-->

Jika Butuh Asing, Bukan Mandiri Namun Bunuh Diri

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban) 

Penamabda.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan, sektor swasta memiliki peranan sangat penting dalam pemulihan ekonomi Indonesia.  Apabila mereka tidak pulih, sulit rasanya bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit dari tekanan pandemi Covid-19 ( Republika.co.id, 29/7/2020).

Sri Mulyani  mengatakan, belanja pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya berkontribusi 16 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, sebagian besar perekonomian didorong oleh swasta dan konsumsi masyarakat.

"Nggak mungkin ekonomi bangkit tanpa sektor swasta, korporasi, juga bangkit lagi," tuturnya dalam Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama dan Nota Kesepahaman untuk Program Penjaminan Pemerintah Kepada Korporasi Padat Karya dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. 

Dengan krusialnya sektor swasta, Sri menjelaskan, pemerintah berupaya terus memberikan katalisator. Salah satunya melalui penjaminan kredit modal kerja 60 persen hingga 80 persen terhadap perbankan yang menyalurkan kredit ke dunia usaha, terutama sektor padat karya. Besaran tambahan kredit modal kerja yang dijamin bernilai antara Rp 10 miliar hingga Rp 1 triliun.

Sebelumnya, pemerintah sudah terlebih dahulu memberikan penjaminan kredit modal kerja untuk UMKM dengan kredit di bawah Rp 10 miliar.

Di sisi lain, pemerintah juga menanggung pembayaran imbal jasa penjaminan (IJP) sebesar 100 persen atas kredit modal kerja sampai dengan Rp 300 miliar. Untuk plafon Rp 300 miliar sampai Rp 1 triliun, pemerintah menanggung 50 persen. IJP disediakan dalam bentuk subsidi, sehingga tidak membebani pelaku usaha.

Pemerintah juga sudah menempatkan dana Rp 30 triliun di Himpunan Bank Negara (Himbara) dan Rp 11 triliun di tujuh Bank Pembangunan Daerah (BPD). Tujuannya, proses penyaluran kredit terus berjalan dan mendukung pemulihan sektor riil tanpa harus membebani perbankan terlalu berat.

Ironinya, pemerintah mewacanakan ada instrumen penempatan dana dengan suku bunga murah jilid ketiga. "Ini untuk meyakinkan, amunisi perbankan cukup, likuiditas ada," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Jika memang teori menteri ekonomi ini benar, maka apakah sudah pernah ada bukti bahwa ekonomi pulih dengan banyaknya swasta yang campur tangan? Jika benar pulih mengapa menteri Keuangan Sri Mulyani masih takut adanya resesi yang membayang, mengapa mencuat wacana Redenominasi Rupiah? Mengapa APBN selalu defisit? Mengapa rakyat Indonesia masih tak sejahtera, mengapa kesenjangan kian lebar antara si kaya dan si miskin? Mengapa angka pengangguran semakin bertambah?

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa? Sebab, solusi yang ditawarkan bukan solusi yang hakiki. Hal ini terjadi sebab arah pandang pemerintah bukan sebagai Ra'in atau pelayan umat. Pemerintah dalam setiap kebijakannya berdiri sebagai perantara antara rakyat dengan pengusaha. Orientasi keuntungan, laba dan profit semata yang menjadi hasil akhirnya. 

Dan parahnya seluruh penyelesaian persoalan rakyat diberikan kepada swasta yang notabene tak pernah peduli apa yang dibutuhkan rakyat.  Inilah bukti bahwa negeri ini bergantung pada swasta alias para kapitalis. Wajar jika banyak kebijakan disahkan lebih menguntungkan kepentingan kapitalis daripada rakyat. Bagaimana bisa berdikari, jika terus bergantung pada para kapital?

Sementara sepanjang sejarah ketika kaum Muslim diperintah dalam sebuah negara adidaya yang menerapkan syariat tak pernah membenarkan bekerja sama dengan swasta, terutama dengan negara yang jelas-jelas memusuhi Islam. Seluruh pembiayaan operasional negara dan pemenuhan kesejahteraan rakyat disokong oleh Baitul Maal. Dan bukan bergantung pada negara asing ( korporasi) itu artinya sama saja dengan bunuh diri. 

Perekonomian ditegakkan atas muamalah yang real, sebab tak dibenarkan berdasar riba, pajak dan pinalti.  Hal inilah yang menyebabkan negara bergantung kepada perintah negara lain, didikte dan dikuasai lebih dalam lagi hingga bisa disebut neoimperialisme. Penjajahan gaya baru yang tidak mengangkat senjata namun membuat ambruk perekonomian negara lain (terutama muslim) dengan jerat hutang yang tak berkesudahan.  Lantas darimana bisa meraih kesejahteraan jika terabaikan? Saatnya kembali pada pengaturan Islam . 

Wallahu a' lam bish showab