Soegiarto Tjandra dan Joanne Seogiarta Tjandranegara. Hingga saat ini pun perusahaan cangkang tersebut masih aktif. Di perusahaan yang alamatnya sama dengan Mossack Fonseca di Panama ini, Djoko dan kedua putrinya dari hasil pernikahan dengan Anna Boentaran, mencatatkan alamat rumah di Jalan Simprung Golf Kaveling 89 RT 3/RW 8, Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Alamat itu digunakan Djoko untuk membuat KTP Elektronik yang belakangan ini menunjukkan kehadirannya kembali di Indonesia.

Kini yang menjadi banyaknya pertanyaan diberbagai kalangan, lolosnya koruptor Djoko Tjandra dari kejaran aparat hukum. Dimana kelolosannya lebih dari karut-marutnya sistem administrasi dan hukum di dalam negeri ini. Atau apakah memang ada unsur kesengajaan dalam kelolosan koruptor tersebut?

Seharusnya mendeteksi seorang buron yang masuk ke dalam wilayah negara adalah suatu hal yang mudah. Namun tidak dengan apa yang terjadi di Indonesia. Dengan mudahnya seorang buronan Djoko Tjandra memproses pembuatan KTP elektronik dan paspor di Indonesia. 

Sementara telah kita ketahui selama ini bahwa hukum hanya tajam kepada rakyat kecil. Bahkan ketidak adilan seringkali diberlakukan, berbeda halnya dengan kuasa korporasi telah mengendalikan para pejabat di semua lini dan lembaga sendiri mandul akan sanksi. 

Semakin jelas, bahwa demokrasi yang terus saja meniscayakan bahwa hukum dapat diperjualbelikan tergantung kesepakatan dan keuntungan bersama yang ingin diraih. Begitulah Demokrasi, yang berkuasa bukanlah hukum, apalagi kedaulatan rakyat, tapi kekuatan politik dan uang semata.

Beginilah jadinya ketika manusia tidak mengambil peran Allah subhanahu wa ta'ala sebagai pembuat hukum. Keadilan yang diberikan hanya halusinasi, apalagi kesejahteraan yang dijanjikan kepada rakyat pun hanyalah sebuah ilusi. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan Indonesia dari genggaman oligarki, kecuali apabila umat Islam bersatu padu kembali menerapkan syariat Islam secara kafah (menyeluruh).

Dalam Islam hukuman bagi seorang koruptor adalah dengan menetapkan sanksi yang keras dan tegas bagi pelaku korupsi sebagai upaya kuratif. Karena korupsi dalam Islam merupakan suatu perbuatan dosa besar. Korupsi juga menjadi penyebab dari kehinaan serta siksa api neraka di hari kiamat.

Pada hadis Ubadah bin ash Shamit Radhyyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda, “(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya”.

Sedangkan sanksi yang diberlakukan bagi pelaksana korupsi oleh negara, terdapat beberapa perbedaan di kalangan ulama. Ada yang memberikan hukuman potong tangan layaknya seorang pencuri, dimiskinkan yaitu dengan mengambil harta kekayaan yang dimilikinya. Dan bahkan ada yang menyatakan harus diberikan hukuman mati. Maka sanksi yang pasti akan diputuskan oleh qodhi dalam sistem Islam sesuai dengan ijtihadnya.

Dengan diberlakukan sanksi ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera dan mencegah bagi calon pelaku yang lain. Karena sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (Jawazir) dan sekaligus sebagai penebus dosa (jawabir). Dengan sanksi yang memberikan efek jera ini maka korupsi bisa diakhiri bukan malah sebaliknya seperti saat ini menjamur dan menjadi budaya yang digemari.

Dengan berhukum pada hukum-hukum Allah secara totalitas adalah bukti keimanan dan wujud ketakwaan umat Islam yang sebenarnya. Inilah yang akan mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan kepada umat manusia. Dengan berasaskan keimanan dan hukum Allah inilah akan melahirkan sosok-sosok pemimpin dan pejabat sebagaimana pada masa kekhilafahan Islam.