Era New Normal Tiba, Siapkah Kita?
Oleh: Atikah Ar Rasyidah ( Ibu Pendidik Generasi )
Penamabda.com - Sejak pertama kali digulirkan, Wacana New Normal (kelaziman baru ) langsung menjadi isu yang ramai diperbincangkan. Bagaimana tidak? Semua kalangan, baik masyarakat umum sampai pejabat, muda–tua, membicarakan era New Normal.
Perbincangan New normal sempat ramai di twitter bulan lalu. Tagar #NewNormalPulihkanEkonomi bahkan sempat bertahan selama 6 jam di jajaran trending di twitter dengan lebih dari 10.000 cuitan, menurut Trend24.in, situs web pemantau Twitter. (tirto.id, 28/05/2020).
Sebelum keluar wacana New Normal Life, seruan berdamai dengan covid-19 sampai ditemukan vaksinnya telah dikeluarkan oleh presiden Jokowi awal bulan lalu. Artinya masyarakat harus bisa beradaptasi dengan kondisi baru dimana hidup berdampingan dengan virus di sekeliling.
Sebagaimana yang diketahui dan dirasakan, pandemi ini memaksa masyarakat dunia untuk tinggal di rumah (stay at home). Bekerja, sekolah, hingga beribadah juga harus dilakukan di rumah. Perubahan ekstrem ini telah memberi dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, serta bagi banyak sektor, terutama ekonomi. Terkait hal ini, Jokowi menyatakan bahwa pemerintah ingin masyarkat tetap bisa produktif meski ada pandemi, dengan mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
Di antara rencana mekanisme pelaksanaan “new normal life” adalah TNI dan Polri akan mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di lapangan, seperti penggunaan masker hingga menghindari kerumunan guna memastikan kegiatan masyarakat tetap aman dari virus corona.
Banyak kalangan yang mengkritik bahwa Indonesia belum layak untuk New Normal karena kasusnya yang masih tinggi. Belum lagi kesiapan masyarakatnya untuk tetap patuh pada protokol kesehatan. Kebijakan pemerintah selama ini juga tak jelas dan sering berubah-ubah.
Namun, ditengah berbagai sorotan dan kritikan, rupanya pemerintah Indonesia tetap memberlakukan kebijakan New Normal atau normal baru atau tatanan kehidupan baru mulai 1 Juni 2020. New Normal merupakan kebijakan untuk membuka tempat publik seperti sekolah, perkantoran, pelabuhan, bandara, tempat ibadah dan lain-lain dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Pemerintah kini telah melonggarkan aktivitas sosial serta ekonomi. Masyarakat kembali beraktivitas sesuai dengan skenario new normal. Pemerintah sudah gencar mewacanakan ini sebelumnya dan mulai menerapkan pada lingkungan kerja Aparatur Sipil Negara ASN) dan karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Dwi Wahyu Atmaji mengatakan ada tiga komponen yang diatur dalam skenario new normal.
Pertama, menerapkan sistem kerja yang lebih flexibel, yaitu ASN bisa bekerja dari kantor, rumah, atau tempat lain.
Kedua, penerapan protokol kesehatan seperti jaga jarak, pemakaian masker dan cuci tangan untuk mencegah penularan virus.
Ketiga, percepatan dan perluasan penerapan teknologi informasi dan komunikasi (CNBC Indonesia, 25 Mei 2020).
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)Dr Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan New Normal. Alasannya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari (merdeka.com, 25 Mei 2020).
Beliau menambahkan bahwa memutuskan segera new normal adalah tindakan yang gegabah. Harus ada Pra syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu, pertama: harus sudah terjadi perlambatan kasus. Dua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakat sudah mawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, Pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal.
Hermawan menegaskan bahwa saat ini puncak pandemi belum dilewati bahkan kasus cenderung naik. Keempat syarat tadi sejatinya belum terpenuhi. Sehingga penerapan kondisi new normal butuh dikaji lebih matang.
Pemerintah harusnya tidak memaksakan diri untuk menerapkan kondisi new normal. Jangan hanya sekedar latah melihat beberapa negara lain seperti Amerika serikat dan Inggris yang menerapkan kondisi new normal karena memang kurva infeksi Covid-19 telah menurun. Indonesia juga harus belajar dari penerapan new normal Korea Selatan.
Pemerintah Korea Selatan mencabut pembatasan sosial dan menerapkan konsep new normal pada 6 Mei 2020 karena melihat kurva infeksi Covid-19 menurun. Namun nyatanya, kebijakan itu berimbas pada lonjakan infeksi virus Covid-19 yang terjadi pada Kamis, 28/5/2020. Pada akhirnya memaksa pemerintah korea selatan memberlakukan kembali pembatasan sosial di beberapa wilayah mulai 29 mei hingga 14 Juni.
Menyadur The Guardian, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC) melaporkan 79 infeksi baru dengan 67 di antaranya berasal dari daerah ibukota Seoul dan lebih dari 250 kasus baru yang ditelusuri bersumber dari klub malam dan bar di distrik Itaewon Seoul (suara.com, 29 Mei 2020).
Korea Selatan yang dipandang memiliki mekanisme penanganan pandemi yang lebih baik dari Indonesia terbukti gagal menjalankan konsep New Normal. Tentu memaksakan diri menerapkan kondisi New Normal padahal kasusnya masih tinggi adalah hal yang sangat beresiko.
Dari awal, wacana New Normal banyak mendapat kritikan terutama karena kurva kasus covid-19 ini masih tinggi, belum melandai. Angka penambahan pasien positif saja masih pada kisaran ratusan, hingga adakalanya beberapa kali hampir menyentuh angka 1.000. Ini tentu saja sangat beresiko pada bertambahnya kasus positif covid-19.
Dan ternyata memang benar, kini Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara saat dalam kasus positif covid-19. Pada Rabu (24/6/2020), Indonesia mencatatkan total kasus positif Covid-19 mencapai hampir 50.000 kasus atau tepatnya mencapai 49.009 kasus. Setiap harinya, rata-rata kasus positif di Indonesia mencapai 900 hingga 1.000 kasus. Kemarin, kasus positif Covid-19 di Tanah Air bertambah 1.113 kasus.
Dari total kasus positif yang mencapai 49.009 kasus, sebanyak 19.658 pasien telah dinyatakan sembuh, sedangkan jumlah pasien yang meninggal mencapai 2.573 kasus. Saat ini posisi Indonesia berada di urutan ke-30 dunia untuk kasus positif Covid-19. (kabar24.bisnis.com, 25/06/2020).
Memang alasan pemerintah Jokowi ketika mewacanakan kondisi New Normal adalah untuk penyelamatan ekonomi. Tak bisa dipungkiri, selama masa pandemi Covid- 19 ini ekonomi masyarakat mengalami penurunan bahkan bisa dikatakan jatuh bebas. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pandemi virus Covid-19 ini akan berakibat krisis ekonomi. Penganguran meningkat. Resesi atau perlambatan ekonomi akan terjadi secara luas termasuk pada mitra Dagang utama Indonesia.
Namun mengatasi masalah ekonomi dengan mengorbankan jiwa manusia adalah langkah yang tidak tepat bahkan termasuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Bukankah tugas pemimpin adalah melindungi rakyatnya?
Coba tengok dan renungkan Firman Allah SWT:
“… Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS Al-Maidah [5] : 32).
Juga sabda Rasulullah ﷺ berikut ini:
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Islam memandang bahwa menjaga satu nyawa itu begitu berharga. Jangan menunda atau bahkan menunggu hingga angka kematian bertambah.
Khilafah menangani pandemi berdasarkan ajaran Nabi ﷺ. Khilafah menerapkan karantina wilayah (lockdown) bagi kawasan zona merah. Melakukan proses isolasi serta pengobatan dan perawatan terbaik bagi yang sakit, sampai mereka sembuh. Serta menjamin warga yang sehat agar tetap sehat dan jangan sampai tertular wabah. Kebutuhan selama lockdown juga akan dipenuhi oleh negara.
Khilafah sesuai dengan aturan Islam akan berupaya sekuat mungkin agar angka korban tak bertambah ketika terjadi wabah. Karena bagi Khilafah, satu saja sumber daya manusia yang menjadi warganya, adalah aset yang harus dipertanggungjawabkan pengurusannya oleh penguasa di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.
Islam sudah memberikan panduan bagaimana mengatasi wabah kala pandemi. Sehingga pemimpin saat ini ketika ingin menangani persoalan pandemi ini cukup dengan ganti demokrasi menjadi Khilafah, agar segala upaya kebijakan politik hanya berpihak demi menolong urusan agama Allah, tak terkecuali dalam langkah penanganan pandemi. Hidup dalam naungan Khilafah inilah yang menjadikan kehidupan umat manusia seluruhnya berjalan dengan membawa kebahagian dan kesejahteraan.
Wallahu ‘alam Bishawab
Posting Komentar