-->

Jangan Campakkan Khilafah dan Jihad

Oleh : Fadila, S.Pi. (Aktivis Muslimah Papua Barat)

Penamabda.com - Nampaknya polemik khilafah dan jihad sebagai mata pelajaran di MTs (madrasah tsanawiyah) atau belum juga usai. Setelah terkabar Desember 2019 lalu Menag (mentri agama) akan menghapus mata pelajaran khilafah dan jihad sebagai mata pelajaran di madrasah yang diatur dalam SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI (Republika.co.id, 7/12/2019).  

Kini Juli 2020 mencuat lagi kabar Menag akan mengubah mata pelajaran khilafah dan jihad menjadi mata pelajaran islam wasatiyah. Tentu saja hal ini menjadi polemik ditengah-tengah publik. Dilansir dari situs Makassar.terkini.id (2/7/2020), Mentri Agama (Menag), Fachrul Razi menyampaikan bahwa 155 buku pelajaran agama islam yang dianggap mengandung konten radikal telah dihapus oleh Menag. Akan tetapi materi khilafah dan nasionalisme masih tetap ada pada buku-buku tersebut.

Penghapusan 155 buku pelajaran islam yang telah direview dengan konten yang bermuatan radikal dan ekslusivis adalah sebagai bagian dari program penguatan moderasi beragama. Menag menyampaikan moderasi beragama harus dibangun dari sekolah. 

Moderasi agama yang dimaksud adalah jalan tengah dalam mengedepankan keadilan, dimana beragama atau berperilaku sesuai dengan porsi yang telah ada. Istilah moderat atau Jalan tengah telah muncul ketika terjadi konflik antara pihak pemuka agama dengan para filosof dan juga cendikiawan, sebagian mereka (filosof dan cendikiawan) mengingkari adanya agama secara mutlak dan sebagian lainnya mengakui adanya agama namun menyerukan untuk dipisahkan dari kehidupan, ditengah pergolakan sengit tersebut akhirnya bersepakat antara pemuka agama dengan filosof dan para cendikiawan untuk berkompromi bahwa agama tetap ada namun dipisahkan dari urusan kehidupan (Syekh Taqiyuddin an-Nahbani, Kitab Nidzom Islam, hal 51-52). 
 
Khilafah dan Jihad Tak Patut Dihapus

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pendidikan. Sehingga dalam dunia pendidikan pondasi akidah adalah hal yang pertama dibangun. Sebab aqidah adalah dasar seseorang bisa melakukan segala aktivitasnya sesuai dengan perintah dan larangan penciptanya yakni Allah SWT. 

Tujuan pendidikan adalah untuk mencetak generasi yang beriman dan bertakwa, bisa dibayangkan ketika mata pelajaran khilafah dan jihad dihapus dari MTs. Tentu akan menjauhkan generasi umat muslim terhadap ajarannya sendiri. Bahkan akan menjadikan umat phobia atas agamanya sendiri.  

Sebagai seorang muslim tentu pendidikan khilafah dan jihad sangat penting untuk dipelajari. Sebab khilafah dan jihad adalah ajaran islam. Islam bukan cuma sebatas agama ritual, melainkan juga sebagai sebuah aturan kehidupan yang berasal dari pencipta alam semesta yakni Allah SWT. Yang sudah pasti terkandung nilai-nilai keadilan didalamnya. Sehingga tidak tepat jika mengambil jalan tengah atau kompromi yang meniadakan sistem agama dalam hal ini islam sebagai aturan dalam kehidupan.  

Tentu kehidupan yang berjalan dengan sistem buatan manusia seperti sekulerisme kapitalistik, akan menghilangkan segala hal yang bisa mengganggu eksistensi mereka dalam melanggengkan keberadaannya ditengah-tengah umat untuk senantiasa mencapai keuntungan.

Upaya penghapusan mata pelajaran khilafah dan jihad di MTs merupakan penyesatan yang sistematis terhadap ajaran islam. Khilafah dan jihad menjadi ketakutan tersendiri bagi mereka rezim yang tidak ingin kepentingannya diusik dan diatur oleh aturan islam yang berasal dari Allah SWT sebagai pencipta alam semesta berserta seperangkat aturan yang ada didalam Al-Qur’an dan Sunnah. 

Maka kebijakan Menag ini akan menghasilkan kurikulum pendidikan yang anti dengan islam. Bahkan akan mengarahkan generasi bangsa untuk mengganti islam dengan sistem buatan manusia seperti sekularisme kapitalisme dan lain-lain. 

Jejak-Jejak Kekhilafahan

Sayang seribu sayang jejak khilafah di nusantara sepertinya telah dilupakan, padahal nusantara dan kekhilafahan sangatlah erat kaitannya. Di Pulau Jawa sendiri tentu Wali Songo sudah tidak asing di telinga. Ibnu Bathuta dalam kitabnya Kanzul Hum, Wali Songo adalah utusan Sultan Muhammad I dari kekhilafahan Turki Utsmani. 

Pengutusan tersebut tidak lain adalah untuk menyebarkan harumnya aroma islam sebagai rahmat seluruh alam melalui jalan dakwah sekitar Tahun 1404 M. Bahkan berhasilnya dakwah membangun kekuatan politik islam berupa kesultanan, bahkan kesultananlah yang berperan besar dalam mengusir penjajah. 
Begitu juga dengan Aceh yang disebut sebagai Serambi Mekah, tentu hal ini tidak hanya disematkan begitu saja melainkan karena Aceh begitu kental dengan aturan islam meski belum menyeluruh. Bahkan Aceh pernah mendapat bantuan khusus dari Khilafah Utsmani dalam melawan penjajahan yang dilakukan oleh pihak Belanda (Baca Mustahil Hapus Jejak Khilafah di Nusantara, Voa-islam.com).   

Begitu juga dengan di Pulau Sulawesi Tenggara, terdapat jejak-jejak kekhilafahan disana. Disadur dari buku Negeri Khalifatul Khamis (Jejak Kesultanan Buton), bahwa Syekh Abdul Wahid, Syarif Arab yang diutus oleh khalifah pada masa Utsmaniyah untuk melakukan kontak dengan Raja Buton, Lakilaponto. 

Tentu pengutusan ini tidak lain adalah untuk menyebarkan dakwah islam pula. Sejak masuknya dakwah islam yang dibawa oleh Syekh Abdul Wahid, seketika kesultanan buton akhirnya menerapkan hukum-hukum berdasarkan islam, baik dalam segi pemerintahannya maupun dalam masyarakat dan juga lingkungan keluarga. Bahkan di tanah Kesultanan Buton ini memiliki Motto Kabarakatina Tanah Wolio yang artinya Keberkahan Tanah Buton. Mengapa demikian, sebab dalam penerapan hukum islam didaerah tersebut Allah turunkan keberkahan didalamnya.

Kuatnya akar islam di Negeri Khalifatul Khamis/Buton, ditunjukan dalam falsafah Buton : Yinda-yindamo arata somanamo karo (biar tiadanya harta, demi keselamatan diri, keselamatan dunia akhirat). Yinda-yindamo karo somanamo lipu (biar tiadanya diri, demi selamatnya negeri). Yinda-yindamo lipu somanamo sara’ (biar tiadanya negeri, demi selamatnya dan tergaknya Syara’ Allah Ta’ala). Yinda-yindamo sara’ somanamo agama sadaa-daa (biar tiadanya Syara’ asal agama tegak abadi, yaitu teguh mengagamakan diri walaupun ditengah-tengah pemerintahan yang dzalim), disadur dari buku Negeri Khalifatul Khamis yang disusun oleh Irwansyah Amunu dan Wahyudi almaroky. Sungguh falsafah yang begitu indah bukan ? falsafah yang mengutamakan agama diatas segalanya. 
Ketika berbicara mengenai sejarah kaitan antara kekhilafahan dengan nusantara tentu sangatlah Panjang.

Islam ketika diterapkan secara kaffah/menyeluruh didalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam lingkup keluarga tentu akan dating berkah dari langit dan bumi. Allah SWT berfirman yang artinya :

“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”(TQS. al-A’raf : 96)

Ketika kekhilafahan dahulunya menjadi pengusir penjajah maka mengapa khilafah dan jihad harus dihapus dari mata pelajaran ?
Bukankah kita justru harusnya menerapkan sistem pemerintahan islam secara kaffah yakni dalam bingkai khilafah agar berkah dari langit dan bumi bisa kita rasakan. 

Wallahu’alam bishawab.