-->

Mewaspadai 'Penumpang Gelap' di Balik Polemik RUU HIP

Oleh: Anita S, S.Pd

Penamabda.com - Selasa, 12 Mei 2020 RUU Haluan Ideologi Pancasila disepakati untuk untuk dibahas menjadi RUU inisiatif DPR (Warta Ekonomi.co.id, 17/06/2020). RUU ini menuai kritikan, hujatan, bahkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan maklumat penolakan RUU HIP pada tanggal 12 Juni 2020 karena dinilai mendegradasi Pancasila menjadi ekasila. Pada 2 Juni 2020, FPI bersama BNPF Ulama dan PA 212 membuat surat pernyataan menolak RUU HIP lantaran berpotensi memicu kebangkitan komunisme (Warta Ekonomi.co.id, 17/06/2020). Senada dengan MUI, FPI, dan BNPF,  Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Dadang Kahmad meminta agar RUU HIP dibatalkan (bbc.com, 30/06/2020).

Ormas Islam terbesar di Indonesia juga tak sepakat dengan lahirnya RUU HIP ini. Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta DPR untuk mengevaluasi kembali rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) (Tirto.id, 12/06/2020).  

Tak hanya dari kalangan umat Islam dan komunitas umat Islam, RUU HIP juga di tolak oleh Partai Nasional. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan partainya menolak rancangan undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). AHY menyampaikan sikap Demokrat senada dengan PBNU soal RUU HIP. Mereka enggan mendukung RUU itu karena kontroversi sekaligus mengancam fondasi kehidupan bersangsa (CNN.Nasional.com, 22/06/2020).

Pasal-pasal Kontroversial dalam RUU HIP

Secara umum rancangan undang-undang Haluan Ideologi Pancasila  memuat 10 bab yang terdiri dari 60 pasal. Berikut rinciannya; Ketentuan Umum (memuat 1 pasal), Haluan Ideologi Pancasila (memuat 5 bagian dan 17 pasal), Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional (memuat 15 pasal), Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (memuat 3 pasal), Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Sistem Nasional Kependudukan dan Keluarga (memuat 3 pasal), Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila (memuat 3 bagian dan 15 pasal), partisipasi masyarakat (memuat 1 pasal), pendanaan ( memuat 1 pasal), ketentuan peralihan (memuat 1 pasal), ketentuan penutup (memuat 3 pasal).

Dari pasal-pasal tersebut yang menjadi polemik adalah konsep trisila dan ekasila yang termaktub dalam bab II pasal 7 yang berbunyi:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri pokok pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila yaitu gotong royong.
(Kompas.com, 25/06/2020)

Banyak pihak melolak pemerasan Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yaitu gotong royong. Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan bahwa menjadikan keadilan sosial sebagai pokok Pancasila telah mendistorsi makna Pancasila yang terdiri dari lima pokok (dasar), dan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” dari sila-sila Pancasila. Jika mau mengambil satu sila, kata dia, seharusnya cukup merujuk Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ada dalam dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Oleh karena itu wajar jika terjadi memunculkan perdebatan, resistensi, penolakan dari berbagai kalangan. Zuhro beranggapan ada kekhawatin yang sangat beralasan, RUU HIP merupakan agenda menghidupkan kembali ajaran komunisme.  Terutama dengan sama sekali tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966. Sementara seluruh Ketetapan MPR yang lainnya dirujuk sebagai dasar penyusunan RI dan hanya menjadikan Keadilan Sosial sebagai esensi pokok dari Pancasila (Republika.co.id, 14/06/2020)

Nuansa Politik RUU HIP

RUU yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia ini bisa dipahami sebagai RUU yang kental nuansa politiknya. Memeras Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila secara implisit akan mengaburkan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan menurut ketua MUI Din Syamsuddin, "Secara terselubung [seperti] ingin melumpuhkan sila pertama, serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (CNN Nasional.com, 13/06/2020).

Lebih lanjut jika RUU HIP ini sama sekali tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan penyebaran ajaran-ajaran komunisme, Leninisme, dan Marxisme,. Hal ini memperkuat alasan penolakan RUU ini oleh sebagian besar elemen masyarakat, sebab berpotensi untuk memberi ruang bangkitnya kembali komunisme dan  Partai Komunis Indonesia.

Beragama Fitrah Manusia

Penolakan PBNU, Muhammadiyah,  dan beberapa komunitas umat Islam terhadap RUU HIP  mewakili suara sebagian besar umat Islam. Umat Islam adalah pihak yang paling banyak tersakiti oleh kekejaman aksi Partai Komunis Indonesia di masa lalu. Oleh karena itu sangat wajar jika mereka cukup sensitif pada upaya untuk mengaburkan sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan beragama di Indonesia.

Beragama merupakan sesuatu yang fitrah pada diri manusia. Beragama merupakan Naluri yang mengagungkan atau mentaqdiskan sesuatu yang lebih dari dirinya. Menafikkannya sama saja dengan mengantarkan manusia kepada jurang kehancuran.

Islam adalah sebuah agama yang memiliki konsep ruhiyah dan sisasiyah. Meski bersumber dari wahyu, Islam  tidak memaksakan warga negaranya untuk memeluk agama Islam. Aturan Islam melindungi hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. 

Selama berabad-abad lamanya tercatat, berbagai macam pemeluk agama mampu hidup berdampingan di dalam kekhilafahan Islam. Mereka bahu membahu dan bekerjasama untuk memajukan negara dari berbagai macam aspek. Kesesuaian aturan Islam dengan fitrah manusia dan kesempurnaan aturannya telah menjadikan negeri-negeri yang ada di bawah naungan Kekhalifahan Islamiyah menjadi negeri yang aman, tentram, dan makmur sebagaimana Firman Allah SWT.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96).