-->

Benarkah Kemiskinan Sumber Persoalan?

Oleh : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)

Penamabda.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Efendi, kembali menjadi sorotan. Pasalnya, beliau kembali menyinggung terkait jumlah keluarga miskin di Indonesia dengan kalimat tuduhan tanpa diiringi dengan solusi yang tepat. 

"Sesama keluarga miskin besanan, kemudian lahirlah keluarga miskin baru," kata Muhadjir dalam acara webinar Kongres Wanita Indonesia (Kowani) di Jakarta yang dikutip pada Rabu, 5 Agustus 2020. (viva.co.id, 5/8/2020)

Tentu saja kalimat ini sangat menyakiti hati masyarakat. Alih-alih memberikan solusi atas  persoalan tingginya angka  kemiskinan di negeri ini, malah menyampaikan ucapan yang menyinggung. Tak pantas ucapan tuduhan seperti itu terlontar dari seorang menteri yang notabene diharapkan sebagai pemberi solusi problematika.

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019. (bps.go.id, 15/7/2020)

Peningkatan ini utamanya disebabkan adanya  kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala  Besar) yang diberlakukan saat Pandemi Covid 19. Aktivitas perekonomian menjadi terganggu sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. Terlebih kebijakan PSBB ini tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat tanpa memandang status sosial.  Lockdown versi ekonomis ini pun bukannya mampu mengatasi pandemi covid 19, justru malah menimbulkan berbagai persoalan baru di masyarakat. Kemiskinan salah satunya. 

Persoalan kemiskinan yang mendera negeri ini, semestinya menjadi tamparan penguasa. Harus segera dicari akar permasalahannya dan solusi yang tepat. Agar persoalan ini tidak merembet pada persoalan baru yang lebih kompleks. Stunting misalnya. 

Pada Negara Korporasi, status kaya dan miskin hanyalah tertera pada angka-angka statistik. Pasalnya, negara tidaklah benar-benar berupaya menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sebaliknya, negara justru bertindak sebagai penjual bukan pelayan masyarakat. Segala kebijakan yang dikeluarkan negara diperhitungkan untung ruginya. Tentu saja keuntungan hanya mengalir pada segelintir orang yang berada pada tampuk kekuasaan dan pengusaha. Sehingga gap si kaya dan si miskin semakin menjulang tinggi. 

Saat Pandemi Covid 19 terus mengganas, negara tanpa segan menaikkan tarif BPJS hampir 100 % per 1 Juli 2020. Pun dengan  tarif listrik dimana kompensasi pembayaran tidak sampai menyentuh angka 50 % dari total pelanggan. 

Lalu setelah semua yang dilakukan oleh penguasa negeri korporasi ini, pantaskah tuduhan pernikahan sesama keluarga miskin sebagai penyumbang utama meningkatnya angka kemiskinan ? Ibarat pepatah, lempar batu sembunyi tangan. 

Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak.

Setiap individu muslim (laki-laki baligh) diwajibkan bekerja mencari nafkah untuk keluarga dan yang menjadi tanggungannya.  Tidak diperbolehkan berputus asa dari rizki dan rahmat Allah SWT. 

Diperintahkan pula sebagai masyarakat untuk peduli dengan saudaranya. Kiranya ada yang kekurangan dari segi perekonomian maka dengan ikhlas segera membantu. 

Penguasa negeri pun  harus turut andil menyelesaikan persoalan kemiskinan.  Sebab penguasa bertanggungjawab atas seluruh rakyat yang dipimpinnya, termasuk menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. 

Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.

Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Nampak sekali perbedaan Negara Korporasi dan Islam dalam mengatasi kemiskinan. Tak ada tuduhan atau saling melempar kesalahan. Semua elemen umat bersama penguasa bahu-membahu mengatasi kemiskinan. Untuk itu, masihkah ragu dengan Islam?