-->

Potong Anggaran, Bukti Kurang Empati Pemerintah Terhadap Pendidikan

Oleh : Ashima Adzifa (mahasiswi malang raya)

Penamabda.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menghentikan tunjangan profesi guru PNS maupun non-PNS. Pemberhentian ini berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud nomor 6 tahun 2020.

Dalam aturan tersebut, dipasal 6 tercantum tunjangan profesi ini dikecualikan bagi guru bukan PNS yang yang bertugas di satuan pendidikan kerja sama (SPK). 

SPK sendiri merupakan satuan pendidikan yang diselenggarakan atau dikelola atas dasar kerja sama antara Lembaga Pendidikan Asing (LPA) yang terakreditasi atau diakui di negaranya dengan Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI) pada jalur formal atau nonformal yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam lampiran Perpes 54/2020 tunjangan guru dipotong setidaknya pada tiga komponen. Yakni tunjangan profesi guru PNS daerah, semula Rp.53,8 T menjadi Rp. 50,8 T. Selain itu tambahan penghasilan guru PNS daerah, semula Rp.53,8 T menjadi Rp50,8 T, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp.698,3 T menjadi Rp.454,2 T.

Hal ini tentu menuai keluhan para guru, mereka beranggapan bahwa hal ini bertentangan dengan UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Secara  jelas tertulis bahwa guru dan dosen yang sudah memiliki sertifikat profesi dan diangkat oleh penyelenggara pendidikan berhak atas tunjangan. 

Terlebih pada masa pandemi ini banyak guru yang harus mengeluarkan biaya lebih untuk dapat mengajar anak didik mereka melalui sambungan internet. Bahkan tak jarang yang rela membelikan kuota atau pulsa atau berpindah dari satu rumah ke rumah muridnya karena tak jarang adanya siswa yang masih belum mempunyai smartphone.

Selain pada tunjangan guru, pemotongan anggaran di sektor pendidikan juga dilakukan pemerintah terhadap dana Bantuan operasional Sekolah (BOS), bantuan operasional penyelenggaraan PAUD, bantuan operasional pendidikan kesetaraan, serta bantuan operasional museum dan taman budaya. Dana BOS dipotong dari semula Rp54,3 triliun menjadi Rp53,4 triliun, bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) PAUD dipotong dari Rp4,475 triliun menjadi Rp4,014 triliun, lalu bantuan operasional pendidikan kesetaraan dipotong dari Rp1,477 triliun menjadi Rp1,195 triliun. Di sisi lain, anggaran Kemendikbud yang lebih dari Rp70,7 triliun tidak banyak berubah.

Ditambah banyaknya fakta yang menunjukkan kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pendidikan seperti kurang meratanya sarana prasarana pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, dan kurikulum yang masih berantakan. Ini semakin menunjukkan kurang keberpihakan pemerintah sebagai penyedia sekaligus penyelenggara pendidikan sesuai dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Dari sini seharusnya pemerintah tetap mengupayakan pendidikan yang terbaik meskipun ditengah pandemi ini, bukan malah sebaliknya memotong anggaran yang dapat mengakibatkan penurunan mutu pendidikan.

Hal ini sangat berbading terbalik dengan apa yang dilakukan kholifah Umar ibn Khattab radhiallahu ‘anhu pada masa kepemimpinannya. ia sangat memperhatikan mutu pendidikan bagi generasi Muslim. Salah satu langkah yang diambil Khalifah Umar ialah menetapkan gaji bagi setiap pengajar sebanyak 15 dinar setiap bulan. Ini merupakan angka yang fantastis. Jika dikonversikan 1 dinar setara dengan  Rp 2.258.000,-. Artinya, pada masa khalifah Umar, gaji guru mencapai Rp 33.870.000,-. Ini menunujukkan bagaimana besarnya keberpihakan Islam terhadap pendidikan.

Bagaimana Islam mengatur APBN dalam keadaan bencana (pandemi)

Alih alih memotong anggaran, didalam Islam, pengeluaran darurat / bencana alam (ath-Thawwari) mempunyai seksinya sendiri. Seksi ini khusus untuk memberikan bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat/bencana mendadak yang menimpa mereka, seperti gempa bumi, angina topan, kelaparan, dan bencana lainnya. Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj, serta dari (harta) pemilikan umum yang dikelola oleh baitul mal. Apabila tidak ada harta didalam kedua pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari kaum muslim (sumbangan sukarela atau pajak). Jika masih belum mencukupi maka bisa ditambah dengan utang tanpa bunga kepada orang kaya. 

Namun solusi ini hanya dapat diterapkan pada sistem yang bertumpu pada Al-qur’an dan As-sunnah. Itulah sistem Islam yang diterapkan dalam institusi pemerintahan Islam, yaitu khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.